Random Parah!! Bagian Dua.


Dua menit sudah berlalu. Ify masih terus terisak didalam rengkuhannya sendiri. Menyesali segala tindakan yang dilakukannya pada Rio selama ini. Jangankan membalas perasaannya, meliriknya pun cowok itu sudah enggan. Seharusnya Ify tau apa yang harus ia terima kalau terus menjalankan kehidupan yang seperti ini. Tapi sesuatu yang terus meletup-letup didalam sana begitu menyiksanya. Membuat gadis lugu itu harus rela menerima sayat demi sayat di dalam hatinya, setiap kali jantungnya berdebar gugup.
“Sampe kapan mau nangis?” suara bariton yang terdengar dingin itu menyambut isakan Ify yang mulai mereda. Gadis itu mengangkat kepalanya. Menatap sepasang mata coklat yang tampak tenang dan tanpa riak didepannya.
Ify menggeleng lemah sebagai ganti jawaban, “Nggak tahu.”
Rio mendesah. Sambil menghela nafas berta, cowok itu mengeluarkan salah satu tangannya dari saku celana, bersama dengan sepotong kain lembut berwarna cream. “Nih, pake.” Rio menyodorkan kain berbentuk persegi itu kearah Ify. Sebelum mengangkat kepalanya lagi untuk melihat/pun menerima barang yang sedang disodorkan Rio, gadis itu lebih dulu menghapus airmatanya yang menggantung diujung mata indahnya.
“Buat apa?” tanya Ify dengan mata sembab setelah menyelesaikan kegiatannya membasuh airmata.
Rio mendengus malas. “Hapus air mata lo.”
Dengan ragu, Ify mengangkat tangannya untuk menerima ‘bantuan’ dari Rio. Ketika tangannya sudah berada beberapa centi lagi untuk mencapai sapu tangan pemberian Rio, Ify menghentikan gerakkannya. Rio menatap gadis itu dengan kening berkerut. “Kenapa?”
Ify menggeleng lemah. “Nggak usah Yo. Kalo gue pake barang dari lo, ntar susah buat move on-nya.” Tutur gadis itu diiringi sebuah seringaian lucu, membuat Rio membeku ditempatnya.
Mendengar penuturan Ify yang kelawat jujur, Rio merasa ada sesuatu yang menyentil bagian paling vital dalam dadanya, hingga membuat benda itu terasa meluruh, dan berhasil meninggalkan perih.
Ini bukan keinginannya. Bukan perpisahan yang ia harapkan setelah sekian lama menjaga sebuah perasaan untuk gadis manis yang kini tengah menghapus airmatanya tepat di mata kepala Rio sendiri. bukan sebuah luka yang ingin ia torehkan di sebilah hati gadis itu. Tapi keadaan berbicara lain. Ada sesuatu dan lain hal yang membuat Rio harus melepaskan Ify, dan mendorong gadis itu untuk terus terbang bersama angannya.
“Fy... Gue—“
“Udahlah Yo. Ini salah gue kok.” Potong Ify cepat. Seulas senyum manis masih dipamerkannya. Walaupun sepasang mata bening milik gadis itu sudah terlihat sangat sendu.
Rio menurunkan tangannya yang masih tergantung diudara, lalu kembali memasukkannya kedalam saku dengan keadaan mengepal. Hatinya perih melihat Ify yang dengan polosnya masih bisa tersenyum, setelah apa yang ia katakana pada gadis itu. “Maafin gue.” Lirihnya pelan. hampir tidak terdengar kalau saja angin sepoi-sepoi dari atap terbuka gedung sekolah tidak berhembus, dan mengantarkan bisikan cowok itu pada Ify.
Dalam diam, Ify ikut menangisi hatinya. “Gue maafin,” balas Ify lebih lirih, berharap Rio yang berada disampingnya dan sedang menunduk dalam itu tidak mendengar.

                                                            **
Shilla melirik jam tangan putihnya dari sudut mata. Pukul 14.30 WIB. Kenapa Gabriel belum juga datang? Apa cowok itu ingat kalau pernah berjanji akan terus menemukannya dimanapun dan kapanpun Shilla pergi? Shilla menghela nafasnya.
“Gabriel pasti dateng kok,” hiburnya pada dirinya sendiri. Lalu, tanpa memperhatikan sekelilingnya, Shilla menengadah. Menatap rimbunnya pohon-pohon yang ditanam oleh kakak kakak kelasnya yang terdahulu. Kaki jenjangnya ia ayunkan kedepan-belakang dengan gerakkan lambat.
Ini tempat favorite Shilla. Tempat yang Shilla akui sebagai istana tempat ia berfikir dan merenung. Tidak ada yang tahu kalau Shilla sering pergi ke taman ini sendirian, untuk mengerjakan tugas, atau hanya sekedar untuk menghilangkan penatnya. Tidak ada yang tahu, kecuali Gabriel. ya, hari ini Shilla berencana untuk menceritakan semua tentang tempat ini pada Gabriel, kekasihnya, kalau cowok itu berhasil menemukannya sebelum jam istirahat berakhir.
Setelah sepuluh menit menunggu kedatangan Gabriel yang tidak kunjung datang, Shilla memutuskan untuk menghubungi cowok itu lewat Handphone. Baru saja benda pintar itu akan ia gunakan, sebuah tangan besar langsung merebut benda itu, dan buru-buru memasukkannya ke dalam saku sebelum si pemilik berteriak-teriak memintanya kembali.
Shilla menoleh cepat kearah samping kirinya. Helaan nafas berat langsung menguar dari bibir tipisnya. Cewek itu mengerucutkan bibirnya . “Vin, balikin ah.” Rengek Shilla manja pada Alvin yang kini sudah duduk manis di kursi panjang samping kiri Shilla.
Sepasang mata sipit cowok itu menatap Shilla lekat-lekat dengan binar jenaka yang berkilat-kilat. “Nungguin siapa?”
“Kepo lo,” Balas Shilla ketus.
Alvin tertawa. “Dih, sensi amat sih??”
“Bodo’”
Alvin menggeser sedikit bokongnya agar bisa lebih dekat dengan Shilla yang sedang kesal sambil bersungut-sungut, kemudian mengangkat tangannya untuk merangkul gadis itu. “Ngantin yuk? Lagian, ngapain sih, lo disini?”
Shilla memutar bola matanya kesal menanggapi pertanyaan dari sahabat kecilnya itu. “Udah gue bilang, lo kepo banget sih?”
“Yeee. Lo pasti lagi galau kan?” tebak Alvin sambil berbisik.
Disampingnya, Shilla langsung tertawa ngakak mendengar tebakan Alvin yang menurutnya terlalu dangkal. “Nggak kok. Aneh deh lo. Udah sini, balikin hapenya.”
“Yudah kalo nggak mau.”
Alvin bangkit dari duduknya, membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di bagian pantat celananya, dan mulai dadah-dadah tanpa mengembalikan handphone Shilla lebih dulu, memaksa gadis itu untuk langsung melebarkan kelopak matanya guna memelototi Alvin.
“Hapenya Vin!!”
                                               
                                                            **
“Kok Alvin lama ya?” gumam Sivia dari balik bilik salah satu perpustakaan dengan pergelangan tangan terangkat, untuk melihat jam tangan putihnya yang melingkar indah disana. Sivia menutup buku tebal berjudul “Biografi Soekarno” yang sedari tadi dibacanya, kemudian bangkit dan meletakkan buku itu ke tempatnya semula.
“Bacanya udahan Vi?” tanya seseorang dari bilik kiri tempat Sivia membaca tadi.
“Udah Yon. Mau nyusul Alvin dulu.” Jawab Sivia lembut sambil tersenyum hangat. Sion adalah teman seperjuangannya yang juga suka membaca.
Cowok berkaca mata itu tersenyum menggoda kearah Sivia. “Nduileee. Disusul segala. Alvin nggak bakal kabur kok Vi.”
“Ya enggak lah Yon. Lo apaan sih,” elak Sivia sambil melempatkan secarik kertas kecil yang dipungutnya dari balik rak tempat ia meletakkan buku tadi.
Sion tertawa renyah menyambut lemparan Sivia yang meleset jauh. “Udah udah sana. Susul gih, koko lo. Ntar kabur lho.”
Sivia ikut tertawa menyaksikan Sion yang tampak geli. “Oke. Gue duluan ya Yon. Bye,” pamit Sivia seraya berlari kecil menuju pintu kayu perpustakaan.
Setelah selesai memasang sepatunya yang bertali, Sivia bangkit, menepuk nepuk pelan bagian belakang roknya, dan muli melangkah tenang menuju kantin. Tidak ada firasat apapun yang menyinggahi hati gadis itu. Hanya sebuah perasaan senang nan bahagia yang dirasakan hatinya sejak dua minggu terakhir ini.
Sampai akhirnya sepasang matanya menangkap siluet Alvin, orang yang sedang berada dalam pikirannya, sekaligus orang yang sedari tadi ia tunggu kehadirannya, sedang duduk manis di samping gadis cantik berambut panjang terurai. Sivia menyipitkan matanya, mencoba memperjelas apa yang ia lihat.
Benar saja. Gadis itu adalah Shilla. Sahabat sekaligus cinta pertama kekasihnya. Sivia meringis saat menyaksikan sendiri betapa dekatnya bibir Alvin dengan telinga gadis yang berada disamping cowok itu. Sivia bahkan bisa merasakan jantungnya berdetak keras, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hatinya langsung miris begitu menyaksikan tawa Shilla menyembur hangat dari bibir tipis cewek itu, menyambut bisikan Alvin yang tidak bisa Sivia dengar. Kalimat apapun itu, Sivia harap bukan sesuatu yang akan mengundang sakit hati untuknya. Sudah cukup banyak luka yang tergores didalam sana. Jadi, Sivia memohon dalam hati, meminta agar Alvin segera pergi dari sana, dan menemuinya lagi sebagai seorang...pacar.

                                                            **

“Ag, kita putus aja ya?” pinta Cakka dengan suara parau. Setelah sekian lama berusaha mengumpulkan kembali jiwanya yang sempat melayang kemana-mana, Cakka akhirnya berhasil juga mengatakan ini pada Agni, tanpe berani menatap sepasang bola mata cewek itu secara langsung.
Isakan Agni masih terdengar jelas dan menusuk ditelinga Cakka, meskipun gadis itu sudah menahannya mati-matian. Sebuah anggukan kecil Cakka terima atas pertanyaan terkonyolnya barusan.
Cakka mengangkat wajahnya. Menatap Agni yang kini sudah tersenyum lelah didepannya dengan sendu. “Kenapa?” tanya Cakka gambling. “Kenapa kamu nggak bilang jangan?”
Agni menyeka air matanya sambil tertawa kecil. Menertawakan pertanyaan Cakka yang tidak kalah konyol dari yang pertama tadi. Perlahan, diraihnya jemari-jemari Cakka yang masih saling bertaut diatas meja, lalu menangkupkan jemari itu dengan kedua telapak tangannya. “Udah jelas kan? mama kamu—“
“Stop! Jangan bilang apa-apa lagi.” potong Cakka cepat sebelum Agni sempat menyelesaikan kalimatnya. Agni menatap mantan kekasihnya dengan sendu. Lebih sendu dari sepasang mata hitam Cakka kini terpejam.
“Kka..” tegur Agni pelan. Pelan-pelan ia mulai menarik kembali tangannya. Tapi, sebelum tangannya sempat tertarik, Cakka sudah lebih dulu berbisik.
“Jangan dilepas Ag. Aku mohon,” desis Cakka penuh dengan nada perih.
Walau ragu, Agni tetap memenuhi permintaan Cakka. Sebenarnya, bukan hanya Cakka yang merasakan sakit hati. Disini, disudut yang tidak akan terjangkau dengan lup sekalipun, Agni juga menderita. Perjodohan bukanlah sesuatu yang baik bagi siapapun. Termasuk bagi dirinya dan Cakka yang sudah menjalin hubungan lebih dari 4 tahun. Ini tentu saja bukan sesuatu yang mudah untuk dilalui.
Meskipun orang sering bilang “Cinta anak SMA itu Cuma cinta monet doang. Mau enaknya doang. Giliran susah dibuang.” Sepasang hati ini telah terlanjur bertaut. Karena itulah, Cakka berani mengenalkan Agni pada orangtuanya, dan meminta mereka untuk merestui hubungannya dengan Agni. Tapi sesuatu yang tidak pernah terbayangkan terjadi. Membuat Cakka mauoun Agni harus seperti sekarang ini, di tenda sate padang yang berada dipinggir jalan.
“Kka...” tegur Agni sekali lagi. Berusaha untuk mendapatkan kembali perhatian Cakka.
“Nggak sekarang Ag. Jangan dilepas. Biarin gini, sampe semua kembali normal.” Kali ini, Cakka tidak lagi meminta dengan lirih, melainkan dengan sepasang matanya yang berkilat, dan genggaman tangan yang balik mengurung jemari-jemari kecil Agni.
Didepannya, gadis itu hanya mampu mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya menahan tangis. “Iya,” Cicit Agni sambil mengangguk kuat-kuat, membuat air matanya yang menggantung langsung meluncur bebas ke pipinya yang mulus tanpa make up. Melihat itu, Cakka mengulum senyumnya.
“Sabar ya,” ujarnya lembut dan hangat. “Semua pasti bakal dilewatin kok. Kamu tenang aja.”

Komentar

Postingan Populer