The Day With Them [Something Wrong..]
The
Day with Them
Assalamualaikum.
Selamat
siang para blogger yang setia. Sebelumnya,
saya ingin menyampaikan sedikit permohonan maaf, karena pada entry-entry terdahulu, saya tidak
menggunakan salam (Syar’i) sebagai ucapan pembuka.
Well. Siang ini, saya ingin berbagi
cerita dengan kalian, pembaca saya yang setia *semoga ada*. Saya sudah memutuskan
bahwa, moment yang akan saya bagi pada kalian ini termasuk salah satu dari
sekian banyak moment yang menurut saya penting. Actually, ini benar-benar sudah lawas. Lateposted. Tapi berhubung teman sebangku saya yang ngotot ingin membaca postingan blog saya yang baru, dia mendesak saya, dan akhirnya keputusan saya
jatuh pada moment ini. Moment
yang sebelumnya tidak pernaha berani
saya impikan. Moment yang menurut orang-orang sederhana, tapi
memiliki arti tersendiri bagi saya. Moment
dimana saya menyadari sesuatu. Moment
dimana lahir satu lagi kepercayaan diri
dari dalam diri saya. And now, let me
show you something (wrong)..
Entah
kapan tepatnya, semua kejadian hari itu berawal dari satu planning dadakan yang saya ajukan kepada salah satu teman SMP saya
yang sampai sekarang masih lumayan dekat. Saya lupa apa persisnya planning yang kami rencanakan. Yang saya
ingat, kami janjian untuk meetup
setelah sekian lama sudah nggak bertegur sapa secara lisan. Dan kami pun
sepakat, pertemuan akan dilaksanakan pada hari jum’at, tanggal 12 Desember. Setelah
kesepakatan itu terjadi, saya mulai menyusun jadwal dan berusaha semaksimal mungkin
untuk mengosongkan kegiatan pada hari jum’at tanggal 12. Tapi siapa sangka,
saya malah terjebak di sekolah sampai jam 2 siang. Fakta bahwa saya terlambat 2
jam dari waktu yang telah ditentukan dan gagal menepati janji yang saya buat
sendiri jelas membuat saya kecewa.
Ketika sedang
menyesali sesuatu yang menimpa, tiba-tiba saja ponsel saya yang berada tepat
disamping kiri berbunyi, menandakan ada 1 pesan BBM masuk. Dengan malas, saya
membuka pesan itu. Dan… tara! Ternyata itu dari teman saya. Isinya mengatakan
kalau dia sudah ada dirumah saya dan menunggu seorang diri disana. Membaca berita itu, tanpa sadar saya
menggemakan tawa yang membuat orang-orang disekeliing saya mengernyit tidak
senang. Merasa telah mengganggu ketenangan, saya buru-buru menutup mulut dan meminta
maaf dengan bertubi-tubi. Selesai mengetik pesan balasan, saya langsung bangkit
dari tempat duduk, dan berjalan cepat menuju gerbang sekolah.
Disinilah
semuanya dimulai.
Tanpa perasaan
apapun, saya mulai melangkahkan kaki dari gang menuju rumah. Awalnya, teman
saya itu pesan untuk menghubungi dia kalau saya sudah sampai di gang supaya
dijemput. Tapi, berhubung hari sudah siang dan waktu janjian kami sudah lewat 2
jam, saya akhirnya memutuskan untuk tidak merepotkan teman saya itu. Sayang,
keputusan yang saya ambil ternyata salah. Sesampainya saya dirumah, ternyata
teman saya itu bukan hanya sendiri, melainkan membelah diri menjadi 4 dengan
bentuk tubuh, wajah, serta kelakuan yang berbeda-beda. Yup. Benar sekali. Teman
saya itu datang bersama 3 temannya (teman saya juga sih) yang lain. Jadilah,
saya mendapat kejutan.
Tiba-tiba
saja empat potongan kecil cake penuh cherry
dengan lilin berangka 0 yang menyala tersodor tepat di depan mata. Senyuman-senyuman
penuh modus mulai bertebaran disekitar. Saya tatap empat anak SMA labil itu
dengan mata memicing. Senyum setengah dengan kerlingan mata jahil itu
benar-benar membuat hati dan perasaan saya tidak tenang.
“Apa
nih?” terang-terangan saya menyampaikan kecurigaan.
Mereka
melengos dan ajaibnya dalam timing yang bersamaan. “Kejutan ?” celetuk salah satu dari mereka
dengan wajah bosan.
“SELAMAT
ULANG TAHUN BONTET!”
Oke. Saya
tahu ini sindiran paling kejam yang pernah saya terima selama hidup di dunia. Tapi
entah kenapa, sekarang saya merasa berarti. Lebay ya? Bodo. Yang saya tahu,
setelah mereka menyodorkan kue dengan lilin yang menyala, saya langsung
menghabiskan api itu dengan sekali tiup diiringi dengan suara “Yee” yang
lumayan heboh.
Entah mimpi
apa saya semalam sebelum hari itu, yang jelas, setelah puas berpose di depan
kamera dengan berbagai bentuk dan gaya, juga memakan kue dan menghabiskan semua
minuman yang sudah tersedia, mereka langsung mengerling kearah saya. Kerlingan yang
benar-benar patut untuk dicurigai. Karenanya,
saya memilih membuang muka dan sibuk dengan 2 kotak kado yang ada di pangkuan
saya.
Sesi foto,
makan kue, dan ngobrol berakhir seru kalau saja mereka tidak mengucapkan
kalimat “Laper woooy. Jam berapa nih?” beramai-ramai, dan anehnya dalam timing
yang nyaris bersamaan (lagi).
Akhirnya…
saya tahu tujuan mereka mengunjungi saya hari itu. Mereka lapar dan minta saya untuk mentraktir demi memenuhi asupan gizi bagi para cacing yang
bersemayam di dalam perut mereka. Well,
berhubung saya orang yang baik hati, saya memutuskan untuk menyumbangkan sebagian tabungan saya pada mereka dengan memesankan mereka masing-masing satu piring
nasi putih dan ayam.
Dan entah
dosa apa yang sudah saya perbuat, kejutan ternyata tidak berhenti disana. Mereka
mengundang seseorang juga. Seseorang yang hadirnya mati-matian saya sangkal. Seseorang
yang sudah memaksa saya untuk membunuh. Seseorang yang ingin sekali saya
musnahkan dari otak bebal saya ini. Seseorang yang sudah membuat saya tidak
bisa melihat lagi. Seseorang yang benar-benar ingin saya hilangkan dari cerita
saya. Seseorang yang ingin sekali saya benci. Seseorang yang sialnya, masih
menjadi satu-satunya orang yang menempati ruang kosong di otak saya. Seseorang yang
aslinya benar-benar tidak menyenangkan. Seseorang yang menjadi urutan pertama
dalam list siapa-orang-pertama-yang-ingin-anda-bunuh versi saya.
Waktu itu,
mereka memang bilang ingin mengundang seseorang itu. Tapi entah kenapa, otak
dan kepala saya tidak konsisten saat menjawab “yaudah nggak papa.” Saya pikir
mereka bercanda. Saya pikir, itu pasti jebakan. Tapi ternyata saya salah. Saya lupa,
kalau mereka ini adalah jenis makhluk yang akan sangat bahagia jika melihat
seseorang sengsara di depan mata kepala mereka sendiri.
Bisa ditebak
apa yang akan terjadi selanjutnya. Saya jadi lebih pendiam dari biasanya. Tidak
mengatakan apa-apa dan lebih focus pada makanan serta es krim saya yang sudah
tidak lagi menarik. Sedangkan mereka semua sibuk mengobrolkan hal yang sama
sekali tidak saya mengerti. Berhubung saya satu-satunya orang yang tidak pernah
satu kelas dengan mereka, saya beralih peran dari tokoh utama menjadi figuran. Untunglah,
sesi yang menyiksa itu tidak berjalan lama. (Entah apa yang akan menimpa otak
saya kalau sampai sesi itu jadi sesi paling lama dari segala sesi).
Selesai
makan, mereka mengusulkan untuk pergi ke pusat bermain yang terletak tidak jauh
dari tempat kami sebelumnya. Disinilah satu kejutan lagi terjadi.
Saat itu,
saya sedang mengobrol seru dengan salah satu teman saya yang lain. Menggosipkan
hal yang menurut saya penting. Tiba-tiba saja, seseorang itu memotong jalan
saya dan berjalan tepat di depan saya. Entah apa yang otak saya perintahkan
saat itu. Tapi yang jelas, dengan tidak tahu dirinya mata saya malah terpaku
pada satu titik yang benar-benar terlarang. Titik yang seharusnya tidak boleh
saya lihat. Titik yang tidak lagi pantas saya lihat. Titik yang akan
mengakibatkan sesuatu yang buruk terjadi pada organ-organ vital saya. Titik yang
seharusnya mati-matian saya hindari.
Punggung
itu.
Masih
sama.
Masih sehangat
dulu.
Walaupun
lebarnya tidak lagi persis.
Dan selanjutnya,
saya mendapati diri saya sedang mengamati seseorang itu. Mulai dari ujung rambut
sampai ujung sepatunya yang lecek sekalipun. Potongan rambut baru, kening yang
kian melebar layaknya lapangan, mata kecil yang masih setajam dulu, tinggi yang
sudah mencapai batas minimal remaja laki-laki, juga suara serak yang asing di telinga.
Seseorang itu berubah. Dengan bahu selebar itu, dia telah menempuh banyak masa.
Melaluinya bersama orang-orang pilihan, dan menjadikan dia seseorang dari
bagian orang-orang terpilih.
Endingnya,
saya berubah wujud menjadi anak perempuan kecil menyedihkan yang terjebak dalam
dunia remaja. Apapun yang saya lakukan tidak lagi sinkron, antara otak dan gerakkan itu sendiri. Saya ragu kalau sensor
motoric di dalam otak saya masih berfungsi waktu itu. Jadi yang saya tahu, saya
sudah sampai di rumah saya sendiri, dengan berbagai macam pikiran. Terimakasih untuk
kalian yang memberi saya banyak kejutan. Terimakasih untuk otak bobrok saya
yang tidak mau bekerja sama. Terimakasih untuk kado-kado kalian. Terimakasih,
untuk 17th yang tidak pernah saya bayangkan. Terimakasih……untuk
semuanya.
Mengutip
dari salah satu dari sekian banyak quotes
yang saya baca.
“Piglet: How do you Spell Love?Pooh: You don’t spell it. But, you feel it, piglet.”“It’s amazing when strangers become friends but it’s so sad, when friends become strangers. – Unknown.”“You know how sometimes you meet someone and everything changes. Just like that? – Prince Eric, The Little Mermaid.”
Saya harap,
tidak ada perubah berarti yang menimpa orang-orang yang saya kenal.
Salam saya,
Penulis
amatir.
bagus lak.
BalasHapus