[Cerpen] Kemerdekaan
“Agus! Tunggu! Gus!”
Debu
tebal masih menutup pandangan saat aku mendongak dalam keadaan semi rukuk-ku.
Suara gerakan kaki yang teratur menggema dari berbagai sudut, hingga
menimbulkan getaran dahsyat dari balik rongga dadaku. Orang-orang terlihat berlarian
antusias sambil sesekali mengancungkan sebuah bendera bertangkai lidi. Gema
kemerdekaan memenuhi kota pada pagi menjelang siang ini, dengan rentetan kalimat
bersyair indah namun sayup yang mengiringinya.
Aku
menyerah. Mengabaikan jarak yang kini terbentang antara aku dan temanku. Aku
berjongkok. Berusaha mengatur napas yang rasanya sudah ingin putus. Agus yang
tampak tak kalah semangat sudah berada beberapa langkah di depanku. Wajah
hitamnya tampak berbinar tak kentara sedang mata bundarnya mencerminkan bahagia
yang tak teredam hati.
“Wat!
Cepatlah! Sudah mau mulai.”
Agus
menoleh cepat kearahku seraya melambai-lambaikan tangan kasar melepuhnya sambal
melompat-lompat. Bahasa tubuh yang dimainkannya tampak gemulai mengutarakan
setiap titik gelora yang serasa meledakkan jantung, sedang tubuh hitam kurusnya
tampak timbul tenggelam diantara lautan manusia dengan antusiasme yang sama
untuk menyambut hari ini.
Aku
mendesah lelah, lantas melirik pelipisku yang terasa lengket. Deretan peluh
sebesar biji jagung mengalir deras dari pangkal rambut. Aku mendongak. Benar
saja. Ternyata matahari sudah mulai menunjukkan kuasanya terhadap hari. Sambil
menepis sembarangan peluh yang lengket itu, aku berlari kencang. Menyusul Agus
yang sudah mematifungsikan semua indranya pada sekitar untuk mulai memfokuskan
retinanya pada seorang bapak yang tampak tegap dalam balutan jas setelan putih
elegan.
Sosok
itu mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang sama gagahnya. Seseorang yang
hadirnya begitu kurindukan. Beliau seharusnya ikut berdiri bersamaku disini,
menikmati hasil perjuangannya yang benar-benar berbuah manis.
Bapakku.
Beliau
adalah satu dari sekian banyak jajaran tentara Indonesia yang ikut serta dalam
proses kemerdekaan negri ini secara langsung. Tidak ada yang tahu siapa nama
bapakku, dan bagaimana bentuk wajahnya yang memiliki rahang tegas bak ukiran
kayu. Mereka hanya tahu, bapakku adalah seorang tentara yang ikut turun
langsung ke lapangan untuk memberantas para koloni jahat tak berpikemanusiaan.
Andai
saja beliau masih hidup, lelaki paruh baya berkumis tebal itu pasti akan
menangis, menyaksikan kharisma yang entah bagaimana menguar pekat dari sosok
yang kini sedang berdiri tepat di belakang microfon.
Aku
menoleh menatap sekeliling. Tak banyak ekspresi yang dapat kutangkap, karena
sejatinya, semua orang yang ada disini memiliki perasaan yang sama dalam hal
menantikan saat ini.
Masih
dengan hati berdebar-debar, aku memutar kepalaku kembali.
Semua
orang tampak begitu tenang mengamati apa yang sedang dilakukan oleh para
pejuang utama di atas mimbar. Sampai detik itupun tiba. Detik kemerdekaan.
P R O K
L A M A S I
Kami
bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal
jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara
seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta,
hari 17 boelan 8 tahoen 1945
Atas
nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.
Selesai sudah.
Setiap
jengkal sakit yang selama ini tertoreh.
Setiap luka
yang mulai bernanah.
Dan setiap
siksa yang diterima.
Aku
menoleh, dan segera disuguhkan pandangan haru dari sepasang mata hitam pekat
yang tampak beriak. Aku mengangguk. Meng-iyakan arti tatapan ‘akhirnya’ yang
disuguhkan oleh Agus. Semua, berakhir sudah. Selamat merdeka negriku. Buanglah
semua sakit yang ada, dan bukalah lembar baru dengan Indonesia yang sudah
merdeka.
Good luck lalakk.. Terus berarya ya sobat
BalasHapus