The Abnormal Boy!
Hati-hati loh. Benci bisa jadi suka
dalam sekejap.
***
Tidak ada yang lebih buruk lagi
daripada harus sekelas dengan makhluk super abnormal seperti Rama. Cowok itu
ganteng, kalau saja dia tidak pernah mengambil isi kotak pensilku dengan kaki.
Cowok itu keren, kalau saja dia tidak pernah mengeluarkan kata-kata paling
menjijikkan yang enggan sekali kudengar. Tapi sayang, ganteng dan keren adalah
kata-kata terakhir yang (tidak) ingin kuucapkan padanya (meski) menjelang
ajalku tiba.
Singkat kata, cowok itu cukup beken,
kalau saja dia tidak sedang bersamaku!
Oke, kesannya aku terlalu benci pada
anak laki-laki itu. Tapi ini memang benar. Aku sebal setengah mati saat tau
namanya terpampang manis di list
kelasku.
Pagi ini, aku berangkat dengan penuh
perasaan bangga. Aku yakin (sekali) kalau cowok itu tidak akan menampakkan
batang hidungnya di jam segini. Setengah tujuh masih terlalu pagi untuk ukuran
anak nakal seperti Rama.
Hari ini hari kamis. Dimana pelajaran
matematika menjadi sarapan untukku dan teman-teman sekelasku. Aku suka
matematika, sebagaimana aku menyukai suasana pagi ini yang terasa sangat sejuk.
Aku tersenyum seraya mengangkat daguku. Ide datang-subuh-sebelum-ayam-berkokok
memang ide paling brilian yang pernah kucetuskan untuk menghindari si Jelek
itu.
Dengan penuh rasa percaya diri, aku
melangkahkan kaki kananku kedalam kelas dengan anggun dan sedikit bergaya.
Tidak pernah aku merasa sebahagia ini. Rasa-rasanya, hidupku akan lebih damai
lagi seandainya makhluk aneh itu tidak pernah ada.
“Pagi, Gita.”
Oke, aku tau ini hanya halusinasiku
saja. Mungkin aku terlalu benci pada makhluk yang bernama Rama itu,
sampai-sampai aku mendapatkan mimpi buruk, dengan
dia-menyapaku-dengan-nada-amat-sangat-manis-pagi-pagi-begini. Aku memejamkan
mata sambil menggeleng-geleng elegan. Mustahil si sialan itu ada disini.
“Kayaknya lo lagi banyak pikiran ya.”
Untuk yang kedua kalinya, aku
meyakinkan hatiku, kalau suara berat nan serak itu bukanlah suara Rama, cowok
super menyebalkan, yang sialnya adalah teman sekelasku. Aku lebih memilih
bertemu hantu (yaah, kalau hantunya nggak seram-seram amat sih) daripada harus
bertemu dengan anak itu. I’m swear!
“Tenang Git, itu Cuma halusinasi lo aja
kok.” Sugestiku pada diriku sendiri. Aku membuka mata dan memandang sekeliling
kelas. “Tuh kan bener! Lo Cuma berkhayal!” ucapku penuh rasa syukur, dan tentu
saja dibarengi dengan terkekeh pelan, saat tidak mendapati seorang manusia pun
berada di dalam kelas. Tentu saja, kecuali aku.
“Wah, segitu pentingnya gue buat lo,
sampe-sampe lo harus berkhayal tentang gue?”
Demi apapun yang ada didunia ini, aku
bisa merasakan bulu romaku sekarang meremang. Suara itu, entah kenapa sekarang
terasa lebih dekat daripada yang tadi. Aku merasakan aura-aura horror saat
memutuskan untuk berbalik badan. Dan... gotcha!
Rama-si-cowok-sialan sudah berdiri dengan gaya super tengilnya tepat didepan
hidungku.
“Lo?” Aku tau ini konyol. Tapi serius.
Aku benarbenar tidak bisa... “Ngapain lo disini?!” Well, ternyata aku salah. Dalam kondisi apapun (termasuk dalam
kondisi syock berat seperti sekarang), aku selalu bisa marah, kalau saja yang
kuhadapi adalah musuh besarku.
Rama menautkan kedua alisnya. Ekspresi
yang sebenarnya cakep (aku bersumpah, aku benar-benar geli mendengar kata cakep
keluar dari bibirku, saat aku sedang mendeskripsikan si-cowok-sialan-ini) untuk
para wanita yang memuji cowok itu. Tapi bagiku, ekspresi itu benar-benar
menjijikkan. Terkesan sok imut. Padahal, hiiih amit-amit deh.
“Lah, ini kan sekolah gue? Wajar dong
gue ada disini?” Dia berkata seraya menerobos masuk.
“Maksud gue, kenapa lo dateng pagi?!”
Cowok itu meletakkan ranselnya di meja
bagian pojok. Lalu menatapku dengan ekspresi malas. “Ya suka-suka gue lah. Yang
sekolah gue ini.”
“What
the.. aaaaaa! Kenapa lo selalu ganggu hidup gue sih?!”
***
Pagi yang benar-benar tidak
menyenangkan. Berkali-kali aku membolak-balik novel yang sengaja kubawa dari
rumah untuk membunuh waktuku yang tersisa sebelum bel masuk berbunyi, dan
berkali-kali pula aku mencoba berkonsentrasi, tapi sayang, konsentrasiku tidak
bisa menyatu sama sekali.
Dan penyebab kacaunya konsentrasiku
adalah, suara jelek yang ditimbulkan si-cowok-aneh yang sekarang sedang
memejamkan matanya seraya menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi kayu. Aku
menatapnya sengit. Benar-benar berharap cowok itu akan segera menghentikan acara
konser mendadaknya yang nggak banget itu.
“Kalo nggak bisa nyanyi, diam aja deh!”
sahutku dari bangku nun jauh dari tempat si-cowok-aneh berada.
“Nikmati ajalah suara gue. Gini-gini
gue ganteng lho,” Jawaban yang benar-benar tidak nyambung, dan yang lebihnya
lagi, tidak bermutu. Apa hubungannya suara jelek dan tempang ganteng? Dasar
gila.
“Terserah.” Aku kembali tenggelam dalam
novelku, hingga akhirnya kelas mulai terisi sedikit-demi sedikit, membuatku
terpaksa mengangkat kepala dan menutup novel. Semoga saja hari ini tidak sesial
hari sebelumnya. Semoga.
----
Pelajaran matematika dan Bahasa
Indonesia berlalu begitu cepat. Aku merenggangkan otot-ototku dengan melakukan
gerakkan-gerakkan senam kecil. Aku senang melakukannya. Bukan berarti aku genit
loh ya. Tapi asli deh, badanku bener-bener pegal.
Baru saja aku ingin beranjak pergi
untuk mengisi perut, bel masuk sudah keburu berbunyi. Jam terakhir adalah pertanian.
Dengan amat sangat terpaksa, aku duduk kembali.
“Sekarang semuanya kebelakang ya. Kita
akan membersihkan rumput liar yang mengganggu pertumbuhan tumbuhan obat-obatan
kita.” Koar guru pertanianku dengan nada super lembutnya yang biasa.
Anggap aku aneh. Tapi ini benar-benar
nyata. Aku suka bermain tanah. Aku suka menanam (Yaaah, walaupun ‘menanam’ yang
kumaksud adalah mengorek-ngorek tanah untuk mencari cacing), aku suka menyiram
bunga, aku suka memberi pupuk bunga, aku suka.. AH! Intinya aku suka kegiatan
bertani seperti ini. Tentu saja, karna aku bukanlah anak manja yang takut
cacing.
Sedang asyik-asyiknya mengorek tanah
dengan sabit yang kurebut paksa dari Ari-si-cowok-culun, teriakkan yang bisa
merusak gendang telinga langsung tertangkap indraku. Aku menoleh, dan mendapati
Cecil-si-cewek-super-imut-yang-manjanya-pake-banget sedang menyembunyikan
kepalanya dibalik bahu Rama dengan mesra.
Aku melongo. Dan detik berikutnya, aku
sudah mendapati diriku berdiri tepat didepan mereka berdua. Aku menatap lekat
binatang yang kini tengah menggeliat-geliat heboh di diatas buah jambu yang
gede banget. Binatang apa ini? Selama petualanganku bertani (oke, aku terlalu
berlebihan) disekolah ini, aku belum pernah melihatnya. Binatang jenis apakah
si hijau ini?
“Yaampun Cil, ini Cuma ulat daun biasa
kok.” Rama berusaha keras menjauhkan kepala Cecil yang dengan tidak tahu dirinya
malah menempel dibahu penuh tulang cowok itu.
Yaaaiiks. Benar-benar adegan yang tidak
patut dipertontonkan.
Eh, by
the way, tadi, si-cowok-aneh bilang, ini ulat daun? Ah, masa sih? Kok aku
nggak percaya ya? Maksudku, Hello!! ulat ini tidak sedang nangkring di daun,
melainkan di buah jambu biji yang sudah tumbuh sehat dan gede banget.
“Ini ulat buah kali.” Sahutku
tiba-tiba. Semua orang menoleh, ah bukan, maksudku hanya Cecil dan
si-cowok-aneh saja yang benar-benar menatapku dengan tatapan aneh.
“Ulat buah?” Rama menaikkan kedua
alisnya tinggi-tinggi. Sumpah! Tampang cowok itu bahkan lebih tengil lagi dari
yang sebelum sebelumnya. “Emang ada?” lanjutnya keji.
Sebelum benar-benar menjawab pertanyaan
Rama, (yang ngomong-ngomong berhasil membuatku keder kalau saja tau ulat buah
itu tidak pernah ada) aku berfikir sejenak. Dulu, waktu usiaku masih sekitar 5
tahun, aku belajar banyak dari buku yang disediakan di paudku. Tentu saja, itu
buku tentang pengetahuan binatang.
Setelah benar-benar yakin kalau ulat
buah itu ada dalam salah satu buku paudku, aku menatap si-cowok-aneh dengan
menantang plus senyum miring. Yah, sesekali lah, bersikap sombong dengan anak
ini. “Ada dong. Lo aja yang kudet. Pernah TK nggak sih?” Oke, aku tau ini
benar-benar diluar jalur. Tapi, siapa yang peduli sih?
Rama menatapku lamat-lamat, hinggak tak
lama kemudian tawa cowok itu meledak. Tentu saja saling beriringan dengan tawa
(sok) kalem Cecil. Aku menatap kedua manusia itu dengan sengit.
Berani-beraninya mereka..
“Kenapa lo ketawa Cil?” Tanya Rama
judes. Well, aku tau satu hal lagi sekarang. Cowok itu memang terlahir untuk
bermuka masam selamanya. Sumpah. Mukanya jelek banget. Atau emang daasarnya
jelek? Entahlah. Aku terlalu banyak urusan hingga tak benar-benar sempat
memperhatikannya.
Cecil menatap Rama sambil
berkedip-kedip bingung. Aku janji akan segera men-sterilkan mataku setelah
melihat adegan sok romantic ini. “Emang kenapa? Gita lucu kan?” ucapnya polos.
Toeeeeng!
Aku menepuk dahiku kuat-kuat.. oh,
tidak-tidak. Aku hanya menempelkan jari telunjukku saja. Itupun dengan gerakkan
super lambat yang pernah kulakukan. Sayang dong, dahiku yang super-mulus-tanpa-jerawat
ini dipukul keras-keras Cuma untuk lolucon seorang Cecil. Ya kan?
Daripada harus menyaksikan dua sejoli
yang-sibuk-dengan-kelucuanku itu, aku lebih memilih untuk hengkang dengan suka
rela, dan segera bergabung dengan Ari, yang langsung ngibrit begitu suara
langkahku terdengar. Sebegitu ngerinya kah, aku?
***
“Pagi Gindut.”
Aku merasa kupingku langsung panas saat
suara serak-serak basah yang sangat tidak seksi menyapaku dengan nama yang amat
sangat aneh. Aku menoleh, dan benar saja. Sekarang Rama sudah berjalan
melewatiku sambil memukul kepalaku dengan LKS Ekonominya.
“Heh! Kurang ajar!”
“Pagi-pagi nggak boleh ngomong kasar
loh Git, ntar imut lo ilang,”
Kalau saja yang mengatakan itu barusan
seseorang (siapapun selain si-cowok-rese-Rama), tanpa babibu bebo lagi aku akan
segera terbang ke angkasa yang indah. Tapi sayang, acara terbang ke angkasa
yang indah harus batal karena sialnya, yang mengucapkan itu bukanlah orang
sejenis Park Jung Soo yang selama ini selalu aku mimpi-mimpikan.
Hal inilah yang pertama kali kukatakan
pada paragraf awal. Cowok ini memang (akan) benar-benar keren kalau saja dia
tidak menyebutkan kalimat-kalimat manis (yang malah terdengar pait kalau dia
yang mengucapkannya padaku) dengan muka datar jeleknya itu padaku.
“JIJIK!”
Sudah kuputuskan. Aku lebih baik datang
siang, kalau perlu satu detik sebelum bel masuk, dan pulang satu detik setelah
bel berbunyi, hingga cowok itu tidak akan
pernah bisa lagi mengusik hidupku.
***
Aku benar-benar menjalankan misiku demi
bisa menghindari cowok Bengal itu. Yah, walaupun tidak benar-benar 1 detik
sebelum dan setelah bel berbunyi. Tapi nyatanya apa? Oh, tidak. Usahaku tidak
gagal. Malah, ini bisa dibilang lebih dari berhasil. Tapi, apa gunanya datang
siang pulang riang, kalau aku tetap satu ruangan dengannya? Aku bahkan tidak
bisa berfikir jernih saat bibir mungil Ibu Rina menyebutkan nama Rama dalam
daftar kelompokku.
Hari ini adalah pembagian kelompok
pembuatan makalah PKN.
Tidak ada yang lebih buruk lagi
daripada mimpi buruk hari ini.
“Jodoh pasti bertemuuu~~”
Aku merasakan kepalaku akan segera
meledak kalau saja Zahra –teman satu kelompokku—dengan sigap menyiramkan air
mineralnya keatas kepalaku. Tidak, tidak. Aku terlalu berlebihan.
Kalian tau sebait lagu itu? Ya, lagu
Afgan yang membuatku terharu kalau saja yang menyanyikan itu si Afgan nya
beneran. Tapi ini... Dia musuhku! Baik dalam bidang peringkat kelas, perangkat
kelas, atau lain-lain (sampai urusan paling kecil sekalipun. Ulat buah
misalnya?)
“Dasar gila! Ceking! Kurus!”
Rama mengangkat sebelah alisnya sambil
menatapku, seolah-oleh berkata lo-baik-baik-aja-kan?-udah-minum-obat-belum? Cih
berani juga dia rupanya.
“Awas aja lo ya!!!”
***
Hari ini sudah cukup buruk dengan
kenyataan bahwa aku satu kelompok dengan musuh abadiku, si-cowok-jelek, Rama. Tapi
sepertinya anak itu tidak benar-benar bisa berhenti mengganggu kehidupanku. Sekarang,
aku sedang menunggu angkot yang sedikit belih lapang saat sebuah tepukan halus
dikepala membuatku menoleh.
Wajah yang pertama kali kulihat saat
aku mendongak adalah wajah terakhir yang ingin kulihat. Siapa lagi kalau bukan
RAMA?! Aku kadang berfikir, jangan-jangan anak ini terlahir sebagai virus. Bisa
saja kan? yayaya, aku tahu aku terlalu banyak berkhayal.
“Ngapain sih!”
“Dih. Sewot amat. Nih, gue dititipin
novel sama temen lo.”
Aku menerima Novel edisi terbaru dari
tangan si-cowok-rese dengan bahagia. Novel ini.. sudah lama sekali aku ingin
membacanya.
“Nggak gratis loh Git.”
“Hah?!!”
“Novelnya nggak gratis. Maksud gue, gue
rela mengorbankan angkot gue Cuma buat ngasih novel memble gini sama lo, jadi
lo harus traktir gue,” ucapan tidak tahu diri apalagi ini?!
Aku menoleh sambil tersenyum lebar. “Traktir
ya Ram?”
“Heeh.” Jawabnya penuh senyum. Aku merogoh
tasku dan.. Taraaa!
“Nih.” Aku menyerahkan uang 500 rupiah
ditangan besar cowok itu, dan buru-buru ngibrit kea rah angkot yang sudah dari
1menit lalu ngetam. “Thanks banget
loh Ram, udah rela ngorbanin angkot lo Cuma buat ngasih novel ini ke gue. Lo ganteng
deh! HAHAHAH.” Teriakku penuh rasa menang saat mendapati muka masamnya kembali
tercipta.
Kurasa fikiranku memang ada benarnya. Cowok
itu memang ditakdirkan untuk bermuka masam.
“Rama pacar lo ya?”
Aku menoleh secepat kilat kearah sumber
suara, “Wah! Bukan-bukan!”
“Iya juga nggak papa sih. Kalian cocok.”
Dan untuk kesekian kalinya dihari yang
sama, aku berhasil melongo maksimal. Kenyataan didunia ini memang benar-benar
pait ya?
Semuanya masih sama. Aku dan Rama masih
terus beradu argument baik dalam pelajaran maupun tidak dalam pelajaran. Dan semua
masih tetap sama. Rama masih terus mengata-ngataiku Gindut (Gita Gendut) yang
katanya adalah panggilan sayang. Oh yaampun! Aku bahkan tidak pernah mau
memiliki kata sayang apapun darinya.
Bisa dibilang hari ini adalah klimaks
dari semuanya.
Akan ku uraikan satu-satu.
Pertama, pagi-pagi sekali di hari Rabu
yang sial, seperti biasa, aku datang agak terlambat demi menghindari serangan
aneh dari si-cowok-abnormal. Tapi sepertinya aku sedang sial, karena pembagian
tempat duduk dikelasku acak, sesuai kedatangan. Maksudku, siapa yang datang
lebih dulu, akan mendapatkan banyak pilihan tempat duduk, begitupun sebaliknya.
Dan aku benar-benar sial karena harus
sebangku dengan makhluk paling abnormal yang pernah kutemui. Seakan penderitaanku
belum cukup, tempat dudukku yang biasanya selalu ditengah, sekarang harus putar
stir menjadi dipojok kelas yang merupakan sarang penyamun.
Kedua, seusai pelajaran Biologi yang
amat memusingkan, tiba-tiba saja Rama mengetuk kepalaku dengan pensil, dan
memberiku secarik kertas yang berisi coret-coretan rumput. Aku menatapnya lama
sekali, sampai akhirnya menyerah.
“Ini apa sih?” tanyaku sambil memijit
dahiku yang berdenyut.
Suara grabak-grubuk langsung terdengar.
“Apaan sih, apaan?”
Makhluk-makhluk kepo mulai bertebaran
di antara meja kami. “Wah! Ini sih sandi rumput!” seru seseorang yang langsung
membuat seluruh fokus tercurah padanya. Termasuk Rama yang sekarang sudah
harap-harap cemas.
“Sandi rumput apaan Gar?”
“Bentar.Bentar. Gue uraikan dulu.”
Tegar langsung dengan sigap menguraikan rumput demi rumput menjadi sebuah
huruf. Dan saat itulah, aku merasakan atmosfer aneh mulai menyebar.
I WANT YOU.
Tepat saat tegar menuliskan huruf
terakhir, aku merasakan kepalaku berputar.
Ketiga, sekaligus terakhir. Kuharap sih
terakhir.
Aku masih berdiri dengan kedua tangan
memeluk buku-buku cetak yang supeeeeeeer berat, ketika pandanganku menghitam
akibat punggung lebar seorang cowok jangkung yang berdiri tepat didepanku.
Aku mendengus kasar saat melihat sepatu
anak laki-laki itu. Sudah bisa di[astikan, sosok jangkung ini benar-benar Rama.
“Ck! Ngapain sih?!” Aku menarik jaket
si-cowok-abnormal dengan paksa dan sepenuh tenaga. Tapi sial, cowok itu tidak
bergeser barang sesenti pun. Kuakui sih, walaupun kurus, Rama kan tetap
laki-laki.
“Git, yang tadi itu, gue serius.”
Untuk yang ke—entahlah, aku sampai
bingung sudah berapa kali dalam sehari ini—kepalaku berdenyut. Sekarang, Rama
sudah berdiri tegak didepan batang hidungku. Ups. Sorry, aku lupa kalau
sebenarnya batang hidungku tidak benar-benar ada. HAHAHA.
Butuh waktu sekitar beberapa detik
sebelum akhirnya aku kembali mengedip. “Gimana bisa?”
Rama mengangkat bahunya acuh. “Semua
datang karna terbiasa kan?”
Aku termangu. Apa benar yang dikatakan
orang-orang kebanyakan? Benci itu bisa berubah menjadi cinta kalau dalam kadar
yang sudah melebihi batas? Tapi.. aku kan tidak membencinya hingga kelewat
batas.... yah, walaupun aku memang membenci Rama sih.
Aku benar-benar tidak bisa mencerna
apapun lagi saat Rama menarik paksa buku cetak yang sedar tadi kupeluk, dan
menyerahkannya langsung kepada Bima –teman sepermainannya yang entah sejak
kapan ada disitu—dan diterima dengan baik oleh anak laki-laki berbadan tinggi
besar itu.
Rama mengangkat kedua tanganku keudara,
dan menggenggamnya lembut. “Git, gue serius.” Cowok itu tampak menelan ludahnya
sejenak sebelum melanjutkan. “I’m
seriously. I want you....”
Rasanya kejadian ini benar-benar mimpi.
Kenapa Rama sekarang terlihat lebih... ganteng dengan dasi yang berkibar karena
angin-angin siang yang nakal? Atau aku hanya berhalusinasi saja?
“I
Want you Git...” cowok itu masih mengucapkannya. Membuat jantungku langsung
berdegup luar biasa kencang.
“I
Want You To be my Bodyguard!”
Baru saja aku ingin mengangguk, ketika
aku menyadari kata trerakhir yang diucapkan cowok itu. Aku menatapnya berang. Sayang,
cowok itu sudah lari tunggang langgang sambil tertawa setan. “HAHAHAHAHAHAH”
“Brengseeeeeek!!!!!!”
Kenapa aku bisa segini bodohnya? Anggap
apapun yang barusan ku katakana adalah halusinasi atau kalimat paling tidak
penting yang pernah kuucapkan. Aku tarik semua ucapan yang sudah kuutarakan
tadi. Aku khilaf, oke? Aku bersumpah, aku tidak akan pernah menganggap
cowok-super-duper-abnormal-seperti-rama ganteng! Tidak pernah! Never!
THE
END
Komentar
Posting Komentar