Sweet Love Bagas Cindai
Aku berjalan cepat tanpa
mengiraukan suara yang sejak tadi memanggil-manggil namaku. Semakin lama
semakin cepat. Oh ya ampun! Plis deh, aku nggak akan pernah mau berurusan sama
Bagas pagi-pagi begini.
Eh, kalian belum tau aku kan?
namaku, Cindai. Oke oke, aku tau kalian pasti sedang bertanya-tanya kenapa pagi
ini aku menyusuri koridor dengan setengah meraton? Itu sama saja dengan
alasanmu kalau sedang dikejar perampok! Aku tahu ini berlebihan. Tapi aku
serius, bahwa aku memang sedang dikejar perampok!
Yah walaupun tampangnya bisa
dibilang oke, tapi Bagas itu tengil banget!
“Ndai! Pr Fisia lo dong!” tuhkan!
Aku makin mempercepat langkahku. Tapi...
“Hayo! Kena lo!”
Tamatlah sudah aku pagi ini.
“Apa sih?!” sentakku keras pada
tangannya yang melingkar manis dipergelangan tanganku. Aku memutar bola mataku
malas begitu mataku menangkap cengiran tanpa dosa milik seorang Bagas, yang
katanya runner up anak paling beken
di SMA ini. Kadang aku berfikir keras, kenapa Bagas bisa sampe seterkenal itu? Memang
sih dia ‘agak’ cakep. Agak loh. Karena dia belum bisa ngalahin rekornya Kak
Rio, kakaknya yang juga sekolah di sini.
“Pinjem Pr ya? Gue nggak sempet
ngerjain pr nih. Semalem namatin main Game,” tuturnya begitu ringan dan tanpa
rasa bersalah.
“Main game aja terus, sampe gemuk!”
kataku galak.
“Yah Ndai, segitu banget sih. Sama
gue ini,” dia memohon dengan tatapan puppy
eyes-nya yang bisa membuat siapapun luluh. Tentu saja aku pengecualian. Aku
sudah bertekad tidak akan menghiraukan anak ini walaupun dia mengeluarkan jurus
paling ampuh sekalipun. Sudah cukup selama ini pengorbananku sebagai ‘sahabat’nya
yang baik hati.
“Nggak mau!” tolakku tegas sambil
berlagak membuang muka. Kali ini aku beneran marah kok.
“Gue traktir permen karet deh,”
ujarnya masih dengan memohon. Sekarang kedua telapak tangan cowok itu sudah
terpaut, dan wajahnya sudah memelas habis-habisan.
Aku melotot. “Emang gue anak TK
apa? Disogoknya pake permen. Nggak mauu!!” sekarang aku melipat kedua tanganku
didepan dada dengan pandangan yang mengarah pada lapangan basket.
“Yaaah,” Bagas menggaruk-garuk
tengkuknya yang kelihatannya memang gatal. Sebenarnya ini rahasia sih, tapi
kalau aku boleh bilang, Bagas itu jarang banget keramas! Ih. Jorok banget kan?
Memang. Aku sampai merenungi nasibku yang sial ini, kenapa bisa aku sahabatan
sama orang kayak dia? Tengil, jorok, dan suka tebar pesona? Oh, plis deh! “Gimana
kalau nonton bioskop?”
Aku tersentak. Nonton bioskop?
BIOSKOP?! AH! Aku mau-aku mau! But, wait!
Minggu ini nggak ada film baru dibioskop. Aku mengetuk-ngetuk jariku sok
penting. Kalau ngasih Pr fisika yang aku kerjakan mati-matian pada Bagas tanpa
imbalan, itu rasanya hampa banget. Tu anak kan memang sering banget buat aku
repot. Tapi kalau pakai imbalan, jauhnya aku nggak ikhlas banget dong?
“Hmm, gimana ya.” Gumaku penuh
perhitungan.
Bagas tampak ketar-ketir menunggu
jawabanku. Bisa kubayangkan gimana ekspresi Bagas saat aku menerima maupun
menolak tawarannya ini.
“Hm..”
“Ndai, mau ya?”
“Tapi elo yang traktir kan?”
Bagas mengangguk-angguk sambil
tertawa lebar, “Kalo itu sih, serahin aja sama gue! Gampang deh!” ucapnya begitu bangga. Aku
mengernyit. Yakin banget anak ini, dia bisa bayarin aku nonton? Bukannya aku
meremehkan ‘kemampuan’ orangtua Bagas, ataupun orangnya sendiri, Bagas. Aku malah udah lengket banget sama
keluarga dia. Sangking akrabnya, aku sampe tahu kalau Bagas dikasih uang
jajannya buat bulanan dan itu pas-pasan banget lantaran anak itu boros.
Hiihihihi.. biar mampus lo gue
kerjain! Kataku dalam hati.
“Nggg, boleh deh,” jawabku dengan
sedikit ragu.
“YES!” Bagas melompat-lompat
sejenak. Setelah sadar, kalau dia udah jadi pusat perhatian beberapa anak yang
lewat, barulah cowok itu menyodorkan tangannya padaku, “Mana bukunya? Sini,
sini,” tagihnya begitu bersemangat sambil mengayun-ayunkan tepalapak tangannya didepanku.
Dengan berat hati, aku membuka tas
ku secara perlaha, lalu mengambil buku bersampul batik yang bertuliskan Pr Fisika
di tumpukkan-tumpukkan buku bersampul batik lainnya yang ada didalam tas biru muda-ku.
“Makasih banget ya Ndai! Lo emang
my everything banget deeeh!!” Bagas menerima bukuku dengan mata yang berbinar, menandakan bahwa dia benar-benar antusias.
“Tapi nontonnya jadi kan?” tanyaku
penuh selidik. Anak ini, kalau nggak diingetin, semuanya bakalan lupa. Tau deh
kenapa. Padahal dia masih SMA. Apa mungkin dia punya penyakit gegar otak selama ini? Tapi kenapa aku nggak tahu ya? Maksudku, biasanya Bunda Bagas selalu cerita apapun tentang anak bungsunya itu padaku. Ah! Tapi nggak mungkin banget kan? iya, nggak mungkin. Anggap saja aku sedang berhalusinasi dan akhirnya ngigauisasi, hehehe.
“Gue jemput lo jam 7 malem ya
Ndai! Goodbye my Guardian Angel!!”
seru Bagas, tanpa sadar bahwa sedang banyak mata yang tadi mengintip
pembicaraan kami dan banyak kuping juga yang menyadapnya! Aku hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal sambil
berusaha bersifat sewajar mungkin dan tebar pesona sambil Cengengesan. Tapi sepertinya
cengengesanku barusan nggak semanis yang aku bayangkan, karena sekarang sudah
tidak sedikit lagi mereka yang menatapku tidak suka. Oh tidak! Ini gawat!!
Bagas sialan!!
Apa dia lupa kalo dia itu populer dan (walaupun aku enggan mengucapkannya) banyak fans-nya?! Oh dia bukan cuma populer! Tapi populer bangeeetzzz! Pake triple z biar makin hits! Argh!!
Apa dia lupa kalo dia itu populer dan (walaupun aku enggan mengucapkannya) banyak fans-nya?! Oh dia bukan cuma populer! Tapi populer bangeeetzzz! Pake triple z biar makin hits! Argh!!
Hello! Jumpa lagi dengan penulis amatir yang hobi ngaret dan ceritanya nggak pernah end! Hehehehe. Kali ini saya cuma mau post sesuatu aja kok. Iya, 'sesuatu' yang nggak tau apa namanya._l ini entah apa ya. Jadi bagi yang baca, jangan minta kelanjutan wkakakaak soalnya saya cuma ngetik ini pas lagi iseng aja eheheh. Yasudahlah. Enjoy with my blog aja yaaa guys! Bye!
Sweetheart,
Bagas, Cindai, dan @artsita_
Komentar
Posting Komentar