Best Friend [Cerpen]



Ciptakan sebuah lagu untukmu..
Sahabat yang slalu ada bersamaku..

Hah.. aku menghela nafas berat. Kembali aku pandangi figura kecil yang ada diatas mejaku. Rasa itu hadir lagi. Sebuah kerinduan yang luar biasa besar. Semuanya menguap begitu saja, saat kutatapi figura itu. Aku tidak berusaha menahannya, karena aku tidak ingin terlarut dalam kesedihan yang berkepanjangan.

Kupetik senar-senar gitarku tanpa arah. Entahlah. Aku sedang dilanda galau saat ini.

Bayangkan saja, aku sudah menunggunya bertahun-tahun. Mencoba mempercayai perjanjian bodoh yang dibuat dua anak manusia disaat masa-masa labil. Jujur, aku mulai gelisah dan pesimis. Kapan dia datang? Kapan sahabat lamaku kembali?

Andai dia tahu aku selalu menunggunya. Menanti tanpa perduli senja yang sudah menyapa. Yah.. andai.

Aku mulai memetik gitarku. Mengumandangkan intro lagu ciptaanku. Terkhusus untuknya. Sahabat sejatiku, yang selama ini aku tunggu-tunggu.

Setiap waktu memikirkanmu..
Kukatakan, pada bayangmu..
Sampai kapan kuharus menunggumu..

Memang, selama aku menunggunya kembali, iseng-iseng aku menciptakan beberapa bait lagu yang menurutku pas sekali untuk aku persembahkan padanya. Aku berjanji, jika dia kembali suatu saat nanti, aku akan menunjukkan pada si gembul itu, kalau aku adalah calon musisi hebat.

Walau kini kita tlah terpisah jauh..
Antara ruang dan waktu..
Membuatku smakin tak menentu..

Aku dan Sivia. Kami memang berbeda. Dari segi fisik, kesukaan, bahkan hobi. Eh, apa hobi dan kesukaan itu sama? Yah itulah pokoknya.  Bagaimana kami bisa bersahabat? Entahlah. Sikap cablaknya itu membuatku nyaman –walau pada awalnya aku risih-- . Aku tidak pernah marah kalau dia mengataiku ‘ayam’. Aku menyayanginya. Semua yang ada didirinya.

Sekarang, aku hanya bisa menaatap figura foto itu, sambil memetik gitarku asal berkali-kali. Aku dan dia sudah terpisah jauh. Terpisah antara ruang dan waktu yang berbeda. Menanti keajaiban yang bisa membawaku bertemu kembali padanya. Aku ingat, Sivia pergi tanpa pamit denganku. Meninggalkan aku yang masih terlelap dalam mimpi konyolku.

Dulu, aku memang benci pada gadis gembul itu, karna sudah meninggalkanku tanpa perasaan. Tapi akhirnya, aku sadar. Dia meninggalkanku bukan karena keinginan sendiri. Gadis –yang dengan sedikit terpaksa aku akui- cantik itu meninggalkanku dengan tujuan mulianya. Menjadi seorang dokter sukses. Dan kalian tahu?

Dia hanya mengirim sepucuk surat saat hari itu. Kira-kira isinya begini :

Hy Baby sweetie chicken (?).
Gue pamit ya. Mau pergi jaaauuuh banget. Gue pengen shopping Fy.
Muehehe. Ah elo sih, kebo banget jadi orang. Kan gue nggak sempat pamit sama lo. Padahal gue udah bela-belain bangun pagi Cuma buat lo. Payah lo yam.
Etapi, don’t worry girl, gue bakal balik lagi kok beberapa tahun kedepan.
Lo jangan selingkuh yah. Muah!

With love,

Sivia Aziza

Yah, begitulah isi surat sahabat ku. Benar-benar tidak ada kesan haru biru. Aku akui, dia memang tidak pandai menulis kalimat-kalimat romantis yang bisa membuat siapapun terharu. Dia hanya sivia. Sivianya aku. Sivianya Ify.

Dan hanya dengan sivia yang seperti itu, aku bisa menerimanya sebagai sahabatku. Lelah rasanya menunggu. Saat ingin mundur, dan mencoba membuka hati untuk sahabat baru, selalu ada bisikan setan yang mengatakan kalau dia akan segera kembali.

Hah. Entahlah.

Semoga aku bisa tahan dengan penantian tak berujung ini. aku merindukanmu sahabatku.

Mengenang masa indah bersama denganmu..
Hal itu slalu ada di dalam memoriku..
Mengukir kenangan lalu, dan dapat kembali..

*****

Pagi-pagi sekali, aku sudah siap dengan seragam dan perlengkapan sekolahku. Hari ini aku kebagian jadwal piket. Dengan langkah yang seperti dikejar makhluk luar angkasa, aku berpamitan pada mama dan papa, dan segera meluncur dengan sepeda kesayanganku.

Aku tidak pernah menyangka kalau jalanan sepagi ini sudah macet. Ternyata bukan hanya populasi motor dan mobil yang bertambah. Bahkan sepeda pun sudah menumpuk di ibu kota ini. aku mendesah keras. Kalau begini terus, bisa-bisa aku telat.

Dibekali dengan semangat berkobar, aku mulai menyusup kesana kemari. Hingga..

BUK!

Oh may...
Apa lagi ini. Aku sudah hamper telat, dan sekarang, sepedaku pakai acara jatuh segala?! Okesip! Lengkap sudah hidupku.

“eh, jalannya santai dong. Buru-buru amat sih lo.”

Aku menoleh. Menatap gadis –yang entah si penabrak atau yang tertabrak- dengan tatapan kesal. Tanpa menjawab, aku kembali menegakkan sepedaku dan mulai mengayuh lagi. Dari ujung mata bisa kulihat, dia tampak sangat kesal.

Tapi siapa peduli? Aku sudah telat sampai disekolah. Dan gadis itu tidak akan bisa menjamin apapun kalau saja aku melayaninya.

Lima belas menit kemudian...

Aku memarkirkan sepeda biru mudaku dibawah pohon favourite ku. Tempat yang hanya boleh aku untuk menempatinya. Tapi.............  satu sepeda dengan warna pink norak mengganggu mataku. Dan parahnya lagi,  sepeda itu terparkir tepat disebelah tempat favourite ku. Sial! Tapi tunggu,  Sepertinya aku kenal.

Tapi buru-buru aku menggelengkan kepala, dan melenggang menuju kelas. Sepertinya piket hari ini cukup menyapu dari depan ke belakangs saja.

Sampai dikelas, aku segera mengerjakan kewajibanku melaksanakan piket. Tapi siapa sangka kelas ku sudah bersih dalam waktu sekejap? Yah, aku bersyukur karena masih ada waktu untuk bersantai. Aku  kembali duduk di kursi keramatku,  mengeluarkan novel seri terbaru dari ransel, dan mulai asyik membacanya.

Kelas tampak bertambah ramai. Aku mendongak  menatap pintu masuk. Dan saat itulah mataku bertemu dengan mata si gadis gembul –setidaknya itu panggilanku untuk cewek aneh itu—  itu melambaikan tangan kearahku dengan senyum  merekah indah diwajah putihnya.

Kedua alisku bertaut. Tapi sedetik kemudian aku mengangkat bahu dan mencoba untuk focus kembali dan  tidak perduli  lagi dengan gadis berambut panjang itu.

Saat mendengar tarikkan kursi, aku mendongak dan menatap –oh yeah- gadis itu lagi. Dengan malas, aku memutar kedua bola mataku dan mulai kembali sibuk dengan duniaku sendiri.

Gadis itu tampak penasaran dengan apa yang aku baca. Dia mulai menginti apa yang sedang aku kerjakan. “baca apaan sih?”

“penting buat lo tau?!” jawabku jengkel.

“ya nggak sih.. tapi kayaknya ada yang salah sama lo.”

“nggak usah difikirin.”

Aku bangkit. Berniat ingin membeli minum  dikantin. Sekalian meninggalkan gadis sok akrab ini dimejaku. Tapi satu tangan mencekal pergelangan tangan kananku.

“mau apasih?!” tanyaku to the point.

Anak itu Cuma cengengesan nggak jelas. Oke. Apa itu sopan? Entahlah. Aku hanya menghela nafas malas. Apa dia tidak tahu siapa aku? ify Alyssa yang tidak punya teman disekolah ini. Aku menutup diriku.. aku tidak percaya dengan yang namanya ‘teman’ . menurutku mereka sama saja. Kumpulan munafikers yang  berbeda spesies, tapi tetap satu jenis.

Spesies yang kumaksud disini adalah,

1.       Spesies teman yang baik. Baik banget kalau lagi ada didepan temannya. Tapi dibelakang? Dia menjelek-jelekkan temannya sendiri!
2.       Spesies yang jahat. Ini mending. Kalau dia jahat, jelas dia akan menjebak temannya sendiri ke dunia-dunia terlarang. Tanpa harus menjelek-jelekkannya di belakang. Dan tentu saja dengan cara yang ‘halus’
3.       Dan yang terakhir. Ini mungkin sama dengan istilah, Srigala berbulu domba. Depannya sih baik. Tapi belakang? Wah, bisa jadi boomerang tuh. Haha
4.       Dan yang terakhir, ini tipe yang menurutku paling norak. Cuma baik kalau lagi butuh dan ada maunya. Iuh. Menjijikkan sekali.

It’s okay. Forget that and back to story.

Anak itu memandangku degan tatapan yang sulit untuk aku artikan. Tanpa fikir lagi, aku langsung menghentak tangannya dan melepaskan pergelangan tanganku. Tampaknya anak itu kaget. Walau hanya sekilas.

Aku mulai berjalan cepat tanpa memperdulikan anak itu lagi. Tapi dia terus mengikutiku.

“apa-apaan sih lo?!” bentakku kasar.

Sebenarnya aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya ingin sendiri. Tanpa teman, tanpa tempat berbagi, dan tanpa siapapun. Yah.. itulah aku.

“gue boleh jadi temen lo?”

Aku mendengus. Ini sudah sangat sering terjadi. Berbagai kalangan orang munafik mendatangiku dengan satu pertanyaan yang sama. Yah.. seperti barusan. Aku sadar, mereka hanya penasaran dengan sikapku. Apa kalian tidak pernah membaca novel-novel sebelumnya?

Orang yang diam dan dingin itu memiliki 2 kemungkinan besar dalam hidupnya. Dikerubungi orang-orang munafik yang kepo akan kehidupannya, atau dijauhi, dibenci, dan dicemooh orang karena dianggap sombong. Aku paham betul dengan semua ini.

Jadi, aku hanya menjawab, “nggak usah kalo lo masih pengen bahagia.” Kataku malas. Aku mulai menjalankan kakiku kearah kantin. Namun sebelum menghilang, dia memanggilku  lagi.

“gue bahagia sama lo kok fy.”

Oh my!!!
Ahahahah. Siapa yang percaya pada seorang penipu seperti kalian?! Aku muak.

“gue nggak Tanya!”

Sejak saat itu, anak dengan pipi chubby bernama Sivia itu  –yang akhir-akhir ini namanya kudengar dari ketua kelas kami- , itu terus menempeliku. Aku risih sekali menjadi pusat perhatian. Aah. Aku bukan tipe orang yang haus pujian. Ingin rasanya aku mencepak gadis sok seperti dia.

“eh.. mau pesan apa Fy?” tanyanya. Aku tidak membalas, dan hanya menatapnya dengan tampang datar. Sebenarnya apa mau anak ini?

“gue nggak lapar.”

Alis tebal milik Sivia tampak terangkat. Namun sedetik kemudian muka –ehem- sok malaikatnya itu muncul. Tanpa merasa bersalah dan tanpa rasa takut, dia menyeretku pergi dari kantin. Aku hanya menurut. Walaupun kesal, aku jug apenasaran. Kemana dia akan membawaku.

Kami sampai disini. Didepan pintu coklat yang berdiri kokoh. Setahuku, ini ruang music sekolahan. Tapi, untuk apa sivia mengajakku kemari. Aku mengangkat bahu malas. Entahlah.

Dengan perlahan, tangan sivia bergerak untuk membuka knop pintu. Disana tidak ada siapapun. Dia menatapku sambil tersenyum, dan kemudian mengangguk. aku masih memasang muka datar tanpa ekspresi dihadapan sivia.

Sivia duduk disudut panggung kecil –yang hanya ditambah dengan beberapa kayu panjang untuk membuatnya tinggi—dan mulai memetik gitar –yang sekarang sudah ada dipangkuannya--.

Aku bernyanyi untuk sahabat..
Aku berbagi untuk sahabat..
Kita bisa, jika bersama..

Kupercayakan, langkah bersamamu..
Tak kuragukan, berbagi denganmu..

Oh my dear..
Aku baru tahu, kalau sivia memounyai suara sebersih ini. suaranya membuat bulu kudukku meremang. Benar-benar keren.

Selesai bernyanyi, cewek itu menghampiriku dengan seulas senyum. “ayo main!”

Aku melongo. Main? Dia kira aku bisa bermain alat music? Cih.

“gue nggak bisa main alat music.”

Sivia hanya tersenyum menatapku. Seolah dia tahu kalau aku sedang berbohong padanya. “nggak usah rendah hati. Lo hebat kok.”

“sotoy banget sih lo?!” bentakku penuh emosi. Aku sudah tidak tahan dengan sikap sok baiknya ini. kenapa aku bisa yakin kalau sifat nya itu ‘sok’ baik ? karena aku, Alyssa saufika umari, membenci yang namanya teman. Semuanya munafik!

“lo nggak inget siapa gue?” tanyanya misterius. Aku hanya mengangkat satu sudut bibirku sambil mencibir. “gue nggak inget apa-apa. Dan gue nggak tahu lo siapa!”

Siva mengangguk dan mulai memainkan  gitarnya tadi.

“you’re my best friends, you’re my best friends, karna hanya kita slama-lamanya.”

Apa...

Aku terpaku ditempatku. Menatap sivia dengan tatapan tidak percaya. Lagu ini. Lagu yang sering aku nyanyikan dengan teman kecilku. Tetangga baru yang berubah menjadi –seperti- saudaraku sendiri. Aku menyayanginya. Dia adikku. Sungguh! Aku benar-benar menyayanginya.

Tapi karena satu hal, aku jadi benci sahabat kecilku itu. Dia berkhianat. Dia lebih memilih Ashilla –teman satu sekolahnya—untuk menemaninya bermain boneka –atau apapun itu,  yang hamper setiap hari dilakukannya— dari pada aku. Aku marah, kesal, sedih, dan benci. Semuanya rasa itu bercampur aduk di hati Ify kecil –aku—.

Hingga akhirnya dia pindah ke Jerman, untuk ikut bersama kedua orang tuanya. Aku sudah tidak peduli lagi padanya. Ah, apa kalian tahu? Dia bahkan tidak ingin bertemu denganku untuk terakhir kalinya. Dia tidak berpamitan padaku!

Fine! Sejak saat itu, aku mulai menutup diri. Dan aku mulai belajar mandiri. Aku tidak butuh teman. Aku tidak butuh siapapun didekatku selain keluarga besarku. Dan saat itu pula, aku membenci yang namanya teman. I’m swear!

Sivia menatapku dengan sayu. Dibibirnya tersungging senyum miris yang sangat aku benci. Aku masih bergeming. Menatapnya dengan perasaan yang kini dilanda kegalauan. Logikaku berkata, kalau dia pantas menerima semua ini dariku. Tapi hatiku bilang, dia sangat rindu aku, begitupun aku. Aku menyayanginya.

“prok-prok-prok.” Aku bertepuk tangan dengan miris. Sivia hanya tersenyum tipis. Aku tahu, pasti dia paham apa yang sedang aku lakukan.

“buat apalagi lo kembali SIVIA AZIZAH?!” desisku dengan penuh penekanan. Asal dia tahu, aku sedang menahan airmataku sekarang. Sungguh, aku sangat rindu dengannya. Sahabat kecilku yang... Manis dan centil.

“lo salah paham fy.” Suaranya bergetar. Dan bener saja, anak itu sedang menangis. Aku menatapnya dengan senyum kecut.

“yah, Ify kecil memang terlalu bodoh untuk menganggap bahwa Ziah –panggilan kecil sivia- itu sahabatnya. Sahabat yang berarti segala-galanya untuk Ify kecil. HAHA miris!”

Tangis Sivia makin menjadi. Sekarang, bahunya sudah bergetar hebat didepanku. Aku daim. Sedikit tertegun dengan reaksi –setidaknya ini menurutku- penghianat itu. Sesaat dia menarik nafas dalam, menghembuskannya, dan mangangkat kepala untyuk menatapku.

Sial! Aku paling tidak bisa menatap matanya yang seperti itu. Tahan ify, dia penghianat! Lo harus inget!

Dai tersenyum manis menatapku. “lo salah paham. Shilla itu sepupu gue, bukan Cuma sekedar teman sekolah gue. Dia itu..”

“gue nggak mau tahu siapa Ashilla ashilla itu! Gue nggak mau dengar apapun!”

Dan.. oh dear.. aku menangis histeris sekarang. “puas lo?!”

Sivia menggeleng keras. Air matanya mulai mengalir lagi. “Dia kanker Fy. Mangkanya, gue harus jaga dia sebaik mungkin. Mamanya lagi pergi beberapa minggu itu. Cuma gue temen dia Fy.”

“terus, apa alasan lo ninggalin gue sendirian disini?!! Lo emang bener-bener udah lupa sama gue kan?! Iya kan?!” nafasku terengah. Aku mulai sulit menahan emosi. melihat Sivia yang seperti ini aku muak! Aku benci dia!

“dia.. meninggal.” Aku tertegun. “dan lo tau?! Gue hamper ditampar papa waktu gue mau pergi kerumah lo untuk pamit. Dan apa lo tau? Ternyata Ashilla itu saudara kandung gue sendiri. Atau kembar lebih tepatnya.” Lanjutnya dengan nada putus asa. Aku hanya diam. Syok setengah mati!

“Papa dan mama terpaksa ‘memberikan’ shilla ke orangtua angkat shilla waktu dia lahir. Karna apa? Karna bokap-nyokap gue nggak punya uang buat bayar persalinan. Mungkin ini sinetron banget. Tapi.. ini nyata Fy. Kedua orangtua angkat Shilla menyerahkan shilla kembali kepada kami, waktu mereka tahu kalau shilla mengidap kanker otak.”

“Mama stress berat waktu tahu kabar itu. Apalagi Papa. Karna beliau amatsangat sayang shilla. Melebihi sayangnya dari gue. Maka dari itu, gue selalu bareng Shilla kemana-mana. Gue nggak boleh main samasiapapun selain Shilla. Cuma shilla! Lo nggak tau betapa tersiksanya gue waktu tau lo benci sama gue Fy.”

Tubuhku melayang kedinding. Dan perlahan, tubuhku mulai merosot kebawah. Sivia masih mengatur nafasnya yang tersenggal akibat ceritatanpajeda padaku.

Dengan putus asa, aku mengacak rambutku kasar.

“Jadi siapa yang jahat selama ini Ify?!” sial. Bisikan setan dihatiku itu mulai beraksi untuk memojokiku.

“Nggak papa. Wajar kalo lo benci sama dia. Dia pergi tanpa cerita apapun ke elo.” Bagus. Sekarang mulai peri kecil di hatiku yang membisikan pendapatnya. Aku mulai berargumen pada pikiranku sendiri.

“gue nggak tau vi. Maaf” lirihku tak tau diri.

Sekarang aku hanya mendengar dentingan piano yang dimainkan Sivia. Tidak ada suara yang keluar. Hanya ada dentingan dentingan piano –yang aku tahu—dengan intro lagu Time to say goodbye milik simple plan.

Lama, kami hanya diam dan terlarut dengan nada-nada yang dihasilkan oleh permainan piano Sivia. Sampai suara pintu terbuka mengacaukan semuanya. Aku dan Sivia menoleh serempak. Ada Rio disana. Ketua kelas kami.

“Sivia? Ify? Kalian disini ternyata. Kalian di...” ucapan Rio terhenti saat menatap mataku. Dia tampak bingung dan beralih ke mata Sivia.

“kalian ngapain? Berantem?” tanyanya dengan nada polos. Aku hanya tersenyum simpul. Begitu juga Sivia.

“kita nggak papa. Lo mau ngapain Yo?” rio menatapku bingung, tapi beberapa detik kemudian dia menjawab pertanyaanku.

“kalian dicari bu Winda dikelas. Udah 30 menit pelajaran berlangsung.”

Aku menepuk jidatku konyol. Lalu menatap Rio dengan panic. Sivia hanya mematung dikursi pianist. “Yo,.. ya ampun. Apa kata bu winda? Aduh.. gimana nih.” Rio tertawa kecil mentapku. Aku mengernyit.

“yaudah. Biasa aja kali Fy. Kalo lo masih ada perlu, nanti gue bantu bilang ke bu Winda kalo kalian lagi di UKS.”

“rio.. serius?” sekarang suara serak Sivia yang menyahut. Aku masih menatap Rio tanpa berkedip. Ah. Senyumnya..

“iya. Yaudah. Gue duluan ya! Bye!”

Setelah Rio pergi meninggalkan kami, aku menunduk. Mencoba mengatur emosiku dan berbalik badan menatap Sivia.

“gue...” belum selesai aku bicara, Sivia sudah ada didalam pelukanku. Cewek itu menubrukku dengan penuh nafsu. Untung saja aku tidak jatuh terjerembab.

“Fy, gue tau kalo lo benci gue. Gue tahu kalau..”

“stt. Udah Vi. Yang penting, sekarang kita udah sama-sama lagi. Gue sayang sama lo.” Ucapku yakin.

“gue juga sayang sama lo Fy. Banget!”


                                                                                                *****

Mengenang masa indah bersama denganmu..
Hal itu slalu ada di dalam memoriku..
Mengukir kenangan lalu, dan dapat kembali..
Hal itu menjadi asal langkahku..

Aku tersenyum samar mengingat kejadian itu. Konyol memang. Tapi bagiku –ataupun bagi sivia—itu kejadian yang sangat berarti. Sekarang aku akan menunggunya dengan setia. Tanpa kebencian seperti beberapa tahun silam. Aku menunggunya dengan.. Ikhlas. Sepenuh hati, jiwa dan raga.

Sahabatku kau lah segalanya..
Membuatku slalu tersenyum..
Dan buat ku slalu bahagia..

Lelah rasanya. Aku meletakkan gitar kesayanganku diatas tempat tidur, dan membanting tubuhku asal. Seandainya saja Sivia...

“Ify!! Ada kejutan buat kamu dibawah! Ayo turun!” suara Mama menggelegar diseluruh ruangan. Aku yakin sekarang, deva, adikku yang sedang bermain PS dikamarnya itu, pasti sedang menutup telinganya. Hihi

“apa sih ma? Nggak perlu teriak-ter... Sivia?!!!” aku menganga menatap cewek berambut sebhu dihadapanku. Dia sedang tersenyum –oh, sekali lagi aku sedikit tidak sudi mengakuinya—manis.

“Hy yam!”

Aku menghampirinya lebih dekat. Menatapnya dari atas sampai bawah, dari bawah sampai atas, dan kembali lagi ke atas. “Loe sivia? Sivianya Ify?”

Puk!

Sivia menjitakku dengan gaya –yang menurutku sendiri—menjijikkan. Karna apa? Karna dia menjitakku sambil tersenyum manis. “Sivianya Ify? Aduh Fy. Lo kalo jones jangan bertanduk dong!”

“rese lo!”

“mueheheh. Gue balik nih. Nggak minat meluk gue?”

Aku menatapnya jijik. “ogah. Lo gembrot.” Dengan santai, aku berjlan kembali ke kamar. Diikuti mama yang senyum-senyum gaje melihat tingkah kami.

“kak Via?! Huaaa! Gue kangen sama lo!”

Oh god.. si Deva belo bin alay itu keluar kamar hanya demi melihat sivia. Sip bagus! Aku jadi kambing conge sekarang.

“hay dedep! Ai mis yu to hansem!”

“bahasa lo ancur amat Vi.” Sahutku jahat. Sivia tidak perduli. Dia malah menyerahkan bingkisan –yang aku tak tahu apa isinya- kepada Deva.

“nih. Buat lo! Semoga suka yaa!!”

“thanks kak Via! I lop yu yaah!”

Aku memutar bola mata malas. Agak ilfeel dengan pemandangan yang ada didepanku sekarang. Dengan malas, aku melangkahkan kakiku menuju kamar. Meraih gitar, dan mulai menyanyikan intro lagu.

Sivia masuk kekamarku dan mulai merebahkan tubuhnya santai diatas kasur.

Ciptakan sebuah lagu untukmu..
Sahabat yang slalu ada bersamaku..
Walau kini kita tlah terpisah jauh..
Antara ruang dan waktu..
Membuatku smakin tak menentu..
Mengenang masa indah bersama denganmu..
Hal itu slalu ada di dalam memoriku..
Mengukir kenangan lalu, dan dapat kembali..
Hal itu menjadi asal langkahku..
Sahabatku kau lah segalanya..
Membuatku slalu tersenyum..
Dan buat ku slalu bahagia..
Sahabatku kau lah nafas dihidupku..
Yang slalu ada untukku..
Dan kau yang sangat berarti di hidupku..

Sivia menatapku takjub. Aku balik menatapnya dengan satu alis terangkat. “Lagu ciptaan lo?!”

“bukan. Ini ciptaan Agni. Temen kuliah gue. Tapi nadanya bikin sama-sama.” Jawabku kalem. Sivia mendengus.

“cape deh! Eh yam, gue ada kado buat lo!”

“apaan?”

“nih!” sivia menyerahkan satu kota berukuran sedang kearahku. Aku mulai curiga. Kenapa kado itu punya lubang-lubang kecil? Apa sivia tidak takut kalau au bisa menebak kejutannya?

“lo ngasih gue apa Vi?” tanyaku curiga. Sivia yang sedang mengunyah kacang ditoples –yang sengaja  aku letakkan dimeja kecil disamping meja belajar—menoleh kearahku dengan muka polos. Aku mulai menangkao sinyal-sinyal berbahaya.

“buka aja kalo mau tau.”

Saat ingin mengguncang isinya, tiba-tiba sivia melarangku dengan muka pucat. “jangan!”

Aku menyipitkan mata, dan menatapnya penuh curiga. “kenapa?”

Sivia tampak kikuk sendiri. “ya..ya.. jangan dong. Ntar lo tau isinya apaan sebelum dibuka. Buka aja deh.”

“bener nggak ada apa-apa?”

“serius yam!”

“oke.”

Yanpa curiga aku mulai merobek kertas kado yang membungkus isinya itu. Setelah terbuka semuanya, aku melongo lebar-lebar. Apa kalian tahu apa yang aku dapatkan? Yah.. seperti panggilannya padaku.

Anak ayam!

“siviaaa! Kurang kerjaan banget sih lo!!”

“buahahahahah! Piss Fy! Keep calm!”

Oh my dear.. apa salahku punya sahabat seperti dia? Tapi aku bersyukur. Disamping sikap cablak dan usilnya, dia adalah seorang sahabat idaman. manis-walau lebih manis aku daripada dia--, perhatian, baik hati, tidak sombong, dan... AKU SAYANG DIA. SIVIA AZIZAH SAHABATKU!

TAMAT.

Backsound(?) nya itu lagu agni loh. Ciptaan dia sendiri. Coba denger di youtube deh. Nih link nya.. http://www.youtube.com/watch?v=gEngVbI5KN8
Ditambah sama “Best Friend” dari blink. Dan lagu ciptaan eneng “Andaikan” yang juga jadi lagu punya Blink(?)

See ya!!

@stvdt_

Komentar

Postingan Populer