Elegi [Prolog]


Prolog.

Seorang wanita paruh baya sedang terbaring lemah disebuah kamar rawat sederhana Rumah Sakit Harapan Citra. Tubuhnya yang kurus semakin tidak berisi akibat penyakit mematikan yang menggerogoti organ terpenting tubuhnya.

Matanya menatap sang bunda yang tengah terbaring lemah dan dilengkapi peralatan medis dengan tatapan sendu. Hatinya seperti teriris secara perlahan dan menyakitkan saat mengetahui umur sang bunda hanya bisa dihitung dengan jari. Matanya masih menatap tubuh mungil Bundanya lurus-lurus. Menikmati ukiran ayu yang sedang tertidur damai dengan seulas senyum manis didepannya.

Gabriel menghela nafas panjang. Selama hidup dengan Bundanya bertahun-tahun, baru sekarang ia mengetahui prihal penyakit sang Bunda. Parahnya lagi, selama ini, Bundanya itu selalu dalam keadaan baik-baik saja saat sedang bersama dengannya.

Tangan kanan Gabriel bergerak untuk menyentuh kenop pintu. Bermaksud keluar kamar inap sang Bunda untuk mencari udara segar yang bisa menenangkan fikirannya sekarang. Tapi seruan halus sang Bunda membatalkan niat Gabriel dan membuat pemuda hitam manis itu menoleh kearah Bundanya.

“Kenapa Bunda?” Tanya Gabriel lembut kala kaki jenjangnya sudah mencapai ranjang tempat tidur Bu Risa. Jemari-jemari kokoh cowok itu bergerak menyentuh jemari rentan wanita dewasa didepannya. Seulas senyum tulus ia persembahkan untuk bunda tercinta.

Risa tersenyum hangat. Walaupun ujung-ujung bibirnya terasa sangat sulit untuk dilebarkan. Mata bening yang sayu itu menatap lembut kearah putra kesayangannya. Sungguh, ia tidak akan pernah mau kehilangan putra sulungnya yang sangat bertanggung jawab ini. Sulit rasanya meninggalkan Gabriel yang sudah mulai tumbuh dewasa seorang diri.

“Kamu sudah makan?” Tanya Risa dengan suara lemahnya. Wanita itu menggigit bibir bawahnya menahan nyeri. Berbicara saja rasanya ia sulit. Walau begitu, ia tetap bertahan didepan putra nya. Berusaha kuat walaupun sebenarnya ia tidak sanggup.

Gabriel tersenyum lembut. punggungnya sedikit ia bungkukkan untuk mensejajarkan tingginya dengan sang Bunda. Tangan kanannya yang bebas bergerak mengelus puncak kepala Risa yang sudah merapuh dan tidak sekokoh dulu. Miris sekali. Rambut-rambut indah itu kini mulai rontok dan dipenuhi dengan warna putih. Kulit kepalanya yang keras sudah mulai melunak. Membuat Gabriel sedikit takut untuk menyentuhnya.

“Bunda nggak usah khawatir, Gabriel sudah makan banyak tadi. Nambah lho Bun!” Tutur Gabriel dengan iringan tawa kecil khas miliknya. Membuat dada Risa, Bundanya, menghangat. Walau bibir tipisnya menyerukan tawa kecil, tapi hati Gabriel tidak pernah tertawa. Mata sendu yang kini menatapnya itu selalu menghantui fikirannya. Membuat fokusnya pada apapun seketika lenyap. Digantikan dengan bayangan mengerikan yang –Gabriel harap—tidak akan pernah terjadi.

Risa menarik nafasnya dalam. Mencoba mempertipis rasa sesak didadanya yang membuncah. Ia sadar, waktunya sudah habis didunia. Ia harus memberitahu yang sebenarnya pada Gabriel, dan member anaknya itu kehidupan yang lebih layak. “Gabriel, bisa dengar bunda sayang?”

Gabriel mengangguk pelan.

“Gabriel dengar, kalau nanti bunda sudah tidak ada...”

“Bunda jangan bicara seperti itu! Gabriel tidak pernah mau Bunda tidak ada!” Tukas Gabriel cepat. Ia tidak suka kalau Bundanya itu sudah berbicara tentang kematian.

Risa tersenyum maklum. Tangannya masih menggenggam erat jemari kokoh sang anak. “Tapi itu kenyataan. Jangan potong pembicaraan bunda!” Tegasnya saat melihat bibir tipis anak laki-laki itu sudah terbuka ingin mengajukan protes. “Bunda mau, Gabriel ambil kertas kecil yang Bunda selipkan didalam dompet. Kalau  perlu, ambil saja semua uang bunda. Gabriel temui papa ya? Kamu harus mendapatkan kehidupan yang lebih layak sayang.”

Gabriel menggeleng tegas. Posisinya masih tetap sama, tapi tatapan mata yang berubah menjadi berkilat. Ia benci Ayahnya. Ayah yang sangat kejam itu sudah menelantarkannya dan Bundanya dengan seenak jidat saja. Ditambah lagi, ia harus rela hidup terpisah dengan adik kandungnya yang sangat ia cintai. Gabriel tidak akan pernah sudi kesana!

“Gabriel nggak mau!” Tolak Gabriel tegas. Bundanya menghela nafas berat. Gabriel tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Gabriel mau Bunda senang kan?”

“Tentu!” Jawab Gabriel dengan nada tegas dan tandas.

Bunda Risa tersenyum, lalu kemudian meringis lagi. Sakit di dadanya semakin menjadi-jadi. Memaksa wanita itu untuk menekan kuat-kuat dadanya dengan kedua tangan yang sudah terlepas dari genggaman Gabriel. Setelah berhasil mengendalikan diri, perempuan itu kembali menatap putra sulungnya.

“Kalau begitu, lakukan apa yang Bunda perintahkan pada Gabriel. Gabriel mengerti kan?  Sekarang, panggilkan Dokter. Biarkan Bunda beristirahat di pangkuan Tuhan menuju rumah abadi. Bunda sayang Gabriel dan Mario.”

Gabriel bergeming. Badannya terasa beku dengan aliran darah yang berhenti, dan otak yang mendadak macet. Ia tidak bisa mencerna perkataan Bunda sedikitpun. Tidur dipangkuan Tuhan?! Rumah abadi?! Apa-apaan! Tapi semua sudah terlambat. Saat bibirnya sudah ingin terbuka, kedua bola mata hitam pekatnya sudah menangkap lebih dulu mata sang Bunda yang tertutup rapat dengan sebuah senyum damai dan tenang. Gabriel menahan nafasnya. Merasakan detak jantungnya mendadak berhenti seketika. Otaknya blank!

Dengan kalap, Gabriel mengguncang-guncang tubuh kurus sang Bunda sambil terus meneriakkan nama Bundanya dengan seruan keras. Hingga dokter dan beberapa susternya datang. Menahan tubuh Gabriel yang sudah meronta-ronta seperti orang kesurupan. Air mata cowok itu sudah mengalir deras dari pelupuk sepasang mata indahnya. Menggantikan bibirnya berbicara akan sebuah kehilangan yang baru saja ia alami.

Bunda adalah dunianya. Bunda adalah hidupnya. Bunda adalah nafasnya. Bagi Gabriel, tidak ada yang lebih penting dari pada bundanya. Tapi sekarang waktu sudah berbicara. Merenggut segala kebahagiaan yang ia peroleh dari Bundanya. Membawa Bundanya terbang menuju rumah baru dan menyongsong keabadian.

Gabriel berhenti meronta bersamaan dengan luruhnya tubuh tinggi tegap itu kebawah dan menyentuh dinginnya ubin-ubin tak beralas. Bahu kokohnya berguncang hebat dengan suara isakan yang tertahan. Sekarang ia sendiri. Sebatang kara menjalani kehidupan remajanya yang mulai berwarna. Tapi tanpa Ibu, apa arti sebuah kehidupan?! Tidak ada! Nihil dan tanpa warna!

“Gabriel bakal meminta tanggung jawab Papa atas semua ini! Untuk Bunda! Bunda yang tenang ya disana.” Ikrarnya dalam hati.

Komentar

Postingan Populer