Sweet Love BaDai [Cerpen]
“Gas, mau sampe kapan sih, kita
disini? Panas tau!” teriak Cindai dari pinggir lapangan untuk yang kesekian
kalinya. Cewek itu lalu berdiri sambil menghentakkan kaki, dan langsung
berkacak pinggang, bersamaan dengan Bagas yang menoleh kearahnya dengan muka
masam dan wajah yang sudah dibanjiri oleh peluh..
Bagas berjalan mendekat bersama
sebuah benda bulat yang terapit diantara pinggang dan tangan kanannya. Kemeja putih
yang dikenakan cowok itu sudah tidak lagi teratur. Keluar dan berkibar-kibar
nakal akibat terpaan angin, hingga mengekspos tubuh rampingnya. “Sebentar lagi
ya Ndai?” bujuknya setengah memelas begitu langkahnya berhasil menghapus jarak
yang terbentang antara ia dan gadis didepannya.
Wajar kalau siang ini Cindai
marah-marah. Menunggu seseorang latihan basket sendirian dipinggir lapangan
yang panas selama 2 jam lebih bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Sialnya, hal
itulah yang sekarang sedang dialami Cindai. Bagas, sahabat laki-lakinya yang
kelewat tengil itu memintanya untuk menemani cowok itu latihan basket. Awalnya Cindai
memang menolak. Tapi karena iming-iming eskrim gratis, Cindai dengan reflex langsung
mengangguk tanpa berfikir apapun lagi.
Dan inilah akibat yang harus ia
terima karena ulah kepalanya yang langsung saja mengangguk waktu itu.
“Nggak, ma-u!” tolak Cindai tegas
sambil menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Rambut panjangnya yang
hitam dan terikat rapi di belakang ikut bergoyang mengikuti gerakkan kepala
Cindai. Tidak cukup sampai disitu, Cindai malah mengubah posisi berkacaknya
dengan melipat tangannya didepan dada, kemudian mulai menyipitkan matanya
tajam. “Kenapa nggak latihan sendiri aja sih?”
Melihata ekspresi Cindai yang
tampak sudah sangat kesal, Bagas membungkukkan punggungnya untuk meletakkan
bola basket yang sedari tadi diapitnya dipinggah, ke bawah. Tepat di depan kaki
Cindai. Dan kemudian kembali menegakkan punggungnya, hingga berhasil menyamai
tingginya dengan Cindai. “Tadi yang bilang mau nemenin gue maen, siapa?” tanya
Bagas polos sambil memiringkan kepalanya kesamping kiri Cindai.
Dilempar pertanyaan mematikan seperti
itu, Cindai hanya bisa menundukkan kepalanya dalam diam. Bibirnya mendadak kelu
dan tidak bisa digerakkan.
Bagas mundur dua langkah. Setelah merasa
jarak itu cukup aman, cowok itu meletakkan telapak tangannya diatas dengkul
sambil membungkuk persis seperti orang sedang rukuk. Sepasang mata kelabunya
menatap setangkup wajah malu Cindai sambil menahan senyum. “Tadi yang minta
eskrim elo kan?”
“Nggak kok! Kan elo yang nawarin!”
elak Cindai tidak terima. Dia sudah kembali mengangkat kepalanya dan menatap
Bagas yang sedang tertawa dengan sinis. “Nggak usah ketawa! Jelek lo!”
“Ya ampun. Maaf maaf,” setelah
berhasil menguasai diri, Bagas berdehem sebentar karena menangkap ekspresi
tidak senang dari Cindai, lalu baru melanjutkan. “Oke-oke. Lo tunggu 15 menit
lagi, terus kita beli eskrim. Gimana? Setuju?”
“Mau nggak yaaaaa?” Cindai mengetuk ngetukkan
jari telunjuknya di dagu, berlagak berfikir. Padahal, kalau sedang dalam suasana
normal, ia tidak akan segan/malu untuk langsung menangguk menyambut tawaran
sahabatnya. Tapi, berhubung Bagas sudah membuatnya menunggu cukup lama, Cindai
berniat untuk mengerjai cowok keren itu.
Melihat kelakuan aneh Cindai,
Bagas mencibir. “Halah, bilang aja mau Ndai. Pake mikir segala. Belagu lo.”
Cindai merengut. “Ih! Biarin. Suka
suka gue lah, wleee.”
Bagas hanya menangguk tanpa minat sambil
berdehem aneh melihat kelakuan Cindai yang menurutnya terlalu lebay. “Yaudah. Langsung
aja deh. susah bawak cewek bawel,” Putus Bagas akhirnya. Masih dengan kemeja
putih yang berkibar dan disertai aroma keringat bercampur matahari yang melekat
erat ditubuhnya, cowok itu melangkah menuju sudut lain yang menjadi tempatnya
meletakkan tas.
“Eh eh. Bolanya gimana nih?” seru
Cindai sambil menunjuk-nunjuk benda bulat berwarna hitam dibawanya.
“Tolong gotong kesini ya Ndai,”
seru Bagas tanpa menoleh karena kedua tangannya sedang sibuk mengemas
barang-barangnya yang berantakan. “Jangan sampe lecet lho!”
“Dih. Pantes aja lo nggak punya
pacar.” Sungut Cindai dengan kedua tangan yang memeluk erat bola hitam milik
sahabatnya. “Kejaan lo ngelus bola mulu. Ya kan?” todong gadis itu setelah
berhasil menyusul Bagas.
Bagas hanya terkekeh mendengar
penuturan ngawur Cindai. “Bagus kan, gue masih ngelus bola basket. Daripada elo
yang gue elus?” godanya iseng seraya memasang jaket baseball-nya yang baru saja
ia pungut dari semen panjang yang mengelilingi lapangan.
Cindai mendelik. “Bagas!!!”
serunya tertahan, lalu mulai mendaratkan pukulan bertubi-tubi kearah anak
laki-laki yang sekarang sedang tertawa puas karena melihat pipinya yang bulat
tampak berubah warna. “Dasar mesum!!” lanjutnya yang disertai dengan sebuah
geraman.
Bukannya kesakitan karena menerima
pukulan bertubi-tubi dari sahabatnya, Bagas malah semakin ngakak. Emang dasar
cowok. Hobi-nya pasti mesum! Keluh Cindai dalam hati.
***
“Jadi, habis ini kita ke mana?”
Bagas menoleh kesamping, untuk melihat Cindai yang sekarang ada dalam
rangkulannya. Mereka baru saja selesai menyantap eskrim vanilla bertabur coklat
disalah satu kedai langganan mereka.
Cindai menghentikan langkahnya
menyusuri koridor kedai karena merasakan sesuatu yang berat telah menimpa
bahunya. “Bagas apaan sih. Lepas ah, malu tau.” Decak cewek itu seraya
menyingkirkan lengan Bagas yang masih betah bertengger pada bahunya.
“Halah. Gini doang Ndai. Nggak mesum
kok.” Tolak Bagas halus, yang kontan membuat Cindai melotot ganas ke arahnya.
“Bagaaas!” teriaknya gemas.
“Iya iya maaf.” Cicit cowok itu
seraya melepas rangkulannya dari bahu Cindai, lalu memasukkan kedua tangannya
kedalam saku. “Jadi?”
“Pulang aja deh.” balas Cindai
seadanya.
Bagas menoleh cepat mendengar
jawaban Cindai. “Pulang? nggak mau kemana-mana lagi?”
Cindai menggeleng lelah. “Nggak
ah. Capek gue.”
“Oke. Tapi temenin gue beli bunga
dulu ya Ndai?”
“Buat apaan?”
Bagas cengengesan. “Adalah. Kepo banget
lo.”
Cindai mendelik. “Yaudah kalo
nggak mau ngasih tau. Pergi aja sendiri!”
Baru saja Cindai akan berbalik,
ketika pergelangan tangannya ditahan oleh Bagas, dan dengan sekali sentak,
cowok itu berhasil membuatnya kembali berhadapan dengan sepasang mata
kelabunya. “Bunga itu buat elo Ndai.”
Komentar
Posting Komentar