Adit, Ipang, dan Udin.
Adit, Ipang, dan Udin.
“Kau ambil yang sebelah sana lah!”
seru seorang anak laki – laki pada teman sepermainannya di tengah hari yang
terik. Kepalanya ia putar 30 derajat kesamping, lantas melempar kulit rambutan
pada teman dibawahnya.
Si teman hanya mengangguk pasrah.
Rambut keritingnya bergerak naik turun mengikuti irama langkah yang sengaja ia
hentakkan. Satu tanggannya terulur pada bambu panjang yang ada didepannya. Anak
itu lalu mendongak. Menatap satu teman lainnya yang sudah bertengger manis di
salah satu cabang terendah pohon rambutan yang terlihat kokoh.
“Woi Ipang! Jangan makan semuanya
sendiri!” celetuk si kriting saat matanya menangkap gerakan mengupas rambutan
yang dilakukan Ipang diatas sana.
Ipang menunduk. Menengok pada si rambut
keriting. “Aku cuma mau makan satu kok Dit. Mana bambunya, bawa kesini.”
Adit melengos. Tidak percaya pada
alibi Ipang yang jelas sekali bohongnya, melihat dari belasan biji rambutan
yang bertebaran di bawah kakinya sekarang.
“Kalau sudah, tolong kau buka bajumu
dit.” Seruan itu datang dari arah pertama Adit menapakkan kakinya di kebun Pak
Ahmad. Suara siapa lagi kalau bukan Udin. Keturunan Batak yang menjunjung
tinggi perihal; usaha dulu baru kau bisa dapatkan hasilnya.
“Hah!? Mana bisa begitu din!” Adit
berseru tak terima. Yang benar saja. Mana mau dia membuka kaus putih polos yang
menjadi hadiah pemberian kakaknya dari jawa itu.
Udin terkekeh, seraya mengedipkan
satu matanya. “Ayolah Dit. Kita harus cepat sebelum ketahuan Pak Ahmad.”
“Kalau kotor gimana?”
“Kan bisa kau cuci lagi, bocah.”
Udin teriak lantang dari dahan teratas. Sedikit sebal dengan sifat keras kepala
Adit yang muncul di saat genting seperti ini.
Adit merengut, diikuti tawa geli
dari Ipang yang sekarang sudah turun dari dahan pohon. Udin memang tetua
mereka, tapi bukan berarti umurnya adalah yang tertua. Makanya Ipang tertawa.
Jarang – jarang menyaksikan raut wajah sombong Adit yang sepasrah ini. Apalagi
setelah bentakan Udin yang lumayan nyelekit.
“Udah, buka aja Dit.”
Lagi – lagi adit memberengut.
Bibirnya sudah maju beberapa senti hanya dalam kurun waktu sepuluh menit.
“Kenapa dia seenaknya banget sih.” Gumam Adit masih tak terima.
Ipang mengedikkan bahuya acuh.
“Mungkin naluri bertahan hidupnya udah bikin dia jadi sekritis itu kalik.”
Katanya asal sambil memilah rambutan mana yang akan mereka bawa ke pasar dan
mana yang akan mereka nikmati sendiri.
“Lagian kenapa sih kita harus maling
rambutan Pak Ahmad segala cuma buat beli layangan?”
“Karena usaha itu lebih asyik. Kau
harus merasakan susahnya mencari uang bahkan untuk setangkai layangan.” Jawab
Udin yang tiba – tiba saja sudah ada di samping kiri Ipang. Ikut memilah
rambutan sambil sesekali mengocek kulitnya dan melahap sebundar penuh daging
beserta biji rambutan yang mereka peroleh dari ‘usaha’ mereka itu.
“Tapi kan maling juga dosa Din.”
Protes Adit disela – sela kegiatannya yang ikut memakan buah rambutan hasil
‘usaha’ kedua temannya.
“Kata nyokap aku sih tidak berdosa
kalau kau mengambilnya dari orang pelit macam Pak Ahmad ini.”
Ipang yang sedang asyik mengunyah
daging beserta biji rambutan mendadak tersedak. “BUAHAHAHA. Gausah sok gaul Din
sumpah logat kamu bikin ketawa.”
Disebelahnya Adit mengangguk setuju.
Ikut tertawa dengan logat dan pemilihan kata yang diucapkan Udin.
“Besok, kalau kau liburan kesini
lagi, tak usah lah kau mainkan eped mu itu Dit. Aku sudah tahu kita harus
bermain apa selama dua minggu kedepan.” Udin berkata penuh percaya diri sambil
mengikat kaus putih Adit yang sudah berisi penuh rambutan masak.
“Ipad Din.” Koreksi Ipang kalem.
Udin mengernyit. “Ya apalah itu
namanya Pang. Kau juga akan tahu, kalau mandi di sungai bisa bikin kau
jantungan langsung. Gak perlu lah kau pakai eped mu untuk main arum jeram.”
Adit memutar bola mata jengah. “Yaya,
terserah kamu aja.”
Terlihat tidak memperdulikan
perdebatan kedua temannya, Ipang sibuk membungkus sisa rambutan yang dirasa
berlebih pada kaus hitam kumalnya. “Di Jakarta mana ada arum jeram Din.”
“Kau ini sebenarnya orang mana
Pang?” Potong Udin cepat sebelum Ipang menunjukkan gerak – gerik akan
melanjutkan kalimatnya.
“Aku orang pribumi kok.”
“Mati saja kau Katak!”
Ipang terkekeh. “Ya pokoknya aku
anak Indonesia lah.” Katanya enteng sambil melangkah santai mendahului Udin dan
Adit yang masih saling pandang bingung. “Kalian mau jualan atau tetep bengong
disana? Keburu Pak Ahmad nya pulang kerja lho.”
Kalimat itu langsung menyadarkan
Adit dan Udin. Mereka lantas menyusul langkah Ipang yang sudah dua kali lebih
jauh.
***
Siang semakin terik kala ketiga
bocah laki – laki itu sampai di depan pintu masuk pasar. Sebenarnya, pasar di
siang hari adalah yang terburuk. Karena becek yang disisakan pasar pagi
bukanlah sesuatu yang patut disyukuri. Belum lagi sengatan matahari yang tidak
ada habisnya membuat orang – orang enggan untuk bahkan sekedar melongok pada
isi pasar di siang hari.
Udin melangkah paling depan, disusul
Ipang yang mengedarkan pandangannya sambil sesekali bersiul, sedangkan
dibelakang Ipang, Adit sibuk mengerucutkan tubuhnya sebisa mungkin berusaha
untuk tidak bersentuhan pada benda – benada tidak higenis yang mengelilinginya
saat ini.
“Teman – teman, apa pasar itu memang
begini?” tanya Adit setengah jijik melihat ikan lele berlumur darah di
depannya. Satu tangannya ia masukkan kedalam saku dengan keadaan terkepal
menahan geli, sedang satu tangannya yang lain ia letakkan di tengah pangkal
hidungnya, memperbaiki posisi kacamata minus empatnya yang melorot.
Udin berbalik, menatap Adit seolah
anak itu adalah Alien yang baru pertama kali meliht bumi. “Kau pikir bagaimana
bentuk pasar yang benar?”
Ipang menghela napas lelah.
Telinganya berpotensi tuli kalau harus terus menerus mendengar perdebatan
antara Si Hitam manis Udin vs Si Jenius Berambut Keriting Adit. “Sudah – sudah
ayoo masuk keburu sore.”
Adit menurut, walau raut masam masih
bertengger manis pada setangkup wajah putih bersihnya. “Kamu di depan Pang.”
Ipang mengangguk tanpa protes.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju kios buah milik salah satu
kenalan ibunya Udin. Tak sampai tiga menit kemudian mereka sampai. Udin lantas
meletakkan hasil usahanya di depan kios.
“Apalagi yang kau bawa Din?” Seorang
wanita paruh baya menyambut kedatangan mereka sambil menengok pada gulungan
kaos yang tadi diletakkan Udin di depan kios nya.
“Rambutan Buah Manis Pelega Dahaga.”
Jawab Udin bangga setelah berhasil menjatuhkan 2 bundel rambutan semerah darah
yang ia dan kawan – kawannya tenteng.
Ipang nyengir. Melompat sedikit
untuk kemudian duduk dan membuka gulungan pada rambutan sambil sesekali menoleh
iseng ke arah Santi, anak gadis pemilik kios. “Dijual Nantulang. Ini hasil
kerja keras kami buat beli layang – layang.”
“Alah? Tak kapok kau mencuri ni
Ipang?” Sungut Pemilik Kios pada Ipang yang sudah duduk bersila diatas meja
pajangan buahnya.
“Mana ada bahan curi. Sudah
terdeteksi halal lah Natulang.” Bantah Udin semangat. Tidak sadar Adit sedang
memutar bola mata sebal persis di sampingnya.
“Terverifikasi kalik. Terdeteksi
dikata penyakit apa.”
“Diam kau kribo. Kusumpal nanti kau
punya mulut pakai nih biji rambutan.”
Ipang meringis. Adit – Udin di pasar
pada siang hari yang terik bukanlah kombinasi yang baik untuk kesehatan telinganya.
Karenanya, anak laki – laki dengan mata bulat itu melompat turun dan
memposisikan diri diantara keduanya, lantas menggaruk tengkuk canggung kala
suara tawa halus Santi terdengar. Entah bagian mana yang membuat gadis itu
tertawa, Ipang tidak paham.
“Belilah Natulang. Layangan yang
kami mau harganya lebih mahal dari uang saku kami semua digabungkan. Yayayaya?”
Ipang menggosokkan kedua tangannya di depan wajah. Sedikit memohon pada wanita
yang memegang kipas bulu di hadapannya.
“Hehhh kalian ini benar – benar.”
Wanita yang dipanggil Natulang itu kemudian berbalik. Meraih kaleng roti
kanghuan dan kemudian mengeluarkan selembar dua puluh ribu rupiah dari sana.
“Nah. Kau gunakanlah duit tu baik – baik. Jangan main terlalu lama kau Udin.
Pulang dan kerjakan saja tugas rumahmu dengan benar.”
Udin sumringah. Buru – buru meraih
selembar uang berwarna hijau itu dengan mta berbinar. “Semoga panjang umur dan
awet muda terus Natulang! Gue suka gaya kau.”
Untuk kesekian kalinya, Adit memutar
mata malas mendengar kombinasi kata yang digunakan Udin untuk menyusun kalimat.
Berbanding terbalik dengan Ipang yang sekarang sudah kemekelen sambil memegangi perut.
“Terimakasih Natulang! Sampai
bertemu kembali di lain waktu, women.” Pamit Udin dihadiahi sebuah hormat ala
komandan yang ia berikan kepada kakak dari ibunya itu. Mengundang sejuta tawa
dari warga pasar yang sedari tadi menyaksikan.
Tanpa memperdulikan Ipang yang sudah
seperti mau pingsan karena terus – terusan tertawa, Adit menunduk. Pamit tanpa
bicara pada wanita paruh baya pemilik kios dan putrinya, Santi.
***
13.46
WIB
Siang
semakin terik. Fatamorgana dimana – mana diiringi sautan klakson mobil-motor
yang berlalu lalang. Adit mengernyit. Mengusap pelipisnya yang sedari tadi
bercucuran keringat. Disampingnya, Ipang mengibas – ngibaskan kaos oblong
kumalnya demi menghasilkan angin, walau hanya setipis awan.
“Dimana pula ada warung jual es?”
tanya Udin setengah berteriak. Air lirnya menimpa kacamata Adit sebagian.
Sedang sebagian lagi terbang ke rambut lepek Ipang yang dibiarkan berantakan.
“EWH. Ngomongnya selo dong Din!”
“Din kamu udah sikat gigi kan?”
Udin mengernyit tak suka. Cuaca
panas begini memang cocok sekali untuk baku hantam. “Kutanya dimana warung jual
es weehh. Haus kali!!”
“Ada sih kayaknya 100 meter dari
sini. Mau juga Din. Es kelapa.”
“Es kelapa pala kau kelapa?! Air
mineral saja cukup bertiga.”
Adit menghela napas, lantas memasang
kembali kacamata yang tadi sempat ia bersihkan. “Yaudah sih aku masih punya
uang kok. Beli aja es kelapa.”
Ipang menatapnya berbinar. “Adit…
serius?
“Iya serius. Lagian kan daritadi aku
juga udah bilang gak usah maling Rambutan. Belinya pake uangku aja. Banyak
kok.”
“Sombong kali kau bocah.” Ini Udin.
Mencibir dengan satu tangan terangkat, lantas mengelus puncak kepala Adit yang
tertimpa rabut ikal semi panjangnya.
Adit mendecih, tapi tidak memungkiri
ada perasaan hangat yang menjalar dari kelima jari Udin diatas kepalanya, juga
dari senyum lima jari milik Ipang. Adit tidak pernah tau rasanya mandi di
sungai sebelum ia memutusan untuk berlibur ke tempat Yangti nya di pelosok Jawa
Timur 6 bulan lalu. Ia juga tidak pernah tahu, bahwa memakan rambutan dari
kebunnya langsung akan memiliki rasa dan sensasi yang jauh berbeda. Tidak pernah
paham, bahwa kunang – kunang hanya ada di atas sawah. Dan tidak pernah
mengerti, kalau mandi lumpur ternyata bisa semenyenangkan itu, sampai ia
bertemu dengan Ipang di sawah milik Yangti-nya 6 bulan lalu ketika ia baru
pertama kali menginjakkan kaki di sana.
Ketiga sekawan itu kemudian
berjalan. Melewati 100 meter dengan gelak tawa yang terurai tanpa beban.
Melupakan sejenak dahaga yang menghalau mereka tadi. Warung sudah terlihat di
depan mata. Hanya tinggal 10 langkah lagi mereka dapat menggapai supermarket
tersebut sampai seorang gadis cilik menghampiri, menatap dengan mata super sayu
sambil menggenggam sebuah kaleng bekas sarden yang belum mengelupas stickernya.
Adit meneguk ludah. “Mau apa kamu?”
didasari perasaan kaget dan reflek, nada suara yang dikeluarkan Adit terdengar
seperti membentak, membuat Udin yang ada disebelah kirinya menatap anak itu
dengan alis tertaut.
Ipang yang paling cepat sadar. Si
Peribumi itu maju selangkah, mendekati si gadis kecil kumal berambut panjang.
“Adek mau apa?” lembut sekali nada bicaranya.
Si Gadis menatap Ipang memelas.
“Uang.” Cicitnya tak lama setelah matanya menatap manik sekelam malam milik
Ipang.
Udin mengernyit. “Kau butuh uang?
Kau ingin beli layangan juga seperti kami?”
Si Gadis menggelang. Lantas membalik
badan. Menunjuk kearah seorang wanita tua berkursi roda di bawah pohon rindang
disarming warung yang akan mereka datangi.
Adit, Ipang, dan Udin saling tatap.
Tatap.
Tatap.
Sampai akhirnya mereka menyadari
sesuatu.
“Kalian pikir hal sama denganku?”
celetuk Udin.
“Iya.” Jawab Adit singkat. Ia lantas
merogoh saku celana pendeknya, kemudian mengeluarkan selembar uang dua puluh
ribuan dari sana. Ditatapnya sebentar kertas berwarna orange itu, dan kemudian
mendongan menatap Si Gadis Kecil kumal yang malang.
“AYO!” Seru Ipang penuh semangat.
Diraihnya pergelangan tangan Si Gadis kecil dan diajaknya anak itu berlari.
Dibelakangnya, Udin dan Adit melakukan hal yang sama. Berlari sekencang yang
mereka bisa menuju warung. Menerobos beberapa kerumunan manusia yang berlalu
lalang dan menatap mereka heran.
***
“Diminum ya Dek. Ibu juga.” Adit membagikan dua botol
minuman isotonic yang baru saja ia beli kepada Ibu dan Anak yang sedari tadi
menunggunya di bawah pohon rindang di samping warung.
“Terimakasih.” Ucap tulus satu
satunya wanita dewasa disana.
Adit mengangguk. Lantas tersenyum
ramah pada keduanya.
Tak lama, Ipang dan Udin datang dari
belakang Adit. Kedua bocah itu tampak menenteng satu kantong hitam kecil.
“Ini makan Bu, Dik. Tak usah lah
susah cari lagi.” Udin meletakkan kantong plastic hitamnya diatas pangkuan Si
Ibu Tua.
Dibelakangnya, Ipang menyusul.
Meletakkan uang hasil jualan mereka pada kaleng sarden Si Gadis Kecil. Bonus
cengiran lebar Ipang yang tidak pernah absen hari ini.
“Terimakasih.”
Ketiga bocah itu menangguk. Nyengir
sekali dan kemudian pamit pulang.
Adit, Ipang, dan Udin berjalan
beriringan. Sambil sesekali menoleh dan tersenyum pada sepasang Ibu – Anak yang
baru saja mereka tolong.
Tiba – tiba saja, Ipang melompat.
Merangkul kedua temannya di sisi kiri-kanan sambil tertawa lepas. “Layangannya
besok aja ya! Kita bikin sendiri, dibantuin masku.”
“Halah apa kata kau ini. Besok kita
beli lah layangan besak tu.”
“Lah uangnya kan udah abis Din?”
Udin mengibaskan tangannya di depan
wajah. “Duit kau bisa jabis, tapi rambutan Pak Ahmad tidak akan mati selama
hujan masih turun Dit!”
“WOI DIN MALING MULU LU!”
Ipang terbahak. Kali ini lebih lepas
daripada yang pernah terdengar.
Siang itu, mereka habiskan dengan
berdebat tentang betapa pentingnya memanfaatkan alam untuk kepentingan.
Diselingi kata – kata olokan yang tidak pernah absen. Tentu saja dalangnya
adalah Adit dan Udin, karena Ipang hanya bisa tertawa terbahak sampai
menitikkan air mata.
Adit mengulum senyum. Hatinya terasa
sangat ringan saat ini. Adit menoleh, mendapati Udin menunjukkan ekspresi yang
sama dengannya. Angin siang yang sepoi membelai lembut rambut ikal Adit, juga
kepala cepak Udin yang dihiasi butiran keringat. Ah.. ternyata mencuri,
berjualan di pasar, dan berlari di tengah siang hari bolong seperti ini tidak
seburuk yang ia bayangkan.
Adit tidak pernah tau rasanya mandi di sungai sebelum
ia memutusan untuk berlibur ke tempat Yangti nya di pelosok Jawa Timur 6 bulan
lalu. Ia juga tidak pernah tahu, bahwa memakan rambutan dari kebunnya langsung
akan memiliki rasa dan sensasi yang jauh berbeda. Tidak pernah paham, bahwa
kunang – kunang hanya ada di atas sawah. Dan tidak pernah mengerti, kalau mandi
lumpur ternyata bisa semenyenangkan itu, sampai ia bertemu dengan Ipang di
sawah milik Yangti-nya 6 bulan lalu ketika ia baru pertama kali menginjakkan
kaki di sana.
Dan Adit tidak pernah tahu, bahwa dalam perihal berbagi,
kita tidak harus lebih. Ipang dan Udin menajarkannya bahwa untuk memberi, kita
hanya butuh ikhlas. Berbagilah, maka kamu akan mengerti indahnya kebersamaan.
Adit sudah memutuskan, bahwa liburan semester depan, ia akan tetap memilih
sudut Jawa Timur sebagai destinasi utamanya, dengan Ipang dan Udin sebagai tuan
rumah yang akan selalu ia jadikan ‘rumah.’
Ini draft yang kutemukan di sela kejenuhanku dengan kampus, kuliah, onair, iuran, dan segala macemnya. Dilanjut cuma 3 lembar aja yang hari ini. Jadi dari page 5 keatas, itu udah tulisan lama hoho. Semoga terhiburrr loooovv
Komentar
Posting Komentar