Not Easy [4]
[4]
Rio dan Gabriel baru
saja keluar dari ruang OSIS tepat pukul 14.00 wib. Dengan dokumen penting yang
berada di genggamannya, Rio melangkah lebih dulu kedepan. Meninggalkan Gabriel
yang masih merenggangkan badan kurusnya didepan pintu ruang osis.
“Hari
ini belajar apa Yo?” Tanya Gabriel setelah berhasil menyamakan langkahnya
dengan Rio. Cowok itu mengangkat tangannya keudara, bermaksud mengacak
rambutnya agar terlihat lebih keren, ketika matanya menangkap siluet seorang
gadis yang sangat dikenal bola mata gelapnya. Insting Gabriel langsung jalan.
Buru-buru ia menoleh kearah Rio, dan menepuk pelan (yang tanpa sadar jadi
keras) bahu Rio. Si empunya bahu kontan kaget. Nyaris saja kertas-kertas
dokumen yang dipegangnya jatuh.
Rio
menoleh marah pada Gabriel. “Lo apa-apaan sih?!” sungut Rio serta merta sambil
menggoyang-goyangkan bahunya, mengusir lengan Gabriel yang masih saja
bertengger manis disana.
“Itu,
ada si Ify di gerbang.” Ungkap Gabriel tanpa mengindahkan protes dari Rio.
Cowok itu menggedikkan dagunya, bermaksud menunjuk gadis yang kini sedang
celingukan didepan gerbang sekolah mereka. Tidak mendapatkan reaksi apapun dari
Rio, Gabriel menoleh. Kedua alis tebalnya terangkat tinggi. “Kenapa lo?”
“Pegangin.
Gue kebawah dulu.” Singkat, Padat, dan Jelas. Rio buru-buru memindahkan
berkasnya ke tangan Gabriel yang masih melongo. Ketua osis SMA Vritas itu
melangkah lebar-lebar, membuat jaket parasutnya yang tidak terkancing
berkibaran.
“Ckckck.
Segitu dendamnya dia sama si Ify.” Gabriel menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil melangkah santai menyusuri koridor, menuju tangga. “Kadang kasian sih
sama si Ify.” gumamnya lagi setalh berhasil sampai dengan selamat di tangga
terakhir. “Tapi yaudahlah. Itu urusan mereka juga.” Putus Gabriel diselingi
dengan mengangkat bahu kokohnya acuh.
*
Ify masih celingukan
menunggu taksi. Perasaannya mendadak jadi tidak enak. “Sivia nyebelin banget
deh ah! Awas aja kalo ketemu. Gue pites-pites tu anak!” omel Ify begitu ingat
tingkah teman sebangkunya yang –menurut Ify sendiri— sangat tidak setia kawan.
Sejak
1 minggu yang lalu, setelah berteleponan
ria sampai jam 11 malam, akhirnya mereka –Ify dan Sivia—, sampai pada
kesepakatan untuk menghindar saja dari Rio cs dan melupakan rencana balas dendam
itu. Menekannya dalam-dalam perasaan dendam yang belum subur itu, untuk
keselamatan mereka sendiri.
Ngomong-ngomong
soal kesepakatan, mereka akhirnya setuju untuk bersembunyi di perpustakaan
setiap jam istirahat pertama, dan di ruang serbaguna setiap istirahat kedua.
Selain itu, mereka juga harus berangkat siang. Kalau perlu sih satu detik
sebelum bel, dan pulang kalau sekolah sudah benar-benar sepi. Untuk menunggu
sekolah sepi, kedua cewek itu memilih bersembunyi di tembok belakang toilet
cewek yang letaknya lumayan dekat dengan gerbang belakang. Jaga-jaga supaya
bisa cepat keluar kalau ada sesuatu yang diluar dugaan. Dan.... tara! Ide itu
berhasil. Mereka nggak pernah lagi ketemu Rio cs disekolah! Makasih Tuhan.
Ify
mendengus kasar. Ia sama sekali tidak menemukan taksi maupun bus yang lewat!
Sial banget kan? Sivia ada les matematika. Jadi tu cewek memilih untuk minta
jemput karena tidak mau telat. Yang paling menyebalkan adalah, cwek itu sama
sekali tidak memberitahu Ify kalau jadwal berubah! Ini sih sama aja menunjukkan
ketidakkompakkan ke kubu lawan! Gerutu Ify dalam hati. Bibirnya udah
monyong-monyong nggak jelas. Sebal campur capek!
Lagi
asyik-asyiknya mengutuk Sivia yang tidak setia kawan, tiba-tiba saja sebuah
deheman keras menyentil telinga Ify.
Bibir
tipis Ify berhenti mengomel. Bahkan sampai berhenti bergerak! Otaknya bekerja
keras menerima rangsangan dari telinganya untuk menebak suara deheman siapa
yang baru saja ia dengar.
Ify
meneguk ludah dengan susah payah saat sebuah nama akhirnya muncul di benaknya.
Sejak bendera perang itu resmi dikibarkan, Ify melatih otaknya untuk selalu
siaga terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan musuh. Termasuk suara,
aroma parfum, plat motor, bunyi mesin motor, sampai helm mush juga dihafalkan
dengan baik olehnya. Ify nggak berani balik badan, jadi, tu cewek Cuma diem
ditempat sambil berfikir keras.
Dan
tanpa diduga, Ify memilih lari kocar kacir menyusuri trotoar jalanan dengan
tergesa.
Langkahnya
bak seekor kuda yang sedang berada di dalam arena perang. Cepat, gesit, dan tak
terbaca. Tapi sayang banget. Kuda yang berada dibayangan Ify ternyata nggak
sehebat yang dia kira. Buktinya, dengan 5 langkah besar milik musuh, lengannya
berhasil tertangkap!
Sentakan
yang mengejutkan dan tak terduga itu memaksa Ify menoleh. “Halo,” tegur orang
tadi dengan seulas senyum manis, tapi mengerikan.
“Lepasin!”
teriak Ify sambil menghentak-hentakkan lengannya yang terisolasi oleh musuh.
Rio
–sang musuh—malah tertawa keji melihat usaha si sandra yang tampaknya sangat
sia-sia. “Kemana aja selama seminggu ini?”
Masih
dengan pemberontakannya yang kini makin menjadi, Ify menyahut ketus. “Bukan
urusan lo!!”
“Wah
wah. Nyolot juga ya lo.” Rio menggeleng-gelengkan kepalanya prihatin. Berlagak
kasihan dengan tingkah bodoh adik kelasnya yang berani banget melawan. “Lo
pulang sama gue aja, gimana?”
Mendengar
ucapan Rio yang santai, seolah hal mengantarkan-musuh-pulang-kerumah adalah hal
yang wajar, Ify kontan membulatkan kedua
matanya. “Nggak mau!!”
“Sayangnya
lo harus jawab mau, I F Y.” Ujar Rio dengan sedikit penekanan pada kalimat
terakhirnya.
Ify
masih belum menyerah. “Lepasin, atau gue teriak?!” ancamnya yang malah disambut
tawa geli Rio.
“Teriak
aja, kalo lo berani.” Tantang Rio. Kedua alisnya terangkat tinggi hingga
menampilkan raut wajah pongahnya yang sangat menyebalkan.
Ify
benar-benar melakukan ancamannya. Cewek itu teriak dengan heboh sambil melompat
lompat. “TOLOOOONG!! TOLOONG!! SAYA DICULIIK!! TOLOOONG!”
Rio
hanya menanggapinya dengan senyum tipis. Bagaimanapun, tidak akan ada yang
percaya kalau dia, ketua osis SMA Vritas yang nama baiknya sudah menyebar ini,
menculik seorang anak SMA yang juga merupakan murid di sekolahnya sendiri.
Ify
masih terus berteriak-teriak heboh, saat seorang penjual kaki lima mencibirnya.
“Aduh mbak, nggak bisa diem ya?”
Mendengar
itu, Ify melotot. “Mas!! Saya diculik!!”
Mas
mas tadi menaikkan alisnya, menatap Ify seolah olah cewek itu baru saja
mengatakan kalau gajah bisa terbang. “Nggak mungkin lah,”
“Loh,
kok gitu?” nyolot Ify nggak percaya.
“Lah,
wong mas Rio ini ketos kok. Mbak aja
kali yang genit.”
Ify
nggak tahan lagi!! Darahnya benar-benar sudah mendidih sekarang. Dia sakit hati
banget!! Kenapa selalu dia yang dianggap genit tiap kali berurusan dengan Rio?
tidakkah orang-orang ini sadar, kalau pihaknyalah yang dirugikan oleh Rio!
Manusia berbentuk setan versi-nya dan teman sebangkunya itu memang benar-benar
licik!
“Eh
mas!! Jangan sembarangan ya, kalau ngomong!”
Kalau
saja Rio tidak ingat dengan image
yang telah sudah susah payah dibangunya agar terkesan berwibawa, cowok itu
pasti tanpa segan lagi memuntahkan seluruh tawanya yang kini terpaksa harus
ditekannya dalam-dalam. Apalagi melihat wajah putih adik kelasnya yang merah
padam. Kayaknya cewek itu benar-benar sakit hati.
*
Ify turun dari motor
besar Rio dengan terburu-buru. Inilah akibat yang harus diterimanya karena
celotehan asal si mamang pedagang kaki lima tadi. Berdebat dengan lelaki paruh
baya itu ternyata membuat Ify kehilangan akal sehatnya. Jadi dengan begonya,
dia naik ke motor Rio dan menyebutkan alamat rumahnya pada cowok itu.
Sial
beribu sial, ternyata mama tau kalau suara knalpot
Rio yang kelewat gede itu berhenti di depan rumahnya. Bisa ditebak, mama
akhirnya membuka pintu dan langsung terpesona melihat Rio yang rapih, tegap,
juga berwibawa. “Ify? Udah pulang? Temannya nggak diajak masuk dulu?”
Mendengar
suara lembut mamanya, Ify menoleh dan melotot tak percaya pada mamanya. “Oh
nggak usah ma. Dia udah mau pulang sekarang kok.”
“Selamat
siang tante,”
Rio sialan!
Bukannya
malah mendukung alibi Ify, cowok jangkung itu memilih untuk melepas helm-nya,
dan berjalan mendahuli Ify untuk menyongsong sosok wanita paruh baya yang kini
menatapnya setengah takjub, sambil tersenyum manis. “Saya Rio tante. Kakak
kelas-nya Ify.” cowok itu menyalami tangan mama Ify.
Dibelakang
Rio, Ify melongo maksimal. Oh tidak! Mama memang paling nggak bisa melihat
barang yang kinclong dikit! Dan kalau udah gitu, ujung-ujungnya yang repot
malah Ify sendiri, karena mamanya bakalan ngoceh supaya Ify cepet-cepet punya
pacar. Jadi, karena tidak mau repot, Ify buru-buru ngibrit nyusul Rio, mendorong
bahu cowok itu, dan berkata manis pada mamanya. “Udah ya ma? Rio mau langsung
pulang. Banyak tugas katanya.”
“Loh,
nggak mampir dulu?” Tanya mama menyebalkan, membuat Ify makin melotot, dan Rio
makin merasa dirinya diawang-awang.
“Nggak
usah ma. Iya kan Yo?”
“Wah
kayaknya boleh tante. Lagian, saya nggak ada kerjaan setelah ini.”
Brengsek!
Rio bener-bener brengsek!
*
Sivia berjalan malas kearah
meja belajarnya. Ia baru saja selesai mandi dan berpakaian setelah seharian ini
mendekam di tempat kursus matematika yang bahkan lebih mengerikan dari apa yang
sudah dibayangkannya. Tiba-tiba saja ponselnya yang berada di atas meja beajar menjerit, membuat Sivia berjengit kaget. “Siapa sih?” keluhnya setengah sebal seraya meraih ponselnya.
Melihat
nama Ify tertera di layar ponselnya, Sivia buru-buru menggeser permukaan layar
sentuh ponselnya dan menempelkan benda canggih itu ke telinga kanannya. “Apa
Fy?”
“SIVIA!
LO JAHAT!!” Teriak Ify desebrang, membuat Sivia otomatis menjauhkan ponselnya
dari telinga. Dahinya berkerut-kerut mengingat apa yang sudah ia lakukan hingga
membuat sahabatnya itu marah. Setelah berhasil menemukan jawabannya, cewek itu
menempelkan kembali ponselnya. “Oh soal itu, gue minta maaf banget Fy.
Urusannya mendadak sih. Nyokap nggak ngasih tau jadwalnya sama gue. Lupa
katanya.”
“Bukan
ituuu!!!” potong Ify yang terdengar gemas di sebrang sana.
Lagi-lagi
dahi Sivia berkerut bingung. “Terus apa dong?”
“Rio
nganter gue pulang!!!!”
Butuh
waktu sekitar 10 detik bagi Sivia untuk mencerna kalimat Ify, hingga yang
keluar dari bibirnya hanya, “APA?!”
*
Alvin mengernyit.
“Maksud lo?” Tanya cowok itu sambil membenahi letak dasinya yang belum
sempurna.
“Lo
jemput Sivia, temen sebangku Ify itu.” Sahut Rio di sebrang yang berhasil
menghentikan aktivitas Alvin.
Cowok
sipit itu sekarang menggenggam ponselnya yang tadi hanya ia sampirkan diantara
bahu dan telinga, lalu berbicara serius. “Dalam rangka apa nih?”
Hening.
Tidak ada jawaban.
“Yo?”
sapa Alvin pelan.
“Ah.
Nggak dalam rangka apa-apa sih. Gue Cuma mau main aja sama mereka.” Sahut Rio
yang tampaknya sudah berhasil menguasai diri.
Alvin
tersenyum lebar mendengar jawaban Rio. “Oke. Alamatnya?”
“Nanti
gue sms-in. Lo nggak keberatan kan?”
“Untuk
elo, apa sih yang nggak?”
“Serius
nih man.”
Alvin
tertawa. “Nggak lah. Gue juga nggak bakal rugi kok. Udah lama kita nggak nemu
mangsa baru,”
“Bener
banget. Yang ini kayaknya lebih bringas.”
“Alah.
Bringas bringas juga nanti bakalan ciut kalo udah kita kerjain.”
“Iya
sih. HAHA,”
“Eh,
btw kenapa lo nyuruh gue? Maksud gue, kok bukan Gabriel atau Cakka aja?” Alvin
meraih ranselnya dengan satu tangan, dan kembali mematut dirinya didepan
cermin. Setelah yakin kalau penampilannya oke, cowok itu memutuskan keluar
kamar.
“Gabriel
udah ada janji,” jawab Rio dengan nada malas yang kentara.
Alvin
mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Sahabatnya yang satu itu memang
benar-benar playboy cap gadungan.
Setiap hari gandengannya gonta ganti. Parah banget! “Terus Cakka?”
“Yah
Vin. Si Keke mau lo kemanain?”
“Ya
ampun! Sorry Yo gue lupa.” Ujar Alvin sambil menepuk jidatnya pelan.
“Yaudah
kalo gitu. Gue sms-in ya,”
Tuttt..
Sambungan
terputus. Alvin memasukkan ponselnya kedalam saku lalu melangkah santai menuju
meja makan. “Pagi,” sapanya pada seluruh penghuni meja makan.
Hening.
Tidak ada yang menjawab sapaannya.
Alvin
tersenyum miris. Tentu saja tidak ada yang membalas. Karena Alvin hanya menyapa seluruh benda mati yang ada disana. Apa yang bisa diharapkan dari sekumpulan
benda mati? Jawabannya mutlak. Hanya satu: TIDAK ADA!
Tangannya
terulur untuk mengambil selembar roti tawar. Selesai meneguk habis susunya,
Alvin berjalan menuju garasi. Bersiap siap mengalami hari baiknya.
*
Grubak brubuk terdengar
keras dari kamar Sivia. “Ma! Kaus kaki putih Via kemana?!” teriaknya dari dalam
kamar.
“Mana
mama tahu. Kan kamu sendiri yang pakai.” Balas mamanya dari arah dapur.
“Ma,
buku bahasa inggris Via kemana?!!”
“Nggak
tau Vi! Yang sekolah kan kamu!” sahut mama lagi. Kali ini dengan nada kesal
yang beranjak menuju marah.
“Ma!!”
Sivia
keluar kamar dengan gerakkan grusak grusuk. Kedua tangannya penuh dengan
barang-barang yang belum terpasang pada tempatnya, seperti dasi, sepatu, bando,
tas, ikat pinggang, dan buku cetak matematika. “Ma, Via telaat!”
Mama
Sivia memutar bola matanya malas. “Salah sendiri, dibangunin malah molor lagi.”
“Yah,
Via berangkat sama siapa dong?” Sivia menghempaskan barang-barangnya keatas
sofa, dan menatap mamanya dengan tatapan tolong-banget-ma. Jelas banget prihal
telatnya ini berhubungan dengan Ify. Cewek itu ngamuk-ngamuk di telfon selama
lebih dari 2 jam! Sivia bahkan masih ingat kata-kata terakhir Ify. “Kalo sampe
lo ninggalin gue lagi, gue nggak bakal segan-segan ngejambakin rambut lo Vi!”
ngeri banget kan? Sivia sampe gidik-gidik sendiri waktu denger kata-kata Ify
semalam.
“Naik
bus aja sana,”
Bahu
Sivia melemas. “Ini udah jam 7 ma. Nggak mungkin Via naik bus. Nanti telaaat”
“Itu
sih tanggung sendiri.” kata mama seraya berlalu dengan semangkuk nasi goreng
ditangannya. Mama memang tidak suka memanjakan Sivia, walaupun cewek itu anak
tunggal.
Sivia
buru-buru memasang sepatunya dengan satu tangan. Sedangkan tangannya yang bebas
meraih ponsel untuk menelfon Ify. Belum lagi nada sambung terdengar, suara bel
dari pintu depan lebih dulu berbunyi. Sivia tersenyum senang begitu otaknya
membayangkan kalau Ify yang baik hati menjemputnya. Tapi khayalan itu langsung
buyar begitu mamanya menyahut dari pintu depan.
“Sivia,
teman kamu jemput. Laki-laki nih,”
Perasannya
mendadak tidak enak. “Siapa ma?”
“Namanya...”
mama menggantungkan kalimatnya, membuat jantung Sivia serasa lompat-lompat
sangking deg-deg-annya. “Alvin.” Lanjut mama, yang secara otomatis mengundang kewaspadaan anaknya.
Perasaan
tidak enak itu terjawab sudah.
kyaaaaaaaaa.... lanjut dong... ini keren pake banget..
BalasHapuslanjut donk
BalasHapus