Candu
Assalamualaikum. Selamat pagi, kalian
yang tidak sengaja mampir di alamat blog saya. Apakabar? Sudah lama sekali
rasanya tidak memposting sesuatu
disini. Selain dikarenakan kasibukan yang tidak saya tau apa manfaatnya, tidak
adanya postingan disini juga disebabkan oleh kehidupan saya yang datar – datar saja
diikuti pula dengan ide spektakuler yang tak juga datang.
Tidak banyak yang ingin saya
sampaikan. Hanya saja…… saya baru menyadari satu hal.
Bahwa tidak ada moment baik sebaik moment
yang tercipta ketika seseorang hadir di keseharian saya. Seseorang itu, dengan
berat hati saya katakan adalah dia yang seharusnya tidak lagi memiliki tempat
di kehidupan saya. Baik kehidupan yang sekarang atau kehidupan saya yang
selanjutnya.
Ada begitu banyak moment yang seharusnya lebih berarti
dari pada kehadiran seseorang itu di hari – hari saya. Tapi, seberapa keraspun
hati saya menyangkalnya, kehadiran seseorang itu akan tetap…………
memiliki arti yang berbeda.
Dia itu, favorite. Walau tidak special. Seseorang yang benar – benar memiliki seluruh hati dan pikiran saya hingga sekarang.
Dia itu, favorite. Walau tidak special. Seseorang yang benar – benar memiliki seluruh hati dan pikiran saya hingga sekarang.
Dari 5 tahun yang sudah saya lalui
pasca kejadian tidak mengenakkan itu, ada ratusan moment yang mungkin sangat berarti dan layak untuk diketahui dunia.
Tapi entah kenapa saya tidak ingin membagikannya. Tidak tertarik. Rasanya tidak
ada sesuatu yang special yang harus saya bagikan pada dunia.
Hanya tentang orang itu. Masih dengan
orang yang sama yang sudah membuat saya menjadi seorang penjahat –kriminal
kalau boleh jujur—.
Ribuan alasan sudah otak saya
lontarkan kepada hati. Bahwasanya, sebentuk tulang terbalut kulit dengan tinggi
170cm itu adalah candu. Semacam zat aditif yang walau membuat bahagia akan
tetap mengantarkan saya pada kesakithatian yang tak berujung. Dan Endingnya, hanya saya saja yang akan menderita. Menahan banyak sekali rindu
berbalut lapisan tebal gengsi yang menggumpal dari balik bongkah hati tak kasat
mata.
Semalam, seseorang itu datang lagi.
Mengatakan hal – hal aneh yang membuat saya setengah mati membunuh ribuan kupu
– kupu didalam perut serta menekan dada karena desirannya tak lagi terkontrol.
Ia mengatakan bahwa, rindu itu juga
menyerangnya. Mengantarkan jemari – jemari panjangnya pada sebuah kontak untuk
tanpa ragu menekan menu call.
Kita bebicara. Saya, dan seseorang
itu. Bertukar cerita, mengenang, hingga kemudian berakhir. Menyisakan semakin
banyak rindu tertumpuk. Rindu yang seakan kekal tak tersapu waktu. Saya
membencinya. Rindu yang bebal itu. Rindu yang dengan tidak tahu dirinya malah
semakin membelah serupa amoeba dibalik rongga sebentuk pagar didalam sana.
Kepada Sang Maha Pencipta, saya sudah
memohon. Menengadah dengan penuh harap agar seseorang ini musnah dari
kehidupan. Tapi…… tidak bisa. Satu kata yang dia ucapkan akan menimbulkan efek
sangat besar pada diri saya, baik yang ada dimasa sekarang, pun dimasa yang
akan datang.
Ia kembali, dengan melahirkan bencana
alam beruntun pada susunan anatomi saya yang seharusnya tidak lagi termakan
sebuah kata.
Adakah sesuatu yang bisa membuat
kebebalan hati saya ini berkurang? Adakah debaran lain yang bisa menyadarkan
ketidak-masuk-akal-an sepotong hati paling bebal –sedunia— ini? Saya
menantikannya.
Iya.
Debaran itu. Debaran lain yang tak
lagi meluluhlantakkan organ diatas empedu, melainkan memberinya sebuah
kebun bunga serupa dambaan bagi orang yang jatuh cinta.
Rasanya, 5 tahun bukan waktu yang
singkat lagi untuk mencari. Hanya……….. potongan – potongan –sialan—kenangan itu
tidak mau terbuang. Mereka memaksa tinggal. Menetap untuk kembali mengambil
alih potongan yang sudah saya bersihkan.
Saya menulis ini, untuk kemudian saya
baca kembali di masa depan. Dengan harapan bahwa 8 – 10 tahun kedepan, tidak
ada lagi sosok seseorang itu dalam kehidupan. Cukuplah hanya dengan ia yang
terbelenggu dalam ingatan. Tak usah lagi menantang keluar. Menyembul dengan
segala kesakitan yang serupa candu.
Kepada yang telah berhasil
melakukannya, semoga tidak ada lagi kebohongan – kebohongan berikutnya.
Pergilah. Berbahagialah pada masa depanmu sendiri.
Dan mari damai bersama.
Untuk masalalu.
Tertanda,
(Masih)
Penulis Amatir.
Wew aku ingin mendengar cerita indah itu langsung dari bibir mu. Hahaha la puitis belum nyilll 😁😁😁
BalasHapusEEEIIII APOKABAR HUAAAA KANGEEEENNN :(
Hapus