December Rain [a]
Present.
Mulai dari Hari Raya Natal, Musim Salju, Hari Ibu, Libur
Akhir Tahun, Big Sale dimana – mana, sampai rinai hujan yang hanya berhenti
ketika siang hari menjemput, Desember selalu punya acara untuk menjadi tidak
biasa. Saya bukan tipe orang melankolis yang suka berpuisi, pun seseorang yang
suka memperhatikan sekitar layaknya seorang pengamat. Tapi ada pengecualian
untuk bulan Desember. Pada penghujung tahun di bulan dua belas ini, saya selalu
dibuat terkesima, baik pada musimnya maupun kualitas manusianya.
“Tara, satu Caramel
Machiato.”
Ah. Pesanan saya sudah siap. Menghabiskan Desember dengan
sesapan kopi adalah rutinitas bagi saya. Setelah yakin struck yang saya bawa bukan sisa struck belanja bulanan feat
ibu beberapa minggu lalu, saya bergegas menghampri barista yang baru saja melafalkan nama
saya dengan sangat fasih.
“Terimakasih,”
“Silahkan menikmati,” barista itu melanjutkan dengan
memberikan saya bonus sebuah senyuman kotak. Saya tidak tahu kalau ternyata
bibir manusia bisa membentuk persis kotak begitu sampai hari ini.
Setelah mengangguk sopan, saya kembali menuju meja nomor 8
yang terletak paling sudut dan menghadap jendela. Hari sabtu tidak pernah
menjadi weekend sungguhan untuk saya, sejak menjabat menjadi seorang HRD di
sebuah perusahaan. Setiap hari, email saya selalu penuh dengan paper yang
menjubel setiap jamnya, yang merupakan salah satu alasan kenapa handphone saya selalu panas.
Saya tidak akan mengeluh, karena ini saya lakukan semata
karena ingin. Dulu, sewaktu masih berkuliah, saya mengidam – idamkan pegawai
kantoran sekali. Berfikir bahwa mereka terlihat sangat bertanggungjawab atas
kehidupan orang – orang yang menjadi tanggungjawab mereka dalam balutan jas
yang dipermanis dasi. Saya ingat, waktu itu saya ditertawakan Eja, bandmate saya yang sudah seperti abang
sendiri sambil dia menyeletuk ringan.
“Padahal nih ya, belom tentu juga orang yang pake jas itu banyak duitnya.”
“Lah ya emang yang ngeband duitnya lebih banyak?” balas guitarist kami judes. Eja auto meneng. Saya terkekeh saat itu,
menepuk bahu Eja lantas mengatakan kalau rezeki itu sudah ada takarannya masing
– masing, jadi tidak perlu berburuk sangka.
Saat sedang mengenang masa lalu yang bikin saya
senyum-senyum sendiri, saya menoleh. Lantas menyungging senyum semakin lebar kala rintik
hujan mulai berjatuhkan. Satu demi satu, puluhan, ribuan, sampai tak terhingga
di detik ke limabelas. Iya, saya hitung. Saya sudah bilang kan, kalau Desember
selalu punya cara untuk jadi special?
Saya baru akan mengenang kembali ketika ponsel yang saya
letakkan diatas meja bordering, memberi tanda ada panggilan masuk. Setelah
tersenyum kecil melihat display name yang tertera, saya memposisikan ponsel
tepat di depan wajah, mengingat format panggilan barusan adalah videocall.
“Mas Tara!”
suara melengking dengan warna ceria langsung menyambut saya. Memberikan reflek
otomatis pada saraf bibir saya untuk lebih melebarkan sudutnya.
“Assalamualaikum Dek.” Jawab saya kalem.
Disebrang, dia cengengesan. Menggumamkan ‘ups’ sebelum kembali
bersuara lantang. “Assalamalaikum Mas
Tara!”
“Waalaikumsalam.”
“Subhanallah,
ademnya calon imamku.” Celetuknya tanpa pikir seperti biasa. Saya mesem – mesem,
merasa kalah start. “Coba tebak aku sekarang dimana?”
Melihat dia yang sedang menyebrang terburu, kemudian
berjalan cepat sambil sedikit ngos-ngosan, sepertinya saya tahu dia dimana.
Saya sudah akan menjawab saat sebuah hampir-umpatan
meluncur ringan dari bibir tipis favotite
saya.
Beberapa detik berikutnya, saya tertawa. Tidak habis pikir
dengan wanita 25 tahun yang sekarang sedang mengaduh karena kakinya baru saja
tersandung. “Hati – hati Dek. Kamu tuh udah 25 tahun, clumsy-nya kok ga hilang – hilang?”
Disebrang, dia mendongak, menatap layar sambil menggerutu ngerasani entah-apa-yang-tadi-ditendangnya.
“Ya lagian ini siapa sih yang naruh besi disini?” ujarnya
bersungut – sungut. Mengarahkan ponselnya pada jalan berundak khusus.
“Sayang, itu jalur untuk tunanetra.” Tegur saya pelan.
Dia melengos. “Iya deh iya. Ayo coba tebak aku sekarang
lagi dimana?” rambut panjangnya tersibak, mempertontonkan pada saya sebuah pahatan
indah sang pencipta. Pagi ini, dia memakai kacamata bulat yang kalau tidak
salah ingat adalah kado ulangtahun dari saya 2 tahun lalu. Masih cantik seperti
biasa. Dan ceroboh.
“Monas?” jawab saya asal.
Dia terkekeh di sela napas yang terputus pendek – pendek.
“SALAH!”
“Terus dimana?”
“Dihati Mas dong!”
Adek ini. Saya sudah bilang belum, selain ceroboh bukan
main, dia adalah satu – satunya gadis yang berani memberi menghampiri saya ke
fakultas, meneriakkan nama saya yang dilanjutkan dengan kalimat “Mas Tara
jangan lucu – lucu dong nanti aku suka!” setelah itu dia ngacir. Lari tergopoh
karena tali sepatunya lepas. Meninggalkan saya yang cuma bisa bengong sambil
garuk – garuk tengkuk yang tidak gatal. Saya mesem – mesem lagi. Menggeser kursi
sedikit untuk membelakangi kaca yang membatasi saya dan hujan. Mencegah orang –
orang melihat kelucuan Adek. Maaf ya Dek, saya memang posesif.
“Kamu mau nelfon cuma buat gombalin saya?”
“Enggak sih. Aku sebenernya mau ngasih tau kalo sekarang
lagi dijalan mau ketemu Esa.”
Esa. Adik saya. Kesayangannya Adek.
“Loh ada apa?”
Dia tidak langsung menjawab. Tangannya memindahkan ponsel
ke sisi yang lain, memperhatikan tas kecil hitam yang sedang ia aduk – aduk
isinya. Setelah mendapatkan apa yang dicari, dia langsung melebarkan selebaran
didepan layar. Saya menyipit berusaha membaca tulisan kecil – kecil yang tersebar
pada selebaran –seperti brosur— berlatar kuning hitam.
“Mas lupa? Hari ini kan Esa daftar ulang Mas. Aku diminta
tolongin Ibu buat nganterin.” Katanya menyembul dari balik kertas kecil yang
tadi dia dekatkan di layar ponsel. Saya pusing. Bisa ga Adek tuh sehari aja gak
lucu?
Saya tersentak. “Astaughfirullah. Mas lupa. Terus kenapa
ibu gabisa nganterin Esa?”
Dia menghela napas sebentar. Capek ya Dek? Kemudian
memasukkan kembali kertas –yang saya yakin betul itu brosur—kedalam tas.
Seperti belum mau menjawab pertanyaan saya, tangannya terulur ke sisi jalan
raya. Nah, kalau ini saya ragu dia mau menyetop taksi atau ojek pengkolan. Saya
masih menunggu sambil memperhatikan sisi wajah Adek dari samping. Keringat
sebesar biji jagung mengalir dari pelipisnya yang ditimpa anak rambut. Saya
senyum lagi. Dia itu, dari segala sisi, tetap saja cantik.
Sepuluh detik saya habiskan untuk menatap perpaduan pelipis-keringat-dan
anak rambut yang disuguhkan Adek sampai dia masuk kedalam mobil. Saya was was
sekali saat adegan ini berlangsung. Dan yang saya takutan pun terjadi. Adek
membenturkan kepalanya pada pintu taksi. Saya meringis.
“Hati – hati Dek.”
“Ih!” dia memukul pintu taksi kesal. Saya hanya tertawa
menyaksikan tingkah wanita 25 tahun itu dari balik layar.
Setelah masuk, dia merapihkan rambutnya sebentar,
menyebutkan tujuannya, dan duduk manis di kursi belakang supir. Syukurlah dia
naik taksi. Saya tahu disana pasti sedang panas. Terbukti dari keringat yang
saya sesali kenapa malah bikin Adek semakin cantik.
“Ya Allah Jakarta panas banget sih. Aku jadi pingin ke
pelukan Mas aja. Adem.” Dia mengibas ngibaskan telapak tangan di samping wajah
sambil merengut.
“Dek, keju ah.” Kilah saya malu. Gakpapa ini sebenarnya
sudah biasa. Dia yang gombal dan saya yang malu. Saya ga jago gombal soalnya.
“Ya gapapa. Nanti Mas diabetes kalo sama yang manis –
manis terus.”
Saya hanya bisa menghela napas. Capek sendiri. “Jadi,
kenapa Ibu gabisa anter? Gak ngerepotin kamu memangnya?”
“Siapa bilang gabisa? Ibu bisa kok. Ini aku berangkatnya
sama Ibu juga. Gak kooook. Aku izin gamasuk kerja hari ini.”
“Loh? Malah ga kerja?”
“Iya ih Mas. Mbak Juwi aja ga tanya macem – macem loh pas
aku izin kok kamu tanyanya udah kayak polisi aja?”
“Beneran ga ngerepotin kamu nih?” mengabaikan protes
lucunya, saya bertanya sekali lagi. Berjanji dalam hati setelah panggilan ini
selesai akan langsung menghubungi Ibu dan Esa untuk memastikan.
“Enggaaaak. Kamu kayak sama siapa aja sih.”
Saya terkekeh. “Lah, ya emang kamu siapa?” tanya saya
retoris. Maksudnya sih jenaka. Tapi saya tau setelah ini Adek pasti ngambek.
“Calon kakak Iparnya Esa lah.”
Ya begitulah. Dia ini Adek, alasan kenapa bulan Desember
saya jadi special. 3 tahun sebelumnya
saya hanya menganggap Desember sebagai bulan ke 12 yang ada dalam perputaran
tahun. Ga ada apa – apa. Bukan berarti Desember sebelum bertemu Adek tidak
bermakna. Hanya saja, semua terasa biasa untuk saya yang tidak terlalu perduli
dengan hal – hal kecil seperti ini, sampai seorang mahasiswi Sastra menghampiri
saya ditengah hujan untuk menawarkan payung miniso super lucu pada saya. Ah,
itu saya ceritakan nanti saja. Sekarang ayo bungkam bibir tipis itu dulu.
Karena kalau tidak saya akan diabetes betulan.
“Aamiin-in jangan?”
“Mas jangan mancing. Nanti percakapannya malah makin
gajelas. Kamu lagi apa?”
Percaya gak, kalau saya bilang Adek ini wanita pertama
yang bikin saya jatuh cinta? “Melamun. Kangen sama rumah.”
“Yeee. Jangan melamun terus buang – buang waktu. Sana
kerja yang rajin biar bisa bayar SKS nya Esa.”
“Iya Ibu Ratu.” Balas saya gemas bukan main. Cerewet
sekali. Jadi makin sayang kan saya nya.
“Ngomong – ngomong, kamu udah buka jurnalmu belom hari
ini? coba dibuka dulu lembar ke 25-nya Mas. Ini aku udah mau sampe rumahmu.
Kerja yang rajin ya beruaaang! Biar bisa bayarin UKT Esa plus Skincare aku.
Daaahh. Assalamualaikum Mas Tara.”
“Wa—“ tutt tutt tutt. Sambungan sudah terputus lebih dulu
sebelum salam balasan saya selesai. Menghela napas maklum, saya berpindah menu
ke phonebook. Mengetik nama Esa untuk kemudian mendengar nada sambung.
“Assalamualaikum Mas.” Panggilan saya terjawab pada dering
ke5.
“Waalaikumsalam. Gimana Esa katanya mau daftar ulang ya
hari ini?”
Terdengar sayup sayup suara Ibu yang mengingatkan Esa
untuk memeriksa kembali berkas – berkas yang harus dia bawa. Saya tersenyum.
Bisa membayangkan betapa rempongnya ibu mondar mandir seperti setrika, padahal
saya yakin Esa pasti sudah sangat rapih dari 2 hari sebelumnya. Dulu ibu juga
begitu waktu saya harus pergi untuk tinggal jauh dari rumah. Pedih rasanya
kalau sedang kangen rumah seperti ini.
“Iya Bu, udah Esa taruh di tas semua kok. Ini Mas Tara
lagi telfon.”
Esa ini adik saya satu – satunya. Penurut, tidak banyak
menuntut, dan lembut sekali. Dulu, sebelum Esa masuk kuliah, kita berdua sering
berbalas pesan lewat judul lagu. Katanya biar terasa lebih syahdu dan bisa
dikenang. Esa juga bertransformasi jadi pemuda masjid yang banyak digandrungi
cewek – cewek komplek. Yang masih saya ingat sampai sekarang, Esa pernah
menerima kue ulangtahun entah dari siapa. Tidak ada surat tidak ada nama
pengirim dan tidak ada tujuan juga. Tapi seisi rumah tau kalau itu memang
dipersembahkan untuk Esa yang sedang berulang tahun. Dan waktu saya mau
mencomot krimnya, Esa langsung menggeplak tangan saya sambil melotot.
“Mas, ini bukan punya kita. Gak inget ya, kata Ayah kita
ga boleh mengambil yang bukan punya kita. Jangan dimakan. Nanti perutnya jadi
haram.”
Yha ok.
Perutnya haram ya Sa?
“Halo Mas?”
Seperti tertampar, saya menegakkan punggung gagap. “Eh iya
gimana jadinya?”
“Iya hari ini Esa mau berangkat sama Ibu sama Mbak Adek
juga.”
Saya tertawa pelan. Cuma Esa memang. Mbak Adek. “Cie jadi
anak kuliahan. Deg – deg – an ga Sa?”
Diam menyambut saya. Ini artinya Esa sedang berpikir
serius. Saya jadi gemas.
“Gak se deg-degan waktu Esa mau disunat sih Mas. Tapi
degdegan. Dikit.”
Dia ini. Saya jadi harus menelungkupkan wajah diatas meja
demi meredam tawa. “Tuh artinya kamu udah gede. Solatnya jangan ditinggalin. Besok
pulang kuliah langsung pulang. Kasihan Ibu sendirian dirumah sekarang. Ongkos
perginya ada gak?”
“Ada Mas. Sudah disiapkan Ayah.”
“Mau mas kirim lagi ndak?”
“Engg.. tapi buat jajan Esa aja, gapapa?”
Saya terkekeh. “Gak papa. Nanti Mas kirim lewat Ibu.”
“Iya.. makasih Mas Tara.”
“Sama – sama Mahesa. Boleh Mas ngomong sama Ibu sebentar?”
“Boleh. Ibu, Mas Tara mau ngomong.”
Tidak lama, suara wanita yang melahirkan saya terdengar.
Lembut sekali. Sedikit kewalahan mengatur napas karena saya tahu beliau baru
saja kocar kacir mengkhawatirkan si bungsu.
“Ibu apa kabar? Tara kangen.”
“Hhh. Baik Tara. Kamu itu baru 2 hari yang lalu kan
videocall sama ayah juga.”
“Tapi kan gak ketemu.” Rengek saya. Iya, saya memang suka
manja ke super women satu ini.
“Ya kamu pulang makanya. Kerja kok lembur bagai quda.”
“Hahaha.. Iya, sebentar lagi Tara pulang. Ibu sama Ayah
sehat sehat ya sampe Tara pulang. Oh ya, Tara kirim uang buat Esa ya bu?”
“Buat apa? Udah dikasih ayah kok kemaren.”
“Gakpapa buat jajan Esa.”
Sebelum sempat Ibu membalas, saya bisa mendengar suara Esa
teriak heboh setelah suara pintu yang menjeblak terbuka. “IBUU MBAK ADEK UDAH
DATENG.”
“IYA SEBENTAR. Udah dulu ya Tara. Ibu anter Mahesa dulu.
Sehat – sehat di tempat orang.”
“Iya. Ibu hati –
hati. Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam.”
Dan dengan itu, berakhir sudah panggilan saya. Ah.. begini
ternyata rasanya jauh dari orang yang kita sayang. Besok, kalau saya sudah
mendapatkan pekerjaan baru, saya tidak akan mau pilih tempat selain Jakarta,
karena sekarang saya tahu rumah saya semua ada di sana. Termasuk, Adek.
To Be Continue…
ps: WOW! Sudah berapa
bulan saya ga nulis? Wkwk kangen. Hari ini saya nulis lagi. Cuma 2 jam aja,
semoga cukup menghibur. Kali ini December Series bakal dibagi 2 karena ini
sudah terlalu panjang untuk menceritakan kisah bagaimana Mas Tara bertemu Mbak
Adek, kenapa Mbak Adek manggil Mas Tara Calon Imam dan kenapa judulnya December
Rain HAHAHAHAHA. Saya tau ini keju sekali tapi… saya lagi pingin aja HEHEHE
dari kemaren memang sudah mau nulis. Cuma cerita pendek seperti biasa aja yang
sekalii baca habis. Tapi sepertinya waktu belum memberi izin. Begitu juga
idenya yang ga dateng – dateng. Semoga suka ya^^ doakan juga saya sedang UAS.
Semoga UAS saya lancar HEHEH dan saya pinjem nama ya kak. Soalnya gemes hehe..
@ sklokal. Selamat menikmati..
Waah suka sama ceritanya!! Next ya kak,, semangat!!!
BalasHapus