Song Fiction [Back To December]
I'm so glad you made time to see me
“Apa kabar?” sapamu setelah lama hening yang mengudara. Aku mengangkat wajahku yang sedari tadi hanya menatap kosong secangkir kopi hangat, tersenyum kaku, dan menjawab dengan suara pelan.
“Baik.” Kamu mengangguk, lalu kembali membuang muka kearah jendela kafe. Hujan di bulan desember benar-benar tidak bisa dibilang baik. Aku menghela nafas. Menyadari sepenuhnya bahwa kecanggungan ini memang haruslah terjadi.
How's life? Tell me, how's your family? I haven't seen them in a while
“Kamu?” kamu menoleh, menatapku dengan satu alis terangkat. “Kamu apa kabar? Keluargamu?” lanjutku. Mengerti bahwa kalimatku yang sebelumnya tidak bisa kamu pahami.
Kamu menghela nafas berat. Dalam hati aku mengutuk bibirku yang berkhianat. Kenapa sih, disaat canggung seperti ini aku malah menanyakan keluargamu? Sopankah aku?
“Baik.” Jawabmu singkat. Aku meringis.
“Kamu kangen?” katamu hati-hati.
Lagi-lagi aku harus mengangkat kepalaku untuk menjawab. “Kangen? Sama siapa?”
“Aku?” tanyamu seraya mengarahkan telunjuk panjang milikmu kearah dirimu sendiri.
Aku terkekeh. “Bisa dibilang begitu.”
Kamu tersentak. Bisa dipastikan apa yang akan terjadi berikutnya. Hening kembali mengudara. Aku jadi menyesal. Kenapa pula aku harus menjawab dengan kalimat supranatural seperti itu? Bodoh. Makiku dalam hati. Kenapa kalau berada didekatmu, seluruh organ tubuhku seakan berkhianat pada pemiliknya—aku?
You've been good, busier than ever
Kamu melipat kedua tangan kekarmu diatas meja. Sedangkan bola mata hitammu terfokus pada butiran-butiran air langit yang sekarang muali mereda. “Kita ketemu lagi.” ujarmu pelan.
Mengikuti kegiatanmu memandangi hujan, aku menyahut. “Ya.” Aku berhenti sebentar, lalu melanjutkan. “Bahkan disela-sela kesibukan orang kantoran sepertimu.”
We small talk, work and the weather
Kamu menoleh, lalu tertawa kikuk. Entah apa yang lucu dimatamu, hingga mengundang tawa sumbang itu. Jadi, tanpa bergerak se-senti pun dari posisiku sebelumnya, aku hanya bisa mendesah berkali-kali dalam hati. Aku melirikmu melalui ujung mata. Sambil mengaduk pelan teh hangat yang tadi aku pesankan, kamu kembali berujar. Pelan dan tanpa menoleh. “Sekarang kerja dimana?”
Aku melakukan hal yang sama. Mengaduk kopi panasku tanpa minat, dengan fokus pikiran yang terbang entah kemana. “Butik.” Jawabku singkat tanpa nada.
Kamu mendongak. “Punya sendiri?”
“Ya. Kamu?”
“Sama seperti cita-citaku dulu.” Katamu ambigu.
“Bisnis man?” tebakku seraya menelengkan kepala.
Seulas senyum melengkung indah di sela-sela keriput halus disekitar bibir. Kamu tersenyum. “Kamu masih ingat.” Kekehmu manis.
Aku tertawa garing. “Tentu saja.”
Your guard is up, and I know why
“Kamu.. masih single?” tanyamu penuh nada kehati-hatian. Aku tahu persis, kenapa pertanyaan itu diucapkan dengan penuh perhitungan.
Because the last time you saw me
Aku tahu persis bagaimana nada itu bisa terucap. Dan tanpa bisa lagi dicegah, pikiranku mulai melalang buana ke kejadian beberapa waktu lalu. Saat terakhir kali retinamu melihatku, dan menjadi saksi atas segala yang aku lakukan padamu, malam itu.
Is still burned in the back of your mind
Mungkin masih segar dalam ingatanmu, ketika aku, seorang gadis sederhana yang tidak tahu diri ini, membiarkanmu berharap.
You gave me roses, and I left them there to die
Matahari sedang gencar-gencarnya bersinar ketika tiba-tiba saja setangkai bunga mawar tertangkap inderaku. Malas, aku mendongak. Sudah bisa kutebak apa yang akan kulihat setelah itu. Tentu saja senyum tulusmu yang terukir lebar. Menampilkan seulas wajah damai yang selama ini berusaha kubuang jauh-jauh. Satu tanganmu menyodorkan mawar, sedangkan yang ainnya menggenggam erat sebotol air mineral dingin.
Masih dengan senyum lebar, kamu menggoyang-goyangkan mawar merah itu didepanku, hingga membuat kelopak-kelopaknya yang indah bergoyang menikuti irama tanganmu. Aku mendengus, lalu meraih kasar setangkai mawar yang sudah tidak berduri itu. “Mawar lagi?” tanyaku bosan.
Asal tahu saja, puluhan mawar yang kamu berikan sebelum ini, kubiarkan begitu saja didalam kamar. Layu dan tampak tidak bergairah. Jadi, untuk apa lagi kamu memberikan bunga ini padaku?
Diiringi sebuah seringai malu, kamu menggaruk tengkukmu –yang kuyakini—sama sekali tidak gatal. “Cuma ada itu.”
Aku memutar bola mata sebal. “Terima kasih.” Kataku ketus. Kamu tertawa. Lalu, tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, kamu mengulurkan tanganmu yang menggenggam air mineral dingin kearahku. “Panas kan?”
Tentu saja! Jawabku sebal dalam hati. Tanpa pikir panjang lagi, aku meraihnya, membuka tutup botol itu tidak sabar, dan menegaknya dengan penuh nafsu. “Terima kasih,” ujarku tulus. Kali ini benar-benar tulus dari sudut hati yang terdalam.
Kamu tersenyum, lalu mengangguk maklum. “Mau pulang?”
“Ya.”
“Naik bus?” tanyamu seraya mengangkat alis.
Aku –lagi-lagi—memutar bola mata. “Menurutmu?”
Kamu salah tingkah. Aku tahu, karena kamu langsung menggaruk tengkukmu lagi. “Mau bareng?”
“Nik bus?” beoku rese.
Kamu terkekeh. “Boleh juga.”
Kakimu sudah akan melangkah maju, saat tiba-tiba suara petir menggelegar memekakkan telinga. Aku menjerit. Terkejut dengan kilat hebat yang baru saja menyapa telingaku. Kamu berjengit, lalu tanpa sadar, buru-buru membentengi tubuhku yang lebih pendek darimu, menjadikan dirimu sendiri sebagai tameng, seakan-akan petir itu bisa menyambarku kapan saja. Sesaat, aku hanya bisa tertegun.
“Nggak papa?” tanyamu khawatir. Nada itu benar-benar membuat suasana hatiku menjadi hangat. Rasanya, sudah lama sekali alat itu mati rasa. Tanpa sadar, pipiku memanas. Kontan kamu menjerit. Menyerukan kalimat khawatir yang lebih membabi buta.
“Aku nggak papa.” sergahku seraya membenahi posisiku. Kamu mendesah lega. Benar-benar lega, sampai aku bisa merasakan hangatnya disamping telinga.
Selanjutnya, kita hanya bisa diam. Menunggu hujan dibulan desember mereda. Beginilah desember yang seharusnya. Hujan. Bukan terik seperti beberapa menit yang lalu. aku menengadah. Menatap langit mendung yang kian memekat itu sambil mengomel dalam hati. Disampingku, kamu melakukan hal yang sama. Bersedekap dan menengadah menatap hamparan langit mendung diatas sana.
“AH! Aku lupa.” Serumu tiba-tiba. Berhasil membuatku berjengit sangking terkejutnya. Aku mencibir, sedangkan kamu tanpa peduli, malah mengaduk-aduk isi ranselmu yang tanpak berat. Beberapa saat kemudian, kamu mengangkat kepalamu, tersenyum lebar, dan mengangkat sebuah payung kecil tepat di depan mataku.
Aku mendengus. “Kenapa nggak dari tadi?” tanyaku jengah.
Kamu meringis. “Lupa.”
Setelahnya, tanpa kusadari sepenuhnya, kamu dan aku sudah jalan bersisian, menuju halte terdekat. Sepajang perjalanan itu, kamu berceloteh. Menceritakan apa saja yang sudah kamu alami hari ini. Mulai dari kejadian paling membosankan, hingga kejadian yang paling lucu sekalipun. Sedangkan aku, masih dengan kedua tangan yang menggenggam dua benda darimu, hanya diam. Mencerna apa-apa saja yang baru aku alami hari ini... bersamamu.
So this is me swallowing my pride
Sekarang, aku hanya bisa menelan ludahku sendiri, seraya merapalkan kalimat penyesalan yang tiada henti dalam hati. Aku benar-benar bodoh. Kenapa selama ini aku tidak pernah memahami arti dari senyum lebarmu? Kenapa selama ini aku tidak pernah bisa mencerna, apa arti dari kelakuan-kelakuanmu yang kelewat baik terhadapku? Kenapa ketulusan yang selama ini kamu berikan justru aku tampik jauh-jauh? Aku ini... apa?
Standing in front of you, saying I'm sorry for that night
Aku memberanikan diri mengedah. Disana, didepanku. Kamu menunduk. Menatap entah apa yang menarik dibawah sana. Sebelum mengucapkannya, aku menarik nafas panjang. Memejamkan mata sebentar, dan mulai bercicit. “Maaf.”
Kamu mendongak. Menatapku dengan mata menyipit heran. “Maaf? Untuk apa?”
“Bulan desember.” Sepenggal kalimat itu berhasil menyentakmu. Hanya beberapa saat, karena setelahnya kamu malah tertawa.
“Kamu ingat?”
And I go back to December all the time
“Ya.” Sahutku malu-malu.
Kamu tersenyum. Perlahan, tanganku mulai merambat, lalu dengan percaya dirinya, tangan itu mengenggam salah satu tanganku. Aku mendongak, dan langsung disuguhi senyum tulusmu yang selama ini aku rindukan. Berapa musim aku sudah menahannya? Jangan tanyakan.
“And I go back to Deceember all the time.” Senandungmu yakin, semakin membuatku tersipu-sipu.
Entah dari mana asalnya, aku bisa mendengar suara merdu Taylor Swift sudah menggema. Menyanyikan salah satu lagu-nya yang menjadi favourite-ku hingga hari ini.
Komentar
Posting Komentar