Selamat Datang, Kamu. [Cerpen]

Let’s take our time tonight, girl
Above us all the stars are watchin’
There’s no place I’d rather be in this world.
-
            21 September 2017.
         I’ll Be milik Edwin McCain mengalun indah pada petang rabu yang orange. Aku tersenyum tipis, meletakkan benda pipih canggih yang masih terus melantunkan suara indah sang musisi pada satu – satunya bangku taman yang tersedia, lantas membalik badan menatap sepasang mata indah yang kini menyipit di depanku.
            Aku melangkah pelan, menyusul sepasang kaki ramping yang heels nya sudah tak lagi terpakai. Seulas senyum manis langsung menyambut begitu langkahku hanya tinggal beberapa senti dari tempat sepasang kakimu berpijak.
            “Mau berdansa bersamaku?” Sebuah lengan dengan jemari letik tersodor tepat didepan wajahku.
           Sambil mengedikkan bahu sedikit tersingung, aku menyambut tanganmu. “Bukannya aku yang harus bilang begitu?”
            Kamu tak menjawab. Hanya tertawa renyah dengan sepasang mata kecil yang semakin tertutup. Entah harus mulai darimana aku bersyukur tentang hadirmu. Haruskah ku mulai dari kekasihku yang memilih menikah diam – diam? Atau dari perjalanan tujuh jamku yang melelahkan? atau justru dari kunci hotel yang tertukar tempo lalu? Aku tidak tahu harus memulainya dari mana, karena benang merah antara kamu dan aku adalah yang terbaik. Tapi percayalah aku akan mengakhirinya disini. Cukup pada seulas senyum dengan sepasang mata sipit milikmu.
            Let’s spend our time together.” Kataku tiba – tiba.
            Langkah lambatmu terhenti. Menyisakan sepasang mata abu-abu yang kini menatapku bingung. “Memang itu rencanaku.” Katamu tak keberatan sama sekali. “Under the light of a thousand stars I’ll make u happy like a prince.
            Tawaku pecah seketika. Kehabisan kata pada kalimat cheesy mu yang terdengar seperti rayuan gombal seorang lelaki. “Harusnya lagi, aku yang bilang begitu ke kamu.” Sergahku tak terima.
            Kamu tersenyum tipis. Lantas melepas genggaman tangan kita. “Emansipasi, kan?” ujarmu nakal dengan satu kedipan mata yang disertai pelukan erat pada leherku.
           
Your eyes are where I’m lost in
Underneath the chandelier
We’re dancin’ all alone
There’s no reason to hide
What we’re fallin’ inside
Right now
-
            Music sudah tidak lagi mengalun ketika sepasang kaki tanpa alas milikmu memilih berpijak pada sepasang kaki telanjangku. Kedua lenganmu terkalung indah di leherku yang mulai pegal. Berdansa di taman yang hanya diterangi oleh lampu berkekuatan 5 watt ternyata tak seburuk itu. Suasana romantis yang diciptakan jangrik malam membantuku merekam apik seraut wajah manis yang kini menengadah, memaksaku untuk menatap.
            “Mau dilanjutkan Prince?”
            Aku menghela napas. Merasa kalah pada sepasang bibir tipismu yang kini sedang kamu gigiti bawahnya. “Stop being too gantle darl. Aku malu sekarang.”
      Suara kekehan halus kembali menyapa beberapa detik setelah kalimatku selesai. Kamu menggeleng. Mengulum bibirmu sambil terus menatap menggoda pada sepasang mata kelamku.
            “Karena kamu terlalu pemalu, aku berinisiatif ngomong lebih dulu.” Akumu tanpa beban.
            “Kamu tahu, berdansa dibawah lampu taman ternyata tidak seburuk yang kufikirkan.”
            “Artinya?”
            Aku tersenyum sebelum melanjutkan. “Terus tatap aku kayak gini. Aku bakal nyeret kamu pada sebuah kebahagiaan yang nggak akan pernah bisa kamu lupakan seumur hidup.”

So baby let’s just turn down the lights
And close the door
Oooh I love that dress
But you won’t need it anymore
No you won’t need it no more
Let’s just kiss ‘till we’re naked, baby
-
            Tengah malam sudah berlalu, ketika bundaran lampu taman berkedip lambat seperti pertanda akan padam. Kulayangkan tanganmu ke kanan, kemudian maju, lalu mundur, dan kutarik ke sisi kiri serta memutar beberapa kali. Semakin gelap, semakin cepat pula langkah yang kutuntun padamu. Suasana sepi dengan suara jangkrik mendominasi adalah keadaan yang cukup mendukung untuk memulai sesuatu yang spectaculer.
            Aku menunduk, dan langsung disuguhkan setangkup wajah sayu yang kini sudah bermandikan keringat. Astaga. Aku tidak pernah tahu bahwa seorang perempuan yang berkeringat di tengah malam akan jadi jauh lebih cantik dari yang biasanya terlihat. Auramu terasa lebih dewasa di tengah malam berbulan sabit seperti sekarang.
Aku tersenyum simpul. Entah harus geli atau kasihan pada sepasang kelopak matamu yang kian lama kian menutup. Memprotes pemiliknya –kamu— untuk berhenti melakukan gerakan memutar yang sudah seperti tarian kuda lumping. Linglung dan tak lagi ter-handle kesadaran. Aku tertawa lepas sebelum akhirnya meraih pinggang rampingmu mendekat. Menghentikan gerakan tidak-tahu-tujuan yang kamu lakukan selama beberapa menit belakangan.
Kamu mendongak. Menatap penuh mohon pada sepasang manik kelamku. “Aku capek.”
“Aku tahu.” Sahutku dengan senyum yang masih terlukis jelas.
Kamu mengangguk. Kembali menunduk dengan untaian rambut panjang yang tidak lagi serapih 4 jam lalu. “Ayo pulang.” Ajakmu seraya berbalik membelakangiku.
Aku menggeleng. Menolak dengan halus ajakan pulang yang terdengar setengah memohon darimu. “Aku gamau pulang.”
Kamu kembali berbalik, lantas mengajukan protes dengan nada naik setengah oktaf. “Loh kok gitu?”
Sambil mengangkat bahu acuh aku melengang pergi melewatimu begitu saja. Kamu tak bergeming. Memilih diam di tempat dengan sepasang mata mengekoriku yang berjalan pelan menuju barisan lampu taman,
“Mau apa kamu?”
“Duduk di bawah lampu taman?” kataku iseng, tanpa melepas pandangan pada dress pink pucatmu yang tidak lagi secantik pertama kali kulihat.
Kamu mendengus. Wajah lelahmu sudah menimbulkan ekspresi kesal ketika nada sinis tentang “Kamu kurang kerjaan ya?” melantun indah dari sepasang bibir sintalmu.
Merasa tidak perlu menanggapi pertanyaanmu, aku menekuk lutut. Mendaratkan pantatku nyaman pada hamparan rumput yang sepertinya baru saja dipangkas beberapa hari lalu. Aku kemudian menoleh padamu, lantas menepuk – nepuk pelan lahan kosong di sisi kananku.
“Ayo sini. Duduk sebentar.”
Walaupun dengan bibir yang mengerucut, kamu tetap menghampiriku. Berjalan linglung dengan kedua tangan yang menenteng heels warna senada dress yang kamu pakai. Gemeresek rumput langsung menyapa telingaku begitu kamu mendarat nyaman tepat di samping kananku.
“Ayo pulaaaang. Udah ngantuk~” rengekmu  dengan segala tingkah kekanakanmu.
“Iya sebentar lagi. Coba sini mana mukanya,” aku mengulurkan kedua tangan, lalu menangkup seraut wajah kusutmu yang masih bermandikan keringat. “Dielap ya biar ga keliatan kucel.”
Kamu hanya mengangguk, antara menurut dan tidak punya pilihan lain selain membiarkanku membersihkan wajahmu dan mengakhirinya sesegera mungkin.
Kegiatan membasuh mukamu kulakukan dengan tenang sampai retinaku tidak sengaja menangkap kedua bahu mulusmu yang tidak tertutup sehelai benangpun. Kulit seputih susu itu, dengan kedua tahi lalat yang masing – masing menempati bahu kanan atas dan serong kirinya. Aku menelan ludah kasar. Shit. Apakah menatap seorang wanita di tengah malam dapat meningkatkan hormon mesum seorang laki – laki 20 tahunan?
“Udah?” tanyamu jengah, yang hanya kujawab dengan satu anggukan singkat.
“Lain kali, jangan pakai baju terbuka.” Aku melempar tisu beroda lipstick sembarangan. Memilih untuk menatap sepasang burung gereja yang bertengger manis di ranting pohon mangga tak jauh dari tempatku duduk, daripada pada sepasang mata sayu dengan bahu terekspose disampingku.
“Memangnya kenapa?”
Aku mendengus malas. “Kamu kan perempuan, harus jaga aurat.”
Kamu tersenyum tipis, menggeser bokongmu lebih mendekat ke kiri. “Kiss me,” bisikmu pelan pada telinga kananku yang sudah semerah darah.
Are u crazy?” desisku penuh tekanan. Antara marah dan malu yang menjadi satu. Bagaimana bisa kucing manis yang kutemui di selasar hotelku tujuh hari lalu berakhir menjadi seekor hyena yang siap diterkam dan menerkam?
Kamu mengerling. Mengangguk singkat dengan satu kali kedipan mata “’cause of u, right?”
Aku baru akan membuka mulut untuk membalas ucapanmu saat sepasang bibir tipismu sudah mendarat tepat sasaran lebih dulu. Aku tersenyum. Diam – diam menikmati sisi liar seekor kucing manis yang kutemui tujuh hari lalu. Sepasang bibir tipis itu awalnya hanya menempel. Tapi pada lima detik berikutnya, mereka mulai bergerak acak serupa lumatan iseng ala amatiran, sampai pada detik kelima belas kamu memutuskan untuk menggigit bibir bawahku.
Ternyata, kamu bukanlah seorang pencium yang ahli. Lihat, siapa yang pertama memulai dan siapa pula yang sekarang sudah kewalahan hanya karena aku membalas dengan satu lumatan kecil tak menuntut?
Satu tanganku reflek menahan tengkukmu ketika eksistensi lumatanmu tak lagi kutemui. Kamu menggeliat tak nyaman dalam kukunganku. Memukul pelan dadaku, yang kutangkap dengan kamu butuh oksigen segera, dan ingin melepaskan cumbuan kita segera. Tapi maafkan aku gadisku. Kamu yang memulai, dan aku tidak akan membiarkanmu mengakhirinya semudah itu.
Cumbuanku semakin liar dan tidak lagi lembut yang tanpa menuntut. Sepasang bibirmu kulumat dalam sarat akan tuntutan yang begitu kentara. Kuharap kamu paham maksud dari pagutanku yang sekarang. Karenanya, kuraih pinggang rampingmu, lantas menghapus jarak yang tadi tersisa antara kita sambil terus memakan sepasang bibir cherrymu yang kian lama kian manis. Aku tertawa dalam diam, ketika sepasang mata indahmu perlahan tertutup rapat. Aku tahu kamu menikmatinya. Maka dari itu aku tidak akan berhenti hanya sampai disini saja.
Cumbuan kita semakin dalam dan panas.
Selagi kamu sibuk dengan bibirku, aku menyeringai seraya menyingkap dress pink pucatmu, menyusupkan tanganku perlahan pada ukiran porselen seidah pahamu.
Dan malam itu, semuanya terjadi.
Cumbuan dibawah kedipan lampu taman, yang berakhir dengan konser tunggal seorang gadis dua puluh tiga tahun bersama sekumpulan binatang malam sebagai pengiring. Sudah kuputuskan. Bahwasanya, suara merdu yang mengalun indah dari sepasang bibir ranum milikmu adalah yang terbaik yang pernah kudengar, dan akan menjadi favorite-ku nomor satu.
Sudah kamu katakan sebelumnya kan? Aku tidak pandai merangkai kata, juga begitu kaku untuk mengucap syukur atas hadirmu tempo hari. Karenanya, aku akan mengakhiri semuanya malam ini. Di sini. Di taman yang menjadi saksi penyatuan kita. Pada sekumpulan jangkrik yang masih saja menyerukan protes, aku berteriak lantang tentang betapa aku menginginkan dirimu seutuhnya untuk jangka waktu yang selamanya. Dan kepada kumpulan ornamen langit yang tersebar pada bentangan luas cakrawala, aku akan mendengung maaf, karena indahnya mereka tidak akan pernah bisa menyaingi sepasang mata kelabu yang kini menatapku sayu, juga mengggoda pada sepanjang malam di hari yang sudah berganti nama.
Terimakasih, karena sudah memutuskan untuk tetap datang.
Terimakasih, karena sudah memenangkan egomu untuk tetap hadir malam ini.
Terimakasih, kepada mantan kekasihmu yang memutuskan untuk menikahi kekasihku.
Dan terimakasih, karena sudah membiarkan aku menjadi yang terakhir.
Selamat datang kamu, ibu dari anak – anakku di masa depan.
Aku mencintaimu.

---

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
Jangan tanya saya ini apa  >////<
Malu sendiri bacanya huhuhu
Dari dulu tuh goals kecil saya yang belum tercapai dalam dunia tulis-menulis dan ketik-mengetik ya cuma satu ini.  Nulis Fiction yang rate nya 18+ dengan bahasa yang tidak gamblang tapi tetep enak untuk dinikmati siapapun dari kalangan umur manapun *kemudian nangis* huhu. Tapi ternyata saya masih belum bisa. Masih amatiran bgt dan ini tidak tertolong. *melipir kepojokan* hiks
Dan ngomong – ngomong maaf untuk judul dan isinya yang tidak selaras. Awalnya kepikiran ngejudulin sesuai sama lagu yang dipake, dan ini tuh awalnya emang SongFict. BUUTTTT karena endingnya tidak sesuai ekspetasi saya yang amat sangat menegangkan juga manis, jadi ya...... judulnya saya ganti aja biar ga tambah malu – maluin. Heheheheh..
Semoga waktu kalian tidak terbuang sia – sia karena sudah membaca karya saya ya, teman – teman. Sampai jumpa di postingan selanjutnya^^

ps: Sorry for (another) typos.

                                                                                    Salam Hangat

                                                                              (Masih) Penulis Amatir

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer