Problem's [1]



Chapter I : What a bad day!!

Deru mobil dan motor terdengar sahut menyahut pagi ini. Shilla melirik arlojinya dengan gelisah. Ini adalah hari pertama di tahun ajaran baru. Apa kata guru piket kalau anak pemilik yayasan terlambat ?

Sebenarnya Shilla tidak perlu repot-repot memikirkan nama baiknya dimaata guru-guru disekolahnya. Lagipula, mereka selalu memperlakukannya bagaikan seorang putri raja. Heran memang, hukum keadilan di Indonesia sudah berubah drastic. Mungkin bunyinya bisa begini : Siapa yang kaya, dia yang berkuasa.

Well. She’s can’t lie. Shilla memang menikmati kekuasaannya disekolah. Dengan begitu, dia bisa melakukan apapun yang dia suka selama berada disekolahan. Persis seperti seorang bos besar.  Dia memang tumbuh menjadi seorang gadis egois.

Tapi, semua kekuasaan Shilla berakhir tanpa jejak, sejak kedatangan Putra. Kepala sekolah baru yang juga adik dari ayahnya. Putra memang benar-benar adil dalam menerapkan hukuman. Bahkan dengan teganya, beliau menghukum Shilla dengan cara menyuruh gadis itu mengepel kamar mandi guru yang baunya udah kayak TPS.

Shilla nggak mau kalau sampai kejadian itu terulang lagi. Apalagi ini adalah hari pertama masuk sekolah. “Pak, bisa cepet dikit nggak sih?!” Tanya Shilla setengah membentak. Firasatnya udah nggak enak banget untuk hari ini.

Pak yoyo, supir pribadi Shilla yang memang bertugas mengantar-jemput dirinya, itu mengelus dada karena kaget. “I..iya non.. Bentar lagi nyampe kok.” Jawabnya gugup.

“Cepetan!”

Shilla jadi bete sendiri sekarang. Mana hari ini jalanan macet parah pula. Bisa habis benar dia kalau sampai om tercintanya itu tahu dia terlambat. Shilla mengedarkan pandangannya keseluruh ruas jalan. Jakarta kembali sibuk hari ini. Eh, tapi memang selalu sibuk sih.

Tanpa sengaja, pandangannya jatuh pada sepeda biru muda yang melaju cepat. Seorang anak perempuan yang –sepertinya—seumuran dengan Shilla, tampak sedang mengayuh sepedanya dengan sepenuh hati. Tidak peduli peluh yang sudah membasahi seluruh wajahnya dan beberapa bagian bajunya yang kering.

Shilla menyipitkan mata besarnya. Kenapa anak ini terasa familiar baginya? Shilla sediikit memajukan posisi duduknya untuk memperjelas wajah anak itu. Kening Shilla tampak berkerut. Ini hanya perasaannya saja, atau memang benar kalau anak ini mirip dengannya?

Saat membuka kaca mobil untuk memanggil gadis itu, sepeda biru muda yang ditumpangi gadis itu sudah melesat cepat. Tertelan mobil-mobil besar yang berada jauh didepan. Sepeda itu melesat dengan cepat. Memotong beberapa mobil lain yang langsung mengaungkan klakson begitu gadis itu lewat.

Shilla bengong sesaat. Tapi beberapa detik berikutnya, dia sadar, dan kembali melihat si pemilik sepeda biru muda. Tapi percuma. Gadis itu sudah menghilang. Shilla mendesah sebal. Cewek itu kembali melirik arloji sweet pink-nya, dan saat itu juga matanya sudah lebih besar dari biasa.

“Pak yoyo!! Shilla telat!!” Serunya dengan frekuensi suara yang sudah naik beberapa oktaf.

Pak yoyo mengelus telinganya yang malang. Lalu dengan satu gerakkan, laki-laki paruh baya itu menginjak pedal gas dalam-dalam.


***

Shilla masih duduk diam. Terpaku di dalam mobil sedan hitamnya itu. Matanya mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan kalau dia benar-benar masih hidup.

Ditempatnya, pak yoyo tampak sedang mengatur nafasnya yang nyaris putus. 06.55. lima menit sebelum bel masuk sekolah, Shilla sudah sampai gerbang sekolahnya dengan ‘selamat’. walau nafas gadis itu sudah senin kamis.

Masih dengan gerakkan kaku, Tiara membuka pintu mobilnya, dan turun tanpa mengucapkan satu patahpun kepada pak yoyo.

“Ini gila..” Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. Tidak percaya kalau dia masih bisa menginjak tanah dengan raga yang utuh. Meskipun nafasnya yang sudah tinggal satu satu.

“Pak yoyo sarap!! Errgghh!”

Dengan langkah kesal, cewek berambut panjang dengan potongan rata itu memasuki daerah sekolahnya. SMA Cakrawala. Yah, walaupun namanya rada norak, tapi sekolah ini memiliki fasilitas yang menjadi idaman murid-murid SMA pada umumnya.

Sekolah tiga lantai itu memiliki lapangan indoor dan outdoor sekaligus. Juga berbagai lab yang dilengkapi dengan fasilitas bak hotel berbintang. Tak lupa, satu kolam renang ukuran sedang yang terbentang tepat di bagian belakang sekolah, yang hanya dipakai untuk saat-saat tertentu saja.

Shilla melangkahkan kaki tungkainya kearah papan pengumuman. Sebenarnya peraturan sekolah yang sudah tertulis mengatakan bahwa, setiap tahun ajaran baru, pengumuman pembagian kelas akan diumumkan sehari sebelum masuk sekolah. Tapi berhubung kemarin Shilla ketiduran, jadilah Shilla sekarang berjalan kearah koridor yang berlawanan dengan koridor kelass XI.

Sampai ditempat, Shilla melongo. Matanya sudah melotot dengan sukses. Dipapan itu tidak ada apa-apa. Kosong. Bersih. Putih. Benar-benar tidak ada secuil kertaspun yang hadir.

“ehem.” Suara berat itu memecahkan keterkejutan Shilla, dan membawanya kembali pada realita. Dengan segera, cewek itu membalikkan badannya dan langsung meneguk ludah dengan susah payah saat melihat siapa yang kini berdiri di depannya.

“eh.. oh.. om putra.. heheh.”

Om putra menatapnya dengan satu alis terangkat. Laki-laki paruh baya itu sedikit melongokkan kepalanya. Mencoba mencari tahu aoa yang sedang dilihat keponakannya itu. “Lagi ngeliatin apa Shill ?”

“oh.. anu.. itu om..”

“itu apa?”

“eng.. itu.. pengumuman kelas.” Shilla merutuk dirinya sendiri atas jawaban yang baru saja keluar dari bibirnya.

“oh, itu udah Om cabut shill. Bukannya disuruh datang kemarin ya?”

Lagi-lagi shilla melongo dengan sukses didepan adik bungsu papanya ini. “Di..dicabut om? Ja.. jadi aku gimana?”

Pak putra terkekeh pelan. Lalu dengan bijak, dia menepuk-nepuk bahu Shilla. Berlagak sok prihatin. “Kamu  cari tahu saja dari teman kamu yang lain. Om juga nggak tahu kamu masuk kelas apa.”

Pak putra beranjak pergi meninggalkan Shilla yang masih tidak melongo untuk kesekian kalinya. Shilla mendengus marah. Hari ini dia benar-benar keki setengah mati. “Apa hari ini hari sial seluruh dunia?!” desisnya frustasi.

****

Sepeda itu mendarat dengan mulus tepat didepan pintu besi yang sudah tertutup rapat sekali. Seorang gadis manis dengan muka yang nyaris abstrak. Rambut panjangnya yang sudah melewati bahu sudah acak-acak tanpa bentuk. Ikatan rambutnya yang tadi sudah ditata serapi mungkin sudah berubah menjadi.. benar-benar hancur berantakan.

Dengan nafas terengah, gadis itu menggedor pintu besi dengan sia-sia. Mau digedor sampe keringet diningin juga, benda itu tetap berdiri kokoh tanpa bergeser *apasih*

“Pak!! Pak Yudha!! Bukain dong.” Serunya keras. Suaranya sedikit bergetr akibat pernafasan yang tidak baik.
Seorang bapak-bapak yang masih berusia sekitar 26 tahun dengan kumis tipis dan badan sixpack berdiri dibalik pintu pagar menghadap gadis itu.

Pak yudha –laki-laki tadi—sedikit syok melihat penampilan murid SMA 31 yang sudah 11:12 sama orang gila. “Yaampun neng Ify!! Kok mukanya kayak badut begitu sih?!” sahutnya tidak penting.

Ify melengos mendngar tanggapan sang satpam. “Itu nggak penting pak. Yang penting sekarang, gimana caranya saya bisa masuk kedalam.”

Pak yudha menatapnya dengan tatapan setengah kasihan, setengah merasa bersalah, setengah tidak bisa apa-apa. “Maaf neng. Kan udah bel masuk..”

Ify menatap satpam muda itu dengan muka memelas. “Ayolah pak.. Kan Ify nggak pernah terlambat sebelum ini..”

“Wah, nggak bisa beneran neng.”

Ify memutar bola matanya mencoba untuk berfikir keras. Tiba-tiba saja sebuah ide jahat muncul diotaknya. Ify menatap satpam muda itu dengan senyum mengembang lebar. “Pak, sandal deh..”

“Wah, nggak bisa neng. Mau jadi apa bangsa kita ini kalau di so..”

Sebelum pak yudha melanjutkan kalimatnya, Ify buru-buru memotong. “Bonus sama iket pinggang kulit ular deh pak!”

Pak yudha tersenyum lebar kala mendengar kata-kata terakhir ify. Kulit ular. Itu benda.. ah bukan benda.. ah apalah itu. Yang penting, kulit ular adalah kesukaannya. Dia sudah memiliki banyak koleksi kulit ular. Tas, sepatu, topi, dan mungkin besok lengkap dengan ikat pinggang.

“Neng ify tau aja. Yaudah. Buruan masuk neng.”

Yudha membuka pintu gerbang dengan cepat. Ify melengos. ‘apes banget gue. Dimana coba dapet ikat pinggang kulit ular?! Errggh’ makinya dalam hati.

Dengan malas, ify membopong sepedanya menuju parkiran. Tapi sebelum sampai, yudha sudah lebih dulu mengambil alih sepedanya. “Masuk aja neng. Biar bapak yang parkirin sepedanya.”

Ify mengangguk. Tidak berminat membantah. Sebelum melangkah, ify melepas ikatan rambutnya terlebih dahulu. Mengibaskannya sedikit, dan meniup poni sampingnya dengan riang.

“Sip! Gue udah kece.”

Ify berjalan riang menuju kelas barunya. Kelas idaman yang sudah ia idamkan dan perjuangkan mati-matian sejak kelas X dulu. XI IPA 2.

Ify menatap pintu besar yang kini sudah berdiri kokoh di hadapannya. Tanpa ragu, cewek itu memutar kenop pintu. Dan betapa terkejutnya Ify saat mendapati Asro –guru matematika yang terkenal kejam banget itu—duduk manis di meja guru. Ify memegang perutnya yang sekarang mendadak mulas.

“Apalagi abis ini. sial! What a bad day!” rutuknya kesal. Tentu saja hanya dengan gerakkan bibir yang cukup dia dan tuhan saja yang tahu.

***

Dan disinilah Ify sekarang. Duduk manis di kursi paling sudut perpustakaan. Berkutat dengan rumus-rumus yang sudah menjadi musuhnya sejak 2 jam terakhir. Otaknya udah mumet banget. Rambutnya yang hitam lurus, sudah berubah menjadi gimbal akibat matematika.

“Ya tuhan.. salah apa gue dapet hukuman yang begini. Eerrgghh!”

Ify mencak-mencak sendiri di kursinya. Gara-gara terlambat tadi, pak Asro menghukum Ify dengan memberikan 50 soal matematika yang sangat mematikan. Selama 2 jam lebih ify berkutat dengan soal itu. Dan dari seluruh soal yang ada, tinggal 3 soal lagi yang  tidak bisa dia kerjakan.

“Hari ini proses belajar mengajar belum dimulai. Jadi kamu tidak perlu khawatir. Selesaikan saja tugas kamu hingga tuntas. Setelah itu, letakkan kertasnya di meja saya.”

Ify hanya bisa mengangguk pasrah.

Tiba-tiba saja pintu perpustakaan terbuka lebar. Seorang  gadis cantik masuk dengan gerakkan heboh. Rambut sebahunya yang terurai itu sampai terangkat diudara.

“Ify!!”

Ify menoleh dan mendapati sahabat karibnya sedang berlaro-lari heboh. Ify mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa Vi?”

“Ify! Ini gawat!!” cerocos gadis itu.

“Gawat apaan?!”

“Gu.. gue..”

“Lo hamil?!?!” Ify melotot ganas kearah sahabatnya itu. Yang dipelototi malah melongo. Beberapa detik berikutnya, kamus tebal bahasa inggris sudah melayang kearah Ify, dan mendarat dikepalanya dengan mulus.

“Kampreet!! Bukan itu!!” amuk Sivia –gadis itu—

Ify meringis menahan perih dikepalanya. “Terus apaan?! Biasa aja bisa nggak sih?!”

“HEI KALIAN. INI PERPUSTAKAAN. HARAP TENANG!!” Suara lantang itu menghentikan pembicaraan mereka. Saat melihat bu Nova –penjaga perpustakaan—dengan muka sangar dan kepala bertanduk, keduanya hanya meringis.

“Maaf bu.”

Ify menarik lengan  Sivia meninggalkan perpustakaan. Dia sudah tidak  perduli lagi dengan soal matematika yang mematikan itu. Bodo amatlah. Tinggal 3 soal juga. Katanya dalam hati.

Kedua cewek itu berjalan kearah kantin. Duduk disalah satu sudut kantin, dan mulai menyantap gorengan yang tersedia diatas meja. Sivia meneguk air mineralnya –yang memang sudah tersedia disetiap meja kantin—dengan buru-buru.

Ify malah asyik menghabiskan tahu isi kesukaannya. Masih sambil misuh-misuh mengutuk pak Asro yang keterlaluan itu. “Jadi, lo beneran nggak hamil kan Vi ?!”

“IFY!!”

“Hehe.. kan gue nggak tahu.”

“mangkanya jangan asal jeplak!!”

Ify masih cuek. Cewek itu mencomot satu lagi tahu isi, dan memasukkannya ke mulut dengan nikmat. Sivia melengos. “Ini gawat banget!!” Ify melirik Sivia sebal. “Dari tadi gawat mulu! Emang ada apaan sih?!”

“Si Alvin jadi ketua kelas!!” jelas Sivia menggebu-gebu.

Ify yang sedang mengunyah tahu isi keduanya itu langsung melotot, dan reflex menyemburkan tahunya kearah Sivia.

“IFY! Jorok banget sih lo. Ish!”

Ify tidak memperdulikan omelan Sivia. Cewek itu buru-buru meraih aqua gelas, membukanya dengan heboh, dan menegak habis semua isinya. Sivia melongo. Segitukah pengaruh seorang Alvin terhadap Ify Alyssa?

 Setelah yakin tahu isi yang dikunyahnya tadi sudah tertelan habis, Ify menata sivia serius. “Alvin? Alvin jonathan maksud lo? Calon kapten basket sekolah kita itu? Yang matanya Cuma segaris?! Alvin itu maksud lo?!” Ify sedikit mencondongkan badannya kearah Sivia yang duduk tepat didepan matanya.

Sivia hanya mengangguk kecil seraya membersihkan rambutnya dari semprotan menjijikkan Ify tadi. Ify menghela nafas berat. Berat sekali. “Oh dear.. gue bahkan nggak tahu kalau sekelas sama dia.. kenapa nasib gue jelek banget tuhan?!”

Sivia berhenti membersihkan rambutnya. Cewek itu menatap Ify dengan raut muka prihatin. “Sabar ya Fy. Mungkin ini cobaan.”

Ify melengos. “Iya. Cobaan yang bentar lagi buat gue mati!”

“Lo kenapa sih? Kayaknya benci banget sama Alvin?” Tanya sivia penasaran.

Ify menghela nafas berat untuk kesekian kalinya. Alvin Jonathan. Cowok dengan tinggi kira-kira 170cm itu adalah musuh bebuyutannya sejak SD. Calon kapten SMA 31 itu selalu ingin mengalahkan Ify dengan 1001 caranya. Baik dibidang akademik maupun non akademik.

Alvin & Ify. Siapa yang tidak tahu mereka? Duo –caalon—kapten basket  kandidat tetap(?). heran sebenarnya. Alvin yang dingin dan mendapat julukan pangeran e situ bisa berubah ganas saat sedang bersama Ify. Si cewek imut yang ramah dan pendiam. Mereka benar-benar berubah 360 derajat kalau sedang berhadapan. Kiamat! Yakin deh!

“Lo nggak tahu sih Vi. Dia itu nyebelin banget jadi manusia!” Emosi Ify sambil meneguk satu lagi aqua gelas yang baru saja dibukanya.

Sivia mengernyit. Cewek itu mengambil satu bakwan dan mulai bertanya lagi. “Walau nyebelin, tapi dia keren kok Fy.” Ify melotot maksimal kearah Sivia. “Jangan bilang lo naksir dia!”

“Gue nggak bilang.” Sahut Sivia kalem. Ify menghela nafas lega untuk yang pertama kalinya dihari ini.

“Apa gue pindah sekolah aja ya..” Ify merenung sambil menatap atap-atap kantin yang penuh dengan sarang laba-laba.

Sivia mengerjapkan matanya berkali-kali. “Bego lo! Masa gini aja udah pindah? Aneh!”

“Lo nggak tahu sih, betapa menyebalkannya makhluk yang bernama Alvin itu!” sungut Ify.

Dalam hitungan detik, Sivia sudah selesai menghabiskan air mineralnya yang sudah tinggal setengah itu. Sivia menatap Ify dengan mata menyipit. Penuh dengan selidik. “Hati-hati loh Fy.. Ntar bisa jadi cinta loh. Sekat cinta sama benci itu kan ti...”

“nggak usah ngomong!”

Sivia nyengir lebar saat melihat kepalan tangan Ify yang sudah teracung didepan matanya. “heheh..piss..”

Bersambung..

Salam hangat penulis amatir. @artsitaaa

Komentar

Postingan Populer