Teman Lama [Cuap-cuap Penulis Amatir]


Hallo, selamat malam blogger yang masih setia menjadi tempat sampah saya.

Hari ini, malam ini, mungkin adalah satu dari sekian banyak hari yang penuh kejutan buat saya. Ternyata, saya bukan seorang teman yang baik. Saya nggak sehebat yang saya fikirkan. Saya terlalu nggak peduli. Saya bukan seorang teman yang patut dibanggakan. Saya... bukan apa-apa.

Di hari ke-27 bulan ramadhan tahun ini, saya buka bersama. Atau bahasa gaulnya BukBer, bareng temen-temen SMP saya, yang dulu saya anggap tidak terlalu penting. Saya tahu, ini pengakuan paling kejam yang pernah saya buat. Tapi saya memang pernah berfikir seperti itu. Dulu, saya anggap mereka hanya sekedar ‘teman’ sekelas. Nggak lebih. Dulu, saya sering kumpul sama mereka yang menawarkan saya persahabatan, tapi saya selalu buang muka, menolak. Dulu, saya menutup mata rapat-rapat dari semua yang berbau sahabat, cuma karena trauma alay nggak berujung. Dulu, saya lebih suka ‘sendiri’ daripada harus gabung dalam forum seru cewek-cewek yang menganggap saya sahabat. Dulu, saya nggak tersentuh. Terlalu angkuh dan jumawa, padalah sebenarnya saya seseorang yang ringkih dan terlalu takut.

Banyak cerita terlewatkan selama saya berfikir betapa-tidak-pentingnya-sebuah-persahabatan. Banyak hal yang sudah saya ingkari kebenarannya, seperti: saya merasa nyaman bersama mereka, misalnya.

Selama itu, saya nggak pernah benar-benar peduli sama mereka. Saya buta. Saya tuli.

Sampai hari ini, saya tahu satu fakta yang berhasil membuat jantung berhenti.

Teman dekat saya, sahabat saya, seseorang yang sudah lama saya anggap sebagai kakak, ternyata bekerja. Ya, bekerja. Bekerja dalam artian yang sebenarnya. Dia, anak laki-laki yang dulu tingginya cuma selisih beberapa senti meter dari saya itu, memikul beban. Samar, cenderung nggak terlihat, tapi benar-benar berhasil membuat hati saya serasa dicubiti.

Badannya yang sekarang sudah jauh lebih tinggi dari saya, berbalut seragam. Bukan, bukan seragam sekolah seperti yang biasanya saya pakai. Tapi... seragam kerja. Kemeja putih lengan pendek berpadu celana hitam panjang yang sukses membuat mata saya terbelalak. Hebatnya lagi, dia malah tersenyum ramah menyambut saya dan teman-teman yang lain sebagai seorang pengunjung tempatnya bekerja. Gingsulnya yang menjadi idaman anak perempuan di SMP saya dulu itu, mencuat. Menambah kesan I’m-happy-with-my-life yang dia pasang.

Saya bengong. Bingung dengan kenyataan pahit yang baru aja saya terima.

Cowok itu, pemain basket andalan sekolah saya yang namanya dielu-elukan banyak orang, bekerja. Catat, be-ker-ja. Nggak banyak anak laki-laki yang bisa mengalahkan gengsinya seperti teman saya ini, untuk membantu keluarga. Dia hebat. Dia luar biasa. Dia... nggak terduga.

Di waktu yang seharusnya dia habiskan untuk hangout seperti anak lainnya, dia malah memilih bermandikan keringat. Menyambut tamu, mengantar pesanan, mengelap meja, menyapu, membuang sampah, dan seperti itu terus sampai waktu kerjanya limit.

Saya pengin nangis. Saya sedih. Saya terluka. Walaupun di depan teman-teman yang lain saya ngakak setan, sebenarnya otak saya nggak pernah berhenti menduga-duga. Kenapa? Kenapa dia..... bekerja? Kenapa dia harus mengepel lantai yang tumpah karena ulah teman-temannya? Kenapa dia harus selalu tersenyum di setiap ada pengunjung yang datang? Kenapa? Sebegitu berat kah beban yang ditanggungnya?

Parahnya lagi, disaat hidupnya yang jauh dari kata mewah, dia masih bisa tertawa. Bebas dan leoas. Sesekali juga ikut serta dalam meramaikan forum kami dengan beberapa kali melempar canda, atau hanya sekedar berkomentar lucu. Matanya masih sama. Berbinar penuh rasa bahagia. Begitu juga dengan senyum super manisnya yang berhias gingsul. Masih ada. Lebar dan tanpa beban. Anak ini... apa yang dia pikirkan?

Dan kalian tahu, apa yang semakin membuat saya terharu sampai pengin banget meluk dia? Dia nggak segan-segan menyuruh saya membungkus jatah makanannya. Waktu saya tanya untuk apa? Dia jawab sambil tersenyum. Hangat sekali. “Untuk anak-anak kecil di depan sana. Titip ya,”

Ya Tuhan... betapa mulia hati teman saya yang satu ini. Saya bener-bener pengin nangis waktu itu (dan pengin banget mukulin dia sangking geregetnya) kalau aja temen cewek saya nggak buru-buru menjauhkan saya dari tempat saya berdiri sambil bengong mandangin sahabat laki-laki saya yang sudah sibuk mengepel.

Tergagu, saya melambaikan tangan setelah sebelumnya berjabat tangan ala persahabatan sama teman saya itu. Saya bilang, saya pulang duluan. Dan dengan wajah berseri-seri, dia mengangguk sambil meneriakkan ucapan terimakasih karena sudah datang ke tempat dia bekerja. Saya mengangguk kaku, dan akhirnya menghilang dibalik tangga bersama yang lainnya.

Saya... salut. Bangga. Kagum. Suka, dan apalah itu namanya, sama dia. Terutama sama keikhlasan hati teman saya yang benar-benar tidak bisa dinalar anak rumahan alias manja seperti saya.

Jadi, hei kamu yang sekarang (mungkin) lagi beres-beres untuk siap-siap pulang kerumah. Selamat ya! Kamu benar-benar sudah berhasil mengambil hati saya yang selembek hello kitty ini. Maaf ya, saya bukan seorang teman yang baik untuk kamu. Maaf ya, kalo selama ini saya selalu ngerepotin kamu (terumata waktu SMP dulu). Maaf ya, kalo selama ini saya nggak pernah peduli. Dan... maaf ya, kalau saya udah kagum sama perbuatan kamu yang (mungkin) kamu anggap menyakitkan dan terpaksa kamu lakukan ini.

Untuk kamu, teman sekaligus seseorang yang saya anggap kakak (terserah kamu mau bilang apa tentang ini), tetap berjuang ya! Nggak papa. semua bakalan indah pada waktunya kok! Saya pamit ya. Maaf untuk cerita ini.


Salam saya,

Teman lama yang benar-benar tidak baik.

Komentar

Postingan Populer