Little Story


Kedua bola matanya bergerak kekiri lalu kekanan dengan gerakkan cepat dan cermat dibalik kacamata ber-frame hitam yang bertengger manis dihidungnya yang mancung. Tangannya sibuk mencoret-coretkan tinta hitam dari pena mahal, keatas kertas-kertas yang berserakkan diatas meja. Kaki jenjangnya sengaja ia selonjorkan, karena posisi duduknya sekarang sedang lesehan.

Tiba-tiba saja setets air muncul tepat di diatas kertas yang baru saja hendak ia tanda tangani. Dahinya berkerut. Air apa ini? batinnya heran. Dengan perlahan, ia mengangkat kepala. Matanya langsung terbelalak saat mendapati sesosok makhluk mungil dengan seulas tawa sedang menatapnya senang.

“Ify?! kamu belum tidur?” serunya reflex begitu tubuh mungil yang tidak jauh di depannya itu mulai berjalan pelan menyongsongnya. Rio melepaskan kacamatanya lalu merentangkan tangan lebar-lebar, menyambut kedatangan malaikat kecilnya di tengah-tengah pekerjaannya yang sangat menguras pikiran ini.

Setelah sampai dipelukkan sang Papa, anak perempuan kecil itu mengusek kepalanya di dada bidang papanya. “Pa..pa” gumam anak itu tidak begitu jelas.

Rio terkekeh. Tangan kokohnya membelai pelan rambut hitam legam dengan panjang sebahu milik anaknya dengan sayang. “Iya sayang. Kenapa kamu belum tidur?” Tanya Rio sambil menatap sang anak dengan sepasang mata sayunya yang terlihat begitu lelah. “Oma kamu kemana? Kamu kabur ya?”

Rio tahu, ia tidak akan pernah mendapatkan jawaban. Tapi berbicara pada Ify seperti ini—walaupun sepihak—membuat rasa lelahnya menguap seketika, hingga tak lagi bersisa.

“Cucu..” tutur anak perempuan itu dengan ekspresi yang sangat menggemaskan.

Lagi-lagi kekehan geli Rio berhambur. Laki-laki itu memeluk tubuh mungil yang kini berada didalam dekapnya dan mengayun-ayunkannya dengan gemas. Didalam peluknya, gadis kecil itu tertawa. Menikmati kebersamaan yang jarang sekali ia dapatkan dari papanya yang selalu sibuk.

“Papa kangen sama kamu,” Rio menghentikan aksinya dan menciumi pipi kanan-kiri anak perempuannya penuh kasih bercampur gemas. Setelah itu, matanya memandang lekat Ify yang kini sedang menguap lebar. Rio tersenyum. “Kamu mirip sekali dengan mamamu,”

Ify. Gadis kecil yang berada didalam pelukkannya ini adalah kado terindah dari istrinya sebelum perempuan anggun itu memenuhi panggilan sang khalik. Ya, Istrinya meninggal karena melahirkan malaikat kecil mereka. Wanita muda itu kehilangan banyak darah saat persalinan, hingga nyawanya tidak berhasil ditolong.

Walupun sedih, tapi Rio tetap bersyukur, karena istrinya pergi dengan damai, dan sudah dengan senang hati meninggalkan seorang malaikat kecil nan imut ini kepadanya.

Rio menatap setangkup wajah lelah itu sekali lagi. Mata anak itu, hidungnya, bibirnya, semua mirip sekali dengan seseorang yang sangat Rio cintai. Hanya rambut ikal gadis kecil itu saja yang merupakan turunan darinya.

Kemiripan itu jugalah, yang membuat Rio memberi nama anaknya Ify. Sama seperti nama ibu anak itu. Indah, anggun, dan menawan. Setelah terdiam selama beberapa saat, Rio bangkit dari duduknya, melirik jam dinding dan langsung menghela nafas. “Sudah jam 11, dan kamu belum tidur? Nakal sekali kamu Fy,” marah Rio sambil mencubit gemas hidung bangir anaknya. Diperlakukan seperti itu oleh papanya, Ify hanya bisa tertawa memaksa Rio untuk kembali menghamburkan tawa gelinya.

Anak ini. Pikirnya geli.

                                                                        *

“Vin, kamu masih nggak mau ngeliat anak kamu?” seorang wanita paruh baya menghampiri laki-laki yang kiini sedang menatap hamparan langit malam dari balkon kamarnya.

Mendengar suara mamanya, laki-laki itu menghela nafas berat, lalu kemudian berbalik menatap mamanya dengan pandangan kosong. “Dia.. mirip Shilla ma,” lirihnya pedih.

Wanita dewasa itu berjalan lebih dekat lagi. Setelah sampai disamping anak laki-lakinya, ia mengangkat tangan, dan menepuk-nepuk pelan bahu kokoh yang tampak melemas itu. “Wajar Vin. Dia kan anak Shilla,”

“Tapi Alvin nggak sanggup,”

Mama Alvin menghela nafas berat. Pasrah. “Vin, kenyataan itu memang pahit. Tapi kamu harus coba untuk menerimanya, karena hidup itu nggak selalu manis sayang,”

“Seandainya Shilla masih ada,”

“Hilangkan kata seandainya.” Tegas mama Alvin membuat kedua boa mata anaknya langsung terfokus padanya. “Karena Shilla masih ada, di dalam diri Tiara,” lanjut wanita itu sambil tersenyum penuh makna.

Hening. Tidak ada tanggapan yang keluar dari bibir tipis Alvin. Laki-laki itu hanya bisa mematung. Masih mencoba mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan ibunya. Beberapa detik berikutnya, Alvin langsung berdiri dari tempatnya bersandar, dan berlari menuju pintu dengan kalap. “Dimana Tiara Ma?!” teriaknya menggelegar dengan nafas yang terengah-engah.

“Dikamarnya,”

Entah kenapa, mendengar tutur kata mamanya barusan, membuat dada Alvin sesak dan bergemuruh. Ada bagian dari dalam hatinya yang hilang, saat nama anaknya disebut. Sesuatu yang selama ini tidak pernah ia berikan. Sesuatu yang selama ini disimpannya. Sesuatu yang.. benar-benar harus dibagi tapi tidak juga ia ulurkan.

Shilla memang sudah meninggal, karena kecelakaan tragis beberapa bulan lalu. tapi Alvin masih memiliki satu lagi harta yang harus selalu ia lindungi. Anak mereka.




Haaaai!! Ini bakalan ada lanjutannya! Tapi ini bukan cebung kok. Cuma potongan cerita aja. Selingan gitu deh eheheh. Lanjutannya nanti khusus buat Cakka dan Gabriel. Jangan lewatkan ya!! Bye;)

Komentar

Postingan Populer