Sweet Love
Untuk yang kesekian kalinya, aku
melirik arloji putihku yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri, lalu
menghela nafas berat. Dengan gerakkan malas, aku menopang kepalaku menggunakan
satu tangan yang sikunya kutumpukan pada meja makan berbahan kayu jati asli di
dapur. Satu tanganku yang menganggur kuketuk-ketukkan diatas meja itu. Menunggu
adalah hal yang paling membosankan. Benar kan?! Ini udah 2014, dan masih jaman buat nunggu? Please banget deh!
Saat sedang dilanda perasaan
bosan, tiba-tiba saja siluet tubuh langsing lewat didepan mataku. Aku
mengerjap, setelah beberapa detik baru menegakkan posisi dudukku dan berbalik
badan, menatap silut tadi yang kini tengah berdiri didepan pintu kulkas sambil
meneguk air mineral dingin dengan ganas.
“Dari mana kak?” Tanyaku dengan
mata yang menyipit curiga.
“Basketan,” jawab orang itu
setelah berhasil menghabiskan sebotol sedang air mineralnya.
Aku mengernyit. “Sama kak Rio?”
Agni, kakaku, langsung menoleh dan
menatapku seakan-akan pertanyaan yang kuajukan tadi adalah pertanyaan paling
bodoh yang pernah ada di dunia. “Memang siapa lagi yang berani ngajak gue
basketan malem-malem gini?” tuturnya setengah jengkel. Aku cemberut sambil
menatap punggungnya yang menjauh. Tapi baru beberapa langkah berjalan, cewek
tomboy itu berhenti, membalikkan badannya, dan berjalan mndur ke arahku lagi
dengan gerakkan yang terlalu alay.
“Lo mau kemana? Kok udah rapi-rapi
gitu?”
“Kencan,” jawabku asal sambil
membuang muka.
Kak Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kayak udah biasa aja dengan aku yang berdandan rapih karna mau
kencan. Bikin sebel. “Sama siapa Ndai? Si Divia?”
Aksi cemberutku langsung berhenti,
dan berganti menjadi melotot maksimal sambil membalikkan badan cepat-cepat.
Tidak lagi membuang muka. “Diva? Anak sebelah yang kecil itu?” aku nyaris saja
memekik kalau tidak ingat ini sudah malam. “Nggak deh, makasih.” Lanjutku
malas.
Kedua alis tebal kak Agni mencuat.
Terangkat maksudku. Aku tahu bahasaku terlalu berlebihan. “Lah, kenapa? Dia imut
kok,”
“Tapi kecil!” potongku ketus.
“Ya iya sih. Apalagi kalo jalannya
sama elo. Kayak emak sama anak aja,”
Setelah kalimat kejam bernada
tanpa dosa itu, dilengkapi dengan gerakkan bahu yang terangkat dengan kesan tak
peduli, kakak sulungku itu memilih untuk kembali membalik badannya dan berjalan
santai menuju kamar. Dia sama sekali tidak memikirkan perasaanku yang
tersakiti! Dasar jahat!
“Oh iya, kalo pulang jangan lupa
bawain gue martabak ya!” serunya yang kemudian disusul suara berdebum lumayan
kencang. Cewek itu pasti (lagi-lagi) membanting pintu kamar.
“AGNI! Pintunya jangan dibanting
dong!” protes mama dari kamar mandi. “Nanti kalo copot mama nggak mau ganti!”
sambung beliau yang kemudian berlalu sebal.
Aku hanya menghela nafas. Bagas
kemana sih?! Jangan-jangan tu anak lupa lagi? Batinku jelek.
Baru saja aku ingin mengangkat
ponselku dan menghubungi nomor Bagas, saat suara mama lagi-lagi menyapa
telingaku. “Kamu belum pergi juga Ndai?” mama melirik jam dinding bulat yang
tergantung manis didinding dapur. “Udah jam segini. Nggak jadi ya?”
“Nggak tau nih ma. Bagasnya nggak
dateng-dateng.”
“Yaudahlah, kalo nggak jadi
mending ganti baju gih,” saran mama sambil tersenyum hangat.
Aku mengangguk. “Sebentar lagi ya
ma,”
Setelah mengangguk-angguk sebanyak
3x, mama kembali berlalu dengan secangkir kopi yang uapnya mengepul di
tangannya.
berkali-kali aku menekan tombol
hijau pada ponselku, berkali-kali pulalah nada sibuk itu terdengar hingga
membuatku jengkel setengah mati. Akhirnya, karena terlalu sebal menunggu, aku
mengerim pesan singkat untuk sobatku yang paling tidak tepat waktu itu.
To : Bagas
JEMPUT SEKARANG, ATAU NGGAK SAMA
SEKALI?!
Send.
Setelah yakin kalau pesan itu
terkirim dengan selamat dan tanpa cacat, aku beranjak dari tempat dudukku yang
sejak tadi tidak kuubah. Memang benar-benar kurang ajar si Bagas! Awas aja,
kalau sampai anak itu minta bantuanku lagi. Nggak bakalan pernah aku bantu!!!!
Panjang umur. Orang yang sedang
kumaki-maki dalam hati itu langsung menelpon. Aku menekan tombol hijau dengan
tidak sabar. Ingin cepat-cepat menyemprot Bagas dengan omelan terdahsyat yang
pernah kupunya. Belum sempat satu katapun terucap dari bibirku, suara serak
Bagas langsung memenuhi telinga.
“Ya ampun Ndai! Sorry-sorry! Gue
ketiduran nih. Baru bangun waktu dapet sms dari lo. maaf banget ya Ndai, gue
baru mau mandi nih. Udah dikamar mandi. Tunggu 15 menit lagi ya Ndai. Jangan
marah. Cindai kan cantik, unyu, plus ngegemesin. Bagas sayang Cindai. Bye
Ndai!”
Oke. Ini gila. Aku tau Bagas itu
sobatku dari kecil. Tapi, hell—lo? dia ketiduran dan baru bangun sekarang,
itupun karena smsku, setelah berkali-kali aku mencoba menghubunginya melalui
telepon? Anak ini!!! rutukku dalam hati. Awas saja. Aku akan membalasnya lebih
dari ini! tunggu pembalasanku Abdibagas!
15 menit kemudian. Sesuai
janjinya, Bagas datang dan menjemputku di rumah dengan motor besar
kebanggaannya yang pastinya adalah hasil pinjaman dari kak Rio, sambil
menunjukkan cengiran permohonan maaf yang dibuat sedemikian rupa agar aku
luluh.
“Mama lo mana? Gue mau pamit.”
Katanya seraya meletakkan helm fullface-nya pada tangki motor gede itu.
“Ada tuh. Boleh aja lo pamit, kalo
lo mau kita pulang subuh!” balasku ketus. Tentu saja ditambah mata yang melotot
lebar dan dagu yang diangkat tinggi. Aku marah!
Bagas menghela nafas berat. “Yah
Ndai, segitu marahnya lo sama gue?”
Sekarang ganti aku yang mengheka
nafas, atau lebih tepatnya mendengus. “Udah berapa kali lo menanyakan hal yang
sama ke gue, hari ini?” tanyaku sedikit menyindir. “Ratusan? Mungkin.”
Aku berjalan melewati Bagas.
Berniat langsung menaiki motornya dan mengajak cowok tengil itu untuk
ceat-cepat pergi, dan cepat-cepat pulang kembali. “Mama udah gue kasih tau,
udah yuk buruan!! Keburu malem banget nih!”
Bahu tegap Bagas melorot. Cowok
itu mengangkat bahu sebentar, lalu berjalan pelan kearahku. “Cindai memang
galak,” gumamnya setelah berhasil memasang helmnya dengan sempurna.
“Dan Bagas memang tengil!!!” teriakku
setelah bengeratkan cardigan putihku di bangku belakang.
Bagas tidak mengindahkan
perkataanku melainkan membuka penutup helmnya dan menghadap belakang. “Jadi,
kita nonton twenty one?”
“Basi!”
“Terus mau kemana?”
Aku tampak berfikir sejenak.
enaknya, tempat ngerjain orang yang kesannya nggak kentara banget, dimana ya? Sambil
menggosok-gosokkan jariku didagu, layaknya orang yang sedang berfikir keras apa
nama latin binatang bersayap, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.
Tuk!
“Aduh!” seruku serius.
“Kok mikirnya lama banget sih?
Durasi nih!” jelas Bagas begitu aku melayangkan pelototan mautku padanya, yang
berarti meminta penjelasan kenapa cowok itu sampai mengetuk dahiku dengan
telunjukna.
“Pasar malam!!” putusku yakin.
Bagas mengangguk-angguk yakin.
“Oke, kita cus!!”
Author POV
Cindai benar-benar menjalankan misi
balas dendamnya. Terbukti, cewek itu langsung meminta berbagai macam jajanan
yang tertangkap matanya begitu mereka selesai memarkirkan motor. Selain meminta
jajanan dan pernak-pernik yang harganya tidak seberapa itu (ini dihitung kalau
belinya satu. Tapi Cindai ngotot mau beli semuanya 2! Biar afdol katanya.),
cewek itu juga meminta bagas menaiki komedi putar! Pertama-tama sih, Bagas
menolak dengan alasan permainan itu tidak bisa menanggung beban tubuhnya.
Tapi aksi penolakkan cowok itu
harus berakhir saat Cindai nekat bertanya pada penjaga permainan itu, “Pak, ini
bisa untuk kami juga kan?” tanyanya sambil menunjuk diri sendiri dan Bagas yang
berdiri cemas di sampingnya.
Penjaga permainan itu tampak
berfikir sejenak. Matanya bergerak naik turun menatap Cindai dan Bagas
bergantian. “Bisa kok mbak,”
Cindai jingkrak-jingkrak
kegirangan. Reaksi yang berbanding terbalik dengan Bagas. Sekarang, bahu cowok
itu benar-benar sudah melorot maksimal! Dia malu banget! Mau ditaruh dimana
mukanya yang ganteng ini, kalau sampai ada anak sekolah mereka yang melihatnya
menaiki komedi putar? Di pasar malam lagi. Membayangkan itu membuat perut Bagas
mulas seketika.
“Ayook Gas! Keburu penuh nih!!”
tarik Cindai tidak sabar.
“Duh duh. Sabar dong Ndai.” Bagas
berjelan setengah lari mengimbangi langkah Cindai yang tampai benar-benar
bersemangat.
Berputar selama 5 menit lamanya,
ditambah bonus 2 menit karena banyak anak kecil yang merengek-rengek meminta
diputarkan kembali, berhasil menjungkir balikkan harga diri seorang Bagas.
Cowok keren adik ketua club Basket yang namanya sudah tersohor seantereo
sekolahan. Bagas menatap Cindai yang kini sedang melahap permen kapasnya dengan
syahdu. Cewek itu tampak tidak peduli dengan Bagas yang dari tadi mengomelinya
sepanjang perjalanan menuju bangku semen yang sekarang sedang mereka duduki.
“Habis ini kita pulang ya?” pinta
Bagas dengan mata yang dibuat sendu.
Ditengah keasyikkannya mengulum
permen kapas berwarna merah muda yang (lagi-lagi) pemberian Bagas itu, Cindai
menoleh. Matanya menyipit seolah menghakimi Bagas yang terlihat tak berdaya
karena melayaninya mengelilingi pasar malam. “Yaaaah, masa pulang sih. Baru
segini juga.” Ujar Cindai dengan nada kecewa yang tidak dibuat-buat.
Bagas membuatkan matanya. “Segini?
Segini apa?! Hampir semua wahana disini lo coba. Dan hampir semuanya pula maksa
buat bisa dinaikin sama anak SMA. Belum cukup juga?!”
Cindai merengut. “Sekali lagi ya
Gas?” pinta gadis itu dengan tatapan memohon.
Melihat raut wajah bulat sobatnya
yang memelas, yang malah terkesan menggemaskan itu, Bagas jadi lumer. Nggak
tega juga sih buat Cindai langsung kecewa setelah menyuruh, atau lebih tepatnya
memaksa gadis itu menunggunya cukup lama. “Bener ya, sekali lagi?”
“Oke!” sahut Cindai bersemangat
begitu tercium bau-bau luluhnya hati Bagas atas permohonannya barusan.
Mendengar itu, Bagas hanya
mengangguk pasrah. “Nggak pake beli macem-macem lagi loh,” ancam Bagas sambil
mengacungkan telunjuknya kearah Cindai.
“Kalo itu sih..” Cindai
menggantungkan kalimatnya sementara, karena harus menggigit lagi permen
kapasnya karena yang tadi sudah habis terkemut. “Aku nggak janji,” Cewek itu
memalingkan wajahnya kearah Bagas dengan mata yang dijulingkan lucu.
“Cindai!!” teriak Bagas begitu
melihat Cindai sudah lari ke wahana bianglala.
Bagas dan Cindai berdiri takjub di
depan besi berbentuk kincir angin raksasa didepan mereka. Bukan karena besar
kincir angin itu. Tapi karena besinya yang di cat mengkilat hingga terlihat
seperti mesin yang baru saja dipindahkan dari tokonya.
“Eh mas, mas” Cindai melambaikan
tangannya memanggil penjaga permainan itu. “Ini baru ya?” Tanya cewek itu
setelah si penjaga mendekat kearahnya.
“Bukan kok. Ini udah lama, tapi di
cat ulang aja.”
Cindai mengangguk-angguk paham.
“Tapi ini masih kuat kan mas?” kini ganti Bagas yang bertanya.
“Waah! Kalo itu sih, dijamin
seratus persen mas!!” promosi si penjaga dengan gaya sok keren. Penjaga itu
mengangkat kedua jempolnya tinggi-tinggi sambil nyengir lebar. Tak lupa pula
kedipan mata yang bisa membuat siapapun merinding jika melihatnya. Termasuk
Bagas dan Cindai yang kni Cuma bisa meringis.
Akhirnya, setelah berfikir dan
berdebat cukup sengit, mereka memutuskan. Bahwa bianglala ini adalah wahana
terakhir akan mereka naiki sebelum akhirnya pulang.
“Hati-hati Ndai,” Bagas
mengulurkan tangannya untuk membantu Cindai masuk kedalam salah satu Gandolan
kincir angin raksasa itu.
Krek..
Kincir angin mulai berjalan.
Suasana hening berbaur dengan dinginnya angin malam yang berhembus.
Menghipnotis siapapun yang berada dalam gandolan untuk tidak mengeluarkan suara
hingga bisa menikmati keindahan alam yang menyuguhkan langit pekat dengan
taburan bintang dan satu bulan yang menjadi hiasannya.
“Gas,” Lirih Cindai tanpa melepas
pandangannya pada bentangan langit malam yang terasa begitu dekat dengannya
sekarang.
“Hmm,” gumaman tak jelas Bagas
menyahut.
“Lo tau nggak, kadang gue mikir
kita itu kayak Bulan dan Matahari,”
Tidak ada jawaban.
Cindai mulai melanjutkan lagi.
“Elo mataharinya, dan gue bulannya.” Sebelum melanjutkan, Cindai membenahi dulu
tatanan rambutnya yang berantakkan karena terpaan angin malam. “Disekolah, yang
bersinar sebenernya itu elo. Cahaya. Pusat dari segala pusat tata surya. Dan
sumber dari semua cahaya.”
Bagas mulai tertarik. Cowok itu
mengalihkan pandangannya dari menawannya suguhan malam ini, kearah seraut wajah
manis yang kini tampak begitu damai didepannya. Tidak ada suara yang ia
keluarkan. Cukup menjadi pendengar saja, karena ia merasa yang Cindai katakana
sejauh ini belum begitu menyentil bibirnya untuk ambil suara.
“Dan sama halnya dengan Bulan.
Bulan adalah cahaya. Iya, cahaya yang juga berasal dari Matahari. Tanpa
matahari, bulan nggak bakalan ada. Begitu jug ague. Tanpa elo, yang dalam kasus
kita adalah seorang idola, gue bukan apa-apa. Gue Cuma dipandang sebagai
Cindai-teman-akrab-Bagas. Bukan
Cindai-si-jenius-yang-selalu-masuk-rangkin-2-pararel-sekolah. Kadang gue
capek.”
“Capek pura-pura biasa aja temenan
sama lo. Padahal sebenernya gue sakit.”
“Kenapa lo yakin banget kalo lo
itu Bulan? Dan bukan matahari yang bersinar sendiri tanpa embel-embel biasan??”
“Karena tanpa kamu, aku bukan
apa-apa.”
“Ini bukan Cindai.”
“Ini Cindai.”
“Tapi bukan yang gue kenal.”
Cindai menoleh cepat kearah Bagas.
Tatapannya berubah sendu. Menyedihkan. “Cindai mana yang elo kenal?”
“Cindai yang pintar, cerdas, dan
logikawan.”
Helaan nafas berat terdengar dari
bibir mungil Cindai. “lo nggak benar-benar mengenal gue.”
“Ndai..”
Kreeek.
Tepat saat Bagas hendak
meluncurkan pendapatnya, bianglala berhenti. Cindai tersenyum lagi. Riang dan
tenang, layaknya air tanpa riak. “Lupain aja. Gue tadi Cuma.... ngigau? Anggap
aja itu Cuma acting. Gue nggak bener-bener merasa seperti bulan kok.” Cewek itu
tertawa renyah. Bagas hanya diam. Menatap Cindai dalam-dalam.
Tak kunjung mendapatkan sambutan
atas tawanya, Cindai berhenti. Dahinya berkerut-kerut heran melihat Bagas yang
bergeming. Cewek itu memiringkan kepalanya. “Gas?”
Hening.
“Gas?”
Tidak ada jawaban.
“Bagas!!” teriak Cindai sebal
sambil menjulingkan matanya dan menjulurkan lidah panjang-panjang. Bagas
tersadar. Sedetik kemudian tawanya langsung menyembur. Memenuhi ruang dengar
telinga Cindai, hingga membuat hatinya menghangat.
Setelah berhasil menguasai diri,
Bagas menatap Cindai. Masih dengan tatapan geli yang terlihat sekaloi kalau
cowok itu menahannya setengah mati. “Jangan berfikir lo itu Bulan lagi ya.
Tanpa gue, lo bakalan tetap jadi Cindai yang dikenal banyak orang.” Bagas
mengacak puncak kepala Cindai gemas. Sejurus kemudian, ia menuntun gadis itu
menuruni gandolan tempat mereka duduk.
“Mau permen lagi?”
“Nggak usah. Ntar gue gendut.”
“Bagus kan? bulan memang harus
gendut. Biar full. Hahaha..”
“Bagaas!!”
Komentar
Posting Komentar