Zea [Cerpen]
Dear Nesya,
Sorry request kamu lama. Habis saya nggak ada inspirasi nih-_-
maaf juga ya, buat tokohnya yang kebalik. Tapi temanya tetep sama kan? Iya. Cinta diam-diam. Cerita ini gantung gasih? Gantung kalau menurut saya. Tapi nggak tau deh menurut kamu gimana.
Yang jelas, makasih udah request sama saya, untuk yang ke--keberapa ya? saya lupa hehe-_-v
Yaudahlah yah, happy reading aja buat Nesya dan semua orang yang nggak sengaja baca. Semoga suka.
Salam sayang,
Calon penulis.
--
Aku mengagumimu, seperti seekor lebah
yang mengagumi sebatang mawar. Aku membutuhkanmu, seperti seekor kupu-kupu yang
membutuhkan nectar dari sekuntum bunga yang mekar.
***
Halo, mawar merahku yang selalu mekar.
Namaku, Leo. Akulah seekor lebah yang
selama ini mengagumimu. Akulah seekor kupu-kupu yang selama ini menghisap
manisnya nectarmu. Tidak ada yang bisa aku jelaskan tentang kelakuanku selama
ini. Mengamati, mengagumi, dan bahkan melukiskan setiap lekuk pahatan pada
wajahmu dengan kanvas keatas lembaran hvs-ku, tanpa seizinmu. Dan semuanya
berawal dari secangkir teh hangat di musim hujan bulan November lalu..
***
Setetes air jatuh dengan mulus di
hidungku, memaksaku untuk segera mendongak. Aku menatap hamparan awan hitam
yang sudah memayungi bumi sore ini dengan tatapan sebal. Setelah berdecak
beberapa kali karena kesal acara lesku yang sudah pasti akan gagal, aku
berlari-lari kecil menuju sebuah gubuk reok yang ternyata adalah sebuah kedai.
Hujan masih terus merembes dari balik
gumpalan awan hitam yang kini kian merata, sampai aku mendengar sebuah suara
melengking milikmu. Karena risih dengan suara yang terus memenuhi telingaku
itu, aku menoleh. Bermaksud ingin menegur si pemilik suara yang sangat
mengganggu ketenangan orang lain. Tapi detik berikutnya, aku malah diam.
Terpaku dengan pemandangan yang sekarang sedang tersuguh manis didepan mataku.
Disini, dari bawah langit yang berawankan
kelabu ini, aku menyaksikan tawamu. Jenis tawa yang lepas dan tanpa beban. Dan
saat itulah, aku merasakan aura-aura sang cupid yang sudah siap memanah salah
satu panah cintanya tepat di punggungku.
Sial.
Aku merutuki ponsel bututku yang
tiba-tiba saja berdering. Disaat-saat seperti ini, aku jadi ingin sekali
membantingnya kelantai kedai –yang hanya beralaskan tanah. Tapi niat itu
kubatalkan saat melihat nama yang tertera di layar ponsel yang sudah tak layak
pakai ini. Dengan dahi berkerut, aku menekan tombol hijau –yang sebenarnya
sudah tidak menyisakan warna— disisi kanan ponselku.
“Halo?” sapaku setelah meletakkan benda
mungil itu ke samping telinga.
Suara disebrang terdengar heboh dan
sedikit berlebihan. “Le! Kita nggak jadi les nih!!”
Aku mendengus mendengar ucapan yang
baru saja dilontarkan Ibe, teman sekelasku yang juga satu tempat khursus
denganku. “Jelas lah nggak jadi. Ujannya aja deres begini.”
Disebrang telepon, Ibe tertawa. Geli
tapi nyaring. Persis seperti nenek sihir yang sudah berhasil meracuni sang
putrid. Ibe memang sedikit lebay, menurutku. Cowok itu, walaupun tampangnya
oke, tapi kelakuannya kelewat idiot. Untung saja itu Cuma berlaku di kaum kami,
para laki-laki. Kalau saja Ibe bertingkah aneh didepan kaum hawa, aku yakin,
derajatnya sebagai kapten basket pasti bakalan longsor seketika.
“Lo dimana sih? Kok lama banget
sampenya?” Tanya cowok itu setelah menyelesaikan tawanya yang mengerikan.
Sambil menghela nafas, aku sedikit
melirikmu yang masih terus tertawa riang bersama temanmu. “Di warung kopi.”
“Sumpe lo? warung kopi deket sini Cuma
di jalan Griya, dan itu masih jauh banget dari sini. Lo jalan kaki?”
“Nggak usah ngeledek. Dompet gue udah
tipis nih.” Cibirku pelan. Takut kalau kalau
ada yang mendengar berita kemiskinanku.
Ibe tertawa lagi. Kali ini lebih geli daripada
yang tadi. Dasar sok cakep. Aku tahu dia kaya, maksudku orangtuanya yang kaya.
Tapi nggak perlu menertawai anak kost juga kan? Sebenarnya orangtuaku juga
nggak miskin-miskin amat sih.
“Yausah gue jemput deh. Ngopi dulu deh
lo. ahahaha.”
Tanpa membalas lebih dulu gurauan sahabatku
itu, aku langsung memutuskan sambungan lengkap dengan dengusan keras.
“Eh,”
Seruan itu berhasil menarik
perhatianku. Aku berbalik dan... “Kenapa?”
Salah satu dari dua gadis yang tadi
tertawa menatapku dengan satu alis terangkat tinggi dan jari telunjuk yang
menggantung di udara dan mengacung tepat kearahku. “Lo anak adek kelas gue
kan?”
Alisku terangkat. Bingung. “Hah?”
Gadis itu berdecak disebelah temannya
–kamu—yang sedang asyik menghirup cappuccino di gelasnya. “Lo anak kelas 11 di
SMA Bridge kan?”
Kali ini, bukan hanya gadis tadi yang
menatapku, melainkan kamu. Masih dengan pipet yang menempel dibibir, kamu
mengerutkan kening menatapku dan temanmu heran. “Kenapa sih Li?”
Temanmu menoleh kearahmu. “Ini nih Ze.
Dia adik kelas kita kan??”
Tatapan matamu yang tadi menatap
sepasang bola mata berlensa kontak milik temanmu beralih padaku yang masih
memasang tampang bingung. “Dia?” dahimu berkerut. “Nggak tahu deh.” jawabmu
ringan seraya mengangkat bahu acuh.
Hatiku mencelos. Sambil nyengir kaku,
aku melangkahkan kaki mendekat untuk duduk di bangku panjang yang juga menjadi
tempatmu mengistirahatkan pinggang. “Bu, kopi-nya satu ya.” Seruku seraya
mengangkat tangan untuk memesan.
“Oke,” Ibu tadi menjawab dengan muka sumringah,
tanda bahwa warung kopinya ini sudah nyaris bangkrut.
Memberanikan diri, aku menoleh kearah
kamu dan temanmu. “Jadi kakak-kakak kelas 12 ya?” tanyaku basa-basi.
Temanmu menoleh dan mengangguk ramah.
Reaksi yang berbanding terbalik denganmu. “Iya. Nama lo siapa?”
“Leo kak.” Aku menjawab sambil sedikit
membungkukkan punggung tanda hormat.
“Oh. Gue Lia. Ini temen gue, Zea.”
Kamu menoleh sekilas, mengangguk sambil
tersenyum, lalu kembali pada keasyikanmu menyedot cappuccino dingin yang terasa
kontras untuk cuaca saata ini.
“Salam kenal,”
**
“Jadi, lo naksir tu cewek?” Ibe
mengunyah kentang gorengnya dengan santai.
Ini jam istirahat pertama, dan kami
jelas sedang berada di kantin untuk mengisi perut yang tidak sempat diberi
asupan gizi tadi pagi. Lamunanku buyar. “Apa?”
Ibe mengangkat kentangnya yang
berbentuk seperti pensil, lalu memainkannya sebentar sebelum akhirnya kentang
itu menjadi panah untuk menunjuk seseorang yang sudah dari tadi kupandangi. Dan
hebatnya, Ibe melakukan itu tanpa menoleh untuk menepatkan sasarannya. “Lo naksir cewek itu?”
Aku tercenung. Bagaimana bisa cowok itu
tahu? “Nggak ah. Perasaan lo aja kali.” Elakku sambil menyendok gado-gadoku
kedalam mulut. Bicara soal makanan, gado-gado ini traktiran dari Ibe lho. Nggak
penting sih, tapi.. entahlah.
“Alah. Mata gue lebih tajem dari
perasaan gue sob,” ucapnya penuh gaya.
Aku mencibir. “Kebanyakan nonton anime
sih lo,”
“Bagus dong, daripada sinetron?”
“Terserah lo deh,”
Ibe terkekeh. “Nah, jadi gimana nih? Klarifikasi
ke gue kek.”
Sebelum menjawab pertanyaan Ibe, aku
meneguk terlebih dulu es tehku yang juga hasil traktiran darinya. “Klarifikasi
apa coba.”
“Perasaan lo, mungkin?” katany seraya
mengangkat bahu dengan alis yang naik turun tengil. Sial. Dia menghinaku.
“Nggak ada.”
“Nggak ada apa? Nggak ada harapan
maksud lo?”
Sial lagi. kalau saja makanan dan
minumanku sekarang bukanlah hasil dari tratiran Ibe, aku yakin cowok itu sudah
akan kutinju mukanya. “Tau ah,”
“Kalau naksir ya dikejar dong. Masa diem-diem.
Kek cewek lo,”
“Brisik.”
Tapi kayaknya Ibe nggak mendengar sama
sekali. Jadi, cowok itu melanjutkan kalimat puitisnya yang membuat darahku
langsung naik ke ubun-ubun.
“Jadi brondong asik kok man.”
**
Ada yang nggak beres denganku. Kenapa?
Karena sekarang aku sedang mengamati kakak kelasku sendiri di salah satu pohon
besar yang ada ditaman sekolah kami. Dan bisa dibilang, sekarang aku sudah
persis seperti penguntit yang jahat. Tapi, apa yang bisa aku lakukan lagi? aku
terlalu takut untuk menghampiri kakak kelasku itu. Sebut aku pengecut. Terserah
apa kata kalian. Yang jelas, sekarang aku sedang berdebar. Apalagi saat melihat
rambut panjangnya yang hitam dibelai angin sepoi-sepoi siang ini.
“Nggak usah ngintip. Keluar aja lagi,”
Nyes. Aku ketahuan.
Dengan gerakkan kikuk, aku keluar dari
tempat persembunyiank, kemudian berjalan pelan menuju bangku semen tempat kak
Zea duduk. Eh, atau bagusnya kupanggil Zea saja ya?
“Mau apa Le?”
Dia ingat aku. Bagus. Sekarang aku
benar-benar ingin lompat rasanya.
“Nggak papa. Cuma cari angin aja kok
kak.” Kataku bohong.
Zea tertawa. Renyah sekali. “Masa? Cari
angin kok setiap hari?”
Telak. Ternyata selama ini, acara
menguntitku sudah diketahui oleh orang
yang kukuntit. Dan apesnya, aku sendiri tidak tahu kalau tarhetku
mengetahui keberadaanku yang –menurutku sendiri— tak terlihat. Aku benar-benar
payah.
“Yaaa, gitu deh kak.” Ujarku kaku
sambil menggaruk kepalaku yang tidak berketombe.
“Panggil Zea aja.”
“Oh. Oke, Zea.”
Zea mengangguk angguk. Cewek itu
kembali fokus pada buku tebalnya yang menampakkan rumus-rumus fisika dan
atom-atom kimia disetiap halamannya.
“Lagi belajar ya Ze?”
“Iya,” jawabnya tanpa menoleh.
Tangannya yang menggenggam pensil sudah bergerak-gerak lincah diatas kertas
buram.
“Saya ganggu?”
Kali ini, cewek itu mendingak menatapku
yang memang lebih tinggi darinya. “Nggak kok,” tuturnya sambil tersenyum.
Lesung pipit di pipi kanannya langsung mencuat, menambah kesam manis yang
melekat di diri gadis itu.
“Syukur deh.”
Hening.
Sejak percakapan terkhir, aku tidak
lagi bersuara. Hanya diam sambil mengamati setangkup wajah serius Lea yang
semakin terlihat manis kalau sedang berpose seperti ini.
“Emm.. besok punya acara nggak Ze?”
Zea mendongak dan menatapku dengan dahi
berkerut, nyaris keriting karena sepertinya cewek itu sedang mengerjakan soal
kimia yang lumayan rumit. “Nggak ada. Kenapa?”
“Mau nggak jalan sama saya?” aku
merutuki diriku sendiri. kenapa bisa secepos ini?
“Nggak usah kaku gitu bahasanya. Nggak
enak ah.”
“Eh maaf.”
“Noprob. Boleh. Kemana emang?”
“Kemana aja,”
Zea tertawa lagi. Entah untuk apa. “Oke
oke.”
Aku mengangguk-angguk sok elegan.
Semoga saja raut bahagiaku tidak terbaca oleh sepasag mata indah Zea. “Eh Ze,
boleh Tanya?”
“Apa?”
“Kok dari tadi ketawa terus sih?”
“Habis, lo lucu kalo lagi salting.”
Komentar
Posting Komentar