No Title [1]



Si bundar oranye masih terus tunduk pada sebuah tangan mungil yang menggenggamnya erat. Mengikuti setiap gerak tubuh sang empu yang luwes dan lihai, si Oranye hanya bisa mengeluh dalam diam. Ditemani si bundar raksasa yang makin gencar membakar kulit, Agni terus men-drible si oranye dilapangan sekolah yang sudah Nampak sepi.

Tidak ada suara yang memenuhi telinga gadis itu kecuali bunyi dentuman permukaan si oranye yang ‘menyatu’ dengan lantai semen lapangan sekolah.

Seakan sedang dalam zona pertandingan yang amat sangat penting dan terkenal, Agni meliuk-liukkan pinggang rampingnya mengelilingi lapangan. Menganggap botol minum, tas, batu, dan benda-benda malang yang sengaja ia letakkan dilapangan tadi seolah-olah lawan yang tangguh untuknya. Masih dengan si oranye dalam genggamannya, Agni berlari menuju gari Three point, diam beberapa saat dan mulai menekuk lututnya dengan fokus pandang yang mengarah lurus pada ring, hingga si oranye malang ia lemparkan kearah Ring dengan gerakkan oleng akibat sebuah teriakkan maut yang mengobrak-abrik telinganya.

“AGNI! APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN SORE-SORE BEGINI?!” teriak sebuah suara dengan nada yang sudah ada di oktaf paling tinggi dan paling mengerikan.

Agni mendengus. Sudah hapal betul suara siapa yang menegurnya di sing hari menjelang sore ini. Sambil menatap Pak Jul dengan tampang ogah-ogahan, Agni menjawab. “Biasa aja kali Pak. Cuma main doang ini.” Kilahnya seraya berjalan menuju si oranye yang sudah tergeletak tak berdaya disudut tiang ring.

Pak Jul, guru matematika yang berperut gembul bagaikan ibu hamil 12 bulan dengan kumis tebal dan rambut keriting, berjalan angkuh kearah Agni. Laki-laki itu menjewer telinga Agni yang jelas lebih tinggi darinya dengan gemas.

“Kamu ini memang benar-benar tidak punya aturan ya.” Marahnya dengan urat yang nyaris mencuat dari leher.

Agni hanya meringis kecil. Pura-pura sakit dengan jeweran gurunya yang paling bawel ini. “Elah pak. Nggak ada juga kan aturannya buat pulang sesudah PMB selesai?” Tanyanya setengah kurang ajar.

“Kamu ini ndablek ya orangnya. Dibilangin malah jawab!” Bentak Pak Jul dengan logat jawanya yang kental banget.

“Yah pak, tapi kan saya nggak keluyuran.” Bantah Agni yang membuat urat Pak Jul benar-benar keluar.

“Tapi kamu sudah bermain basket dari jam 1 tadi. Dan sekarang kamu fikir sudah jam berapa?!”

Agni melirik jam tangan hitam yang melingkar manis pada pergelangan tangannya dan menjawab dengan wajah polos yang jelas banget dibuat-buat. “Jam empat pak.”

Melihat wajah Agni yang tidak merasa bersalah sama sekali, Pak Jul semakin gencar menjewernya. Lalu dengan sebuah tendangan keras, beliau menendang tas Agni yang nyaris tidak berisi itu. Berang, lagi-lagi di tendangnya botol minum Agni yang langsung memuntahkan isinya begitu bagian permukaannya pecah. Agni melongo. Heran sekaligus takjub dengan kekuatan gurunya yang supir ini.

“Wah, bapak hebat banget.” Puji cewek tengil itu sambil bertepuk tangan tanpa sadar.

Pak Jul tersenyum bangga dengan pongah. Termakan juga dia.

“Yaudah pak, kalo gitu saya mau pulang aja deh. Misi pak.”

“Agni tunggu! Ini ada surat untukmu.”

Agni menerima sebuah amplop coklat dari tangan Pak Jul, memungut tasnya dan langsung pergi meninggalkan Pak Jul yang masih diawang-awang karena pujiannya barusan. Sambil terkikik, Agni menyandang tas-nya dan memasukan si bundar kulit oranye beserta amplop coklat pemberian Pak Jul kedalamnya setelah puas ia elus-elus permukaan kasar benda kesayangannya itu.


                                                            *****

“APA?!” Teriak Ify heboh. Suara cemprengnya sudah menjadi backsound ruang kepala sekolah saat ini. dengan mata yang melotot dan nyaris keluar, cewek itu menatap kepala sekolah SMA Axelius dengan pandangan tidak percaya.

“Ify, tolong kecilkan volume bicaramu.” Perintah seorang wanita cantik dengan balutan kemeja putih yang begitu pas pada tubuh gemuk dan bongsornya.

“Bu, ini nggak adil! Kenapa saya harus jadi ketua mading? Ibu kan tau saya nggak kreatif.” Protes Ify tanpa jeda. Cewek ini memang benar-benar aktif. Bahkan dalam bicarapun, tidak berhenti menarik nafas bukan berarti dia menghentikan ajuan protesnya.

Bu Her menggelengkan kepalanya tidak percaya. Bisa-bisanya dia memiliki murid ajaib seperti ini disekolahnya yang terkenal bagus di seluruh kota Jakarta. Benar-benar. “Ini keputusan kepala sekolah Ify, dan kamu tidak boleh menolaknya.”

Ify misuh-misuh sendiri mendengar pernyataan yang baru saja keluar dari bibir tebal dengan lipstick merah menyala Bu Her. “Ini namanya nggak adil dong Bu.”

“Adil, karena saya yang memilih. Jadi sekarang, silahkan kamu kembali kekelas. Urusan kita sudah selesai.”

Ify mengangguk pasrah. dengan gontai, dia melangkahkan kakinya keluar dari ruanag kepala sekolah. Sambil menyusuri koridor-koridor kelas X, dagu tirus yang biasa ia pamerkan dengan hiasan senyum manis yang menawan itu sekarang menunduk dalam. Benar-benar tidak terima dengan keputusan sepihak Bu Her. Ify tidak bisa membayangkan kalau dirinya terjebak didalama sebuah ruangan yang akan mengurungnya dalam kegelapan. Yang lebih parah lagi, partnernya nanti adalah, Si Misterius Ashilla Zahrantiara, Si Jutek dari gua hantu Sivia Aziza, dan Si hitam manis penggila basket, Agni. Benar-benar bagaikan kiamat!

“Apa lo?!” Bentak Ify pada seorang cowok yang sedang memandanginya sambil duduk manis diatas meja guru dikelas Ify. Cowok itu mengerutkan keningnya heran.

“Idih. Biasa kali Fy. Sewot amat.”

“PMS dia kali Yo.” Sahut seorang cowok kurus menjulang yang duduk diatas meja Keke, cewek mungil yang hobinya nyebar gossip.

Ify melotot garang kearah 2 cowok tengil yang menghuni kelasnya. “Elo kali PMS!”

“Ye, kita cowok tulen kok Fy.”

“Bukan itu maksud gue!”

“Terus apaan?” Sekarang giliran Rio –cowok bergingsul yang tadi menjadi korban pertama Ify—bertanya dengan wajah sumringah dan berbunga-bunga. Entah apa yang difikirkan cowok itu.

“PMS buat lo semua itu, Penghuni Masa Suram!”
Seketika tawa kelas X-4 meledak. Cakka, cowok kedua yang menyahut barusan, hanya bisa mengerucutkan bibirnya saat melihat sahabat karibnya juga ikut terpingkal di atas meja guru.

“Mampus!” Cerca Rio tepat ditelinga Cakka. Membuat cowok itu nyaris saja mati membeku kalau tidak disadarkan oleh suara nyaring didepan pintu.

“APA-APAAN KALIAN?! TIDAK DENGAR BEL MASUK SUDAH BERBUNYI?!”
Seketika itu suasana riuh kelas Ify langsung hilang. Digantikan dengan keheningan yang mencekam, dan suara seret-seretan kursi yang tergesa-gesa.


                                                            *****

Shilla menyipitkan matanya tajam-tajam saat kedua bola mata indahnya menangkap sebuah kalimat misterius dari sebuah buku legenda yang sedang dibacanya di perpustakaan. Keningnya yang bersih akan jerawat itu berkerut. “Ini kalimat apa?” Tanyanya pada diri sendiri.

Bukan kalimat yang ia temukan, tapi sepucuk surat mencurigakan yang ada di dalam buku itu. Sebuah kalimat aneh yang tidak akan bisa diartikannya dalam waktu seumur hiduppun. Kalimat super duper aneh yang baru ia temui hari ini selama ia hidup didunia. Kalimat yang bertuliskan dengan spidol merah yang amat sangat mengerikan. Kalimat abstrak paling abstrak sedunia.

Teruntuk,
Ashilla Zahrantiara.

Kamu iu minta bergabung dengan Keanggotaan klub mading. Temui Ibu dikantor. Besok.

ʧʨʧʤʤʣʑʣʤʩʪʪʬʭʮʯ
                                               
                                                                                                                                                                                                                                                                        kepala sekolah.

Shilla menutup bukunya dan meraih surat misterius itu lalu melipatnya untuk segera ia masukkan kedalam saku seragam karena suara bel masuk sudah berbunyi. Menandakan waktu istirahat kedua sudah selesai.                                                                       
                                                            *****

“Bu, jangan bercanda dong.” Rengek Sivia malas. Wajah cantiknya ia stel sebete mungkin supaya bisa meraih hati Ibu Kepala sekolahnya yang bertingkah ini. Tapi usaha Sivia harus sia-sia saat mendapatkan sebuah gelengan tegas dari kepala guru yang berambut sanggul itu. Sivia melengos.

“Bu, kalau partner-nya bukan 3 anak itu, saya mau deh.”

“Oh baik, Daud, Oliv, dan Ozy cukup?”

Sivia mendadak sesak nafas saat mendengar nama 3 orang paling aneh di sekolah itu disebutkan dengan intonasi manis dari bibir tebal Ibu Her yang justru membuat Sivia jadi merinding ketakutan. Bu Her tersenyum tipis saat menangkap wajah cemas muridnya.

“Yaudah. Kerjan.”

“Nggak mau! Sivia nggak mau bu.”

“Yasudah. Satpam!!!”

Sivia jadi kelimpungan sendiri dan akhirnya mengangguk dengan tampang ogah-ogahan yang kentara banget.

“Iya deh bu.”

Bu Her tersenyum bangga. Bahagia sekali rencananya berhasil. “Bagus.”

Komentar

Postingan Populer