Elegi [1]


[1]

Sejak kematian sang Bunda yang tidak pernah ia bayangkan dan inginkan, Gabriel terus mengurung diri di kamar. Kamar yang menjadi tempat ia tidur dan berkeluh kesah bersama sang Bunda. Ia memang hidup susah dan pas-pasan dengan Bundanya yang hanya bekerja sebagai tukang bubur ayam sehari-hari, ditambah dengan hasil kerjanya dibengkel yang tidak seberapa. Tapi kebahagiaan Gabriel bersama sang Bunda tidak akan pernah bisa digantikan dengan apapun didunia ini. Termasuk harta ayahnya!

Gabriel menghela nafas berat. Sudah 2 hari lebih ia mendekam seperti seorang tahanan dirumah reot ini. Memutar ulang kenangan-kenangannya bersama sang Bunda tercinta sambil terus mengalunkan do’a tulusnya ke rumah abadi sang Bunda.

“Apa harus Gabriel pergi Bun?” Tanya Gabriel lirih. Entah dengan siapa ia bertanya. Batinnya menolak untuk pergi dari rumah ini. Meninggalkan kehidupan sederhananya yang akan disulap menjadi kehidupan layak yang serba berkecukupan.

Gabriel menghela nafas sekali lagi. Kemudian ia bangkit berdiri menuju lemari pakaian Bundanya dan mengambil sebuah benda dengan bentuk persegi panjang berwarna Coklat yang ia ketahui sebagai dompet milik Bunda. Perlahan, jemarinya mulai menyentuh benda itu. Membukanya dengan hati-hati layaknya benda itu seorang bayi yang baru lahir, yang kalau disakiti sedikit saja akan menangis meraung-raung.

Gabriel tercekat.  Tangannya berhenti menggeledah isi dompet sang Bunda saat mendapati selembar foto ukuran dompet yang sudah lusuh. Foto yang kemungkinan diambil sekitar 15 tahun yang lalu.

Foto dengan 4 senyum manis dan 4 pasang mata yang memancarkan kebahagiaan yang luar biasa.

Dengan seorang laki-laki dewasa tampan dengan hidung mancung dan rahang tegas yang biasa disebut Papa, berdiri tegap dalam balutan jas hitam dan dasi merah marunnya juga seorang perempuan dewasa dengan senyum mempesona yang selama ini ia panggil bunda sedang duduk manis dikursi kebesarannya dengan kebaya merah marun yang berbalut lembut pada badan rampingnya.

Diapit dengan dua orang anak laki-laki yang berwajah  mirip sekali. Seorang anak laki-laki tinggi dengan gigi putih bersih, yang ia yakini itu adalah dirinya, berdiri disebelah kanan sang bunda dengan jas hitam yang digulung hingga siku, dan celana dasar yang sanada. Seragam yang ia kenakan juga membalut tubuh kurus disamping sang Bunda. Mario, adik laki-lakinya yang hanya selisih satu tahun darinya.

Gabriel menghembuskan nafasnya dengan kasar. Diambilnya foto itu dan dikeluarkannya dari dompet. Setelah memandangnya selama beberapa menit, Gabriel membawa foto itu kebagian paling dalam dompet. Malas mengingat-ingat lagi kenangan pahit hidupnya.

Tangannya kembali menjelajah dompet sang Bunda untuk menemukan kertas yang dimaksud Bundanya sebelum ia tidur dipangkuan Tuhan. Setelah tangannya menggengam kertas yang dimaksud, jatung Gabriel mendadak berdetak 2 kali lebih cepat dari pada biasanya. Ia tidak kuat kalau harus beremu dengan ayah dan adiknya yang telah bertahun-tahun menghilang itu.

Masih sambil terus meyakinkan diri, Gabriel membuka lipatan-lipatan kertas itu dengan perlahan. Entah kenapa gerakkannya menjadi seperti slowmetion seperti film-film. Tanpa sadar cowok itu menahan nafasnya.

Jln. Merpati 13
Perumahan Budi Asih Blok B3 No 6
Kediaman Heru Kusuma Haling...

Gabriel tertegun. Bukan ia tidak tahu kalau ayahnya itu kaya raya dan tinggal di lingkungan elit seperti perumahan BA (singkatan Budi Asih). Tapi tulisan itu. Tulisan yang ada didalam kertas. Ini bukan tulisan Bundanya. Ini tulisan Rio! Tulisan cakar ayam adiknya yang ia kira-kira masih berumur sekitar 6 tahunan lebih. Gabriel meremas kemejanya tanpa sadar. Ada gejolak aneh yang menghampiri dadanya kala mengingat kenangan manisnya bersama Rio. Rindukah? Atau bencikah? Entahlah..

Merasa cukup dengan informasi yang didapat, Gabriel bergegas mengemasi baju dan buku-buku sekolahnya. Berharap langkah yang ia ambil ini benar dan yang paling tepat! Semoga.

***

Panas matahari siang ini begitu menyengat. Memaksa Gabriel untuk menghentikan langkahnya di sebuah gubuk reot kosong tidak berpenghuni. Kemejanya sudah setengah basah oleh peluh. Semilir angin yang membelai wajah tampannya itu benar-benar mengundang kantuk Gabriel. Ditambah lagi dengan berdirinya sebuah pohon besar dan lebat yang tidak ia ketahui namanya, tumbuh disekitar gubuk.

Gabriel memeluk ranselnya dengan erat dan mulai menutup matanya secara perahan. Damai sekali rasanya tidur dibawah pohon yang rindang seperti ini. tapi tiba-tiba saja Gabriel merasakan  ranselnya ditarik paksa. Bagaikan tersengat, cowok itu buru-buru membuka matanya dan melompat menjauh kala kedua bola mata-nya mendapati beberapa orang laki-laki dewasa dengan dandanan ala preman pasar sudah berdiri tepat didepannya.

Mata tajamnya langsung menyipit tajam dengan aura kewaspadaan yang kentara. Ranselnya adalah hartanya. Harta terakhir yang ia punya untuk mencapai masa depan dan mewujudkan cita-cita. Dan ransel itu akan ia pertahankan sampai titik darah terakhir.

“Serahkan uangmu!” Gertak salah satu dari preman yang berbadan paling besar. Gabriel mendekat. Tungkainya ia turunkan dari gubuk yang tadi menjadi tempat peristirahatannya dan berdiri tepat didepan lelaki yang menggertaknya tadi.

“Maaf Om, saya nggak punya uang.” Katanya kalem. Punggungnya sedikit ia bungkukkan memberi hormat. Gabriel selalu diajarkan sopan santun pada Bundanya dan diwajibkan harus member hormat pada yang lebih tua. Ia tidak akaan berontak selagi tidak diganggu.

Tiga laki-laki kekar itu melongo sesaat. Hanya sesaat, karena setelah beberapa detik berikutnya, sebuah kepalan tangan siap melayang kearah wajah tampan Gabriel.

Berbekal ilmu bela diri yang ia pelajari dari latihannya selama ini, tangan Gabriel bergerak lebih cekatan memilin tangan kekar si penjahat. Erangan keras yang menyakitkan terdengar menusuk telinga. Gabriel mempertajam pendengarannya saat tiba-tiba suara erangan gemas terdengar dari belakang punggungnya.

Dengan gerakkan luwes, Gabriel melayangkan tungkai panjangnya kearah pelipis si penjahat yang langsung jatuh terkapar dengan bibir berdarah.

“Sudah saya bilang Om, saya nggak punya uang.” Katanya sekali lagi. Mata tajamnya kini sudah menatap lurus kedepan. Kosong. Karena fikirannya mendadak kalut saat melihat sebuah ninja hitam terparkir di sebrang jalan.

Bukan karena motor mahal itu adalah impiannya. Tapi setangkup wajah hitam manis dengan rahang sekeras baja itu seakan menyengat jantungnya. Tanpa memperdulikan ketiga preman itu lagi, Gabriel berlari secepat kilat. Berharap apa yang ia lihat memang nyata, dan bukan hanya fatamorgana semata.

Sepertinya Dewi Fortuna belum memihaknya hari ini. motor besar dengan warna hitam mengkilap itu sudah melesat pergi meninggalkan suara aungan keras dan asap polusi yang memenuhi udara. Gabriel berdecak. Tanpa fikir panjang lagi, ia langsung memasuki Taxi yang bertengger manis tepat didepan hidungnya seraya meminta sang supir untuk mengikuti motor itu dengan suara –yang tanpa ia sadari—menggelegar.

***

Berdirir di depan sebuah rumah megah berlantai tiga dengan balutan Cat berwarna Cream seorang diri. Gabriel baru saja turun dari Taxi beberapa detik yang lalu. Ia terpaksa menekan dadanya kuat-kuat lebih dulu, sebelum menginjakkan kaki lusuhnya di perkarangan rumah kediaman keluarga Haling ini. Keluarga terpandang sekota Jakarta dengan Bos besar Heru Kusuma Haling, ayah kandungnya sendiri.

Gabriel meneguk ludahnya susah payah saat menangkap sosok tubuh tinggi kurus yang dilihatnya tadi sedang melepas Helm fullfacenya. Gabriel berani bersumpah, itu Rio. Rio si ompong yang selalu menjahilinya waktu kecil. Rio adiknya. Rio yang selama ini ia rindukan. Rio-nya Gabriel. Matanya masih terpaku dengan sosok tinggi yang juga masih bertengger manis di jok motor besarnya.

‘Bunda, kalau aja bunda liat ini. Rio udah besar bun,’ Bantin Gabriel miris.

Tanpa diduga, kepala dengan rambut ikal hitam yang mulai tumbuh panjang menyentuh kerah seragamnya itu menoleh. Menangkap setangkup wajah tampan dengan kulit hitam manis yang sedang menatapnya intens.

Keduanya tersentak. Diam membeku ditemoat masing-masing. Kembali, untaian kasih sayang dan cinta yang dulu pernah melilit mereka berputar. Melempar paksa kedua kakak beradik ini ke dalam masa-masa indah yang tidak akan pernah mereka lupakan. Meluapkan gumpalan rindu, emosi, dan benci mereka secara bersamaan. Member mereka ruang untuk kembali mengikat tali persaudaraan yang sudah putus dan nyaris hilang.

Rio mematung diatas motornya. Tidak perduli lagi dengan lehernya yang bisa saja terkilir akibat menoleh terlalu lama. Rahangnya terkatup keras dengan suara gemertak gigi yang suaranya tidak bisa lagi ia sembunyikan dibalik bibir tipisnya. Matanya berkilat. Mempertontonkan sebuah rasa rindu bercampur dengan emosi yang sedang bercokol diotaknya didepan sosok jangkung yang berada  tak jauh didepannya.

Dari jarak kurang lebih 10 meter, Gabriel bisa melihat jelas kilatan mata elang didepannya. Isyarat sebuah kerinduan yang berbalut luka dan dendam. Gabriel tertegun saat melihat sebuah cairan bening yang tiba-tiba saja terjun dari pelupuk mata elang sang adik.

Rio berdiri dari motornya dan berlari kalap kearah Gabriel yang masih berdiri termangu didepan gerbang. Kedua tangannya sudah ia kepal sekuat tenaga. Membuat kuku-kukunya menghentikan aliran darah ditangannya seketika. Matanya sudah memerah menahan marah. Dengan satu gerakkan cepat, Rio langsung menerjang tubuh tinggi tegap yang tadi berdiri gagah di gerbang besar rumah ayahnya.

Gabriel jatuh seketika. Erangan kerasnya membangunkan seorang satpam yang berada tepat di pos satpam disamping Rio. Baru saja lelaki tua itu ingin beranjak, sebuah seruan mengerikan yang keluar dari bibir Tuan Muda keluarga Haling itu memaksanya untuk tetap tinggal.

Rio meraih paksa kerah baju Gabriel hingga menimbulkan robek ringan di kemeja lusuhnya. Mata elangnya yang menyipit tajam menghujam sepasang bola mata hitam pekat didepannya. Dengan bara dendam yang tidak bisa lagi ditahan, Rio melayangkan bogemnya ke pelipis Gabriel. Sayang, Gabriel yang sudah membaca gerak-gerik adiknya itu lengsung menangkap habis genggaman tangan Rio.

“Kita One on One.” Bisik Gabriel tajam. Membuat aliran darah Rio naik seketika. Dendam yang selama ini ia tahan sudah mencuat keluar. Mengikis habis semua rindu yang membalut hati kecilnya.

Wajah tampan nya itu menegang seketika. “Bajingan!!” seru Rio lantang.

Pak Asro hanya bisa duduk diam dipos dengan mulut menganga. Hingga sebuah tepukan menyakitkan dipundaknya melemparnya kembali kealam nyata.

“Mas Sro!! Den Rio berantem!!”

Komentar

Postingan Populer