Love? What that...? [Prolog]



Percayakah kalian kaau cinta itu rumit ? oh.. aku rasa kalian tidak akan percaya. Diusia kalian yang sekarang, remaja-remaja labil maksudku, aku yakin, kalian akan rela melakukan apapun demi cinta. Karna bagi kalian, cinta itu adalah sumber kebahagiaan. Alright? Aku mengerti. Diotak kalian hanya ada cinta yang ‘bahagia.’ Karena bagi kalian, cinta selalu datang diwaktu dan pada orang yang tepat kan?

Tapi...

Buatku, cinta itu adalah.. Em.. semacam hal konyol yang juga berupa misteri tiada akhir. Cinta adalah sumber kesialan yang akan aku rasa/dapatkan jika suatu saat aku merasakannya. Oh, ayolah.. aku lahir didunia ini tanpa cinta, dan dibesarkan pun tanpa cinta. Tidak ada alasan untuk aku ‘menyukai’ cinta kan? Tentu saja.

Begini, akan aku perjelas sedikit jika kalian bingung.
Saat orangtua kalian berdiri dengan pakaian adat yang megah dan dihiasi sebuah senyuman yang bahagia –yang aku rasa tidak terbendung lagi--, orangtuaku berdiri di tempat yang sama, dengan pakaian yang sama, tapi berbeda perasaan.

Apa kalian mengerti? Maaf kalau penjelasanku sedikit rumit. Singkat cerita, orang tuaku itu dijodohkan. Karena apa? Karena ini sudah menjadi tradisi keluarga. Keluarga siapa? Tentu saja keluarga kedua belah pihak. Aku tidak tahu pasti bagaimana mulanya ini bisa terjadi.

Tapi yang aku dengar, dari tante-tante dan sepupuku yang –agak baik—kalau perjodohan ini sudah lama dilaksanakan. Dan tidak sedikit yang memiliki anak karena ‘terpaksa’.

Ah, begini.. Apa kalian tahu kalau aku lahir tanpa cinta? Yah, tanpa cinta. Mereka ‘berhubungan’ hanya untuk melepas nafsu. Catat! Nafsu, not Cinta and etc. C’mon guys. Papa-Mama ku juga manusia kan? Mereka pasti memiliki hasrat untuk melakukan sesuatu pada pasangannya. Oke, lupakan masalah tidak penting itu.

Dan sekarang, disinilah aku. Lahir didunia tanpa ada yang menginginkanku. Bahasa kasarnya, aku ini hasil dari pembuahan nafsu. Ah, sudahlah, mungkin aku berfikir terlalu jauh.

Apa kalian bertanya-tanya, bagaimana aku bisa tahu semua ini? ayolah kawan, aku tidak sendiri didalam keluarga yang penuh pemaksaan ini. Ada kak Shilla disini. Dia lebih tua.. Em.. sekitar 17 tahun dariku. Dia yang membantu mendandani mamaku saat beliau ingin menikah, membantunya merawat kandungannya yang berisikan –tentu saja—aku, dan menyaksikan mamaku melahirkan.

Dia bilang, disetiap tatapan kedua orangtuaku, tidak ada cinta disana. Oh My...

Awalnya aku syok. Kenapa? Karena –berdasaarkan dongeng-dongeng yang kudengar—seorang anak akan lahir karena cinta kedua orangtuanya yang meluap-luap. Sudahlah. Lupakan itu.
Nah, apa kalian paham kenapa aku malas jatuh cinta? Ya karena itu! Cinta itu menyakitkan –oh ralat—merepotkan menurut sudut pandangku.

Oh Dear..                                                              

Apa kalian tidak tahu juga? Kalau setiap anak keluarga Umari sepertiku, semuanya sudah terikat. Bahkan saat mereka belum hadir didalam perut sang mama sekalipun. Jadi untuk apa jatuh cinta, kalau ujungnya kita akan menikah dengan orang ‘pilihan’ orangtua kita? HAHA! Kejam bukan? Ya. Aku tau. Tapi inilah hidupku...


PROLOG


Pagi ini aku memutuskan untuk berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya. Kalian tidak tahu, betapa aku muak dengan kelakuan Gabriel. dia selalu menungguiku didepan gerbang setiap pagi. Sedikit cerita, anak itu adalah teman seangkatanku sejak SMP. Dia selalu mengejarku kemana-mana. Sebenarnya tidak bisa dibilang mengemis juga. Karena dia masih punya harga diri.

Gabriel selalu mencoba beribu cara untuk meluluhkan hatiku. Yah, seperti kataku tadi, dia bukan mengemis, tapi mengejarku setengah mati!

Bayangkan saja, dari kelas 1 SMP sampai kelas 2 SMA. Aku bahkan tidak tersentuh sedikitpun dengan apa yang telah ia lakukan padaku. Ayolah.. kan aku sudah bilang. Aku tidak mau jatuh cinta kalau hanya akan membuat orang terluka.

Cukup sampai disitu kisah Gabriel.

Aku datang pagi bukan hanya untuk alasan itu. Ada alasan lain yang mendorongku untuk segera melangkahkan kaki keluar rumah. Basket mungkin? Oh jangan Tanya. Aku hobi sekali olahraga satu itu. Bisa dibilang, hidup tanpa basket bagai taman tak berbunga. Aneh? Kalian orang ke 1.000000000000000000000000000000000. yang bilang begitu padaku.

Oke, setelah selesai merapikan diri dikamar, aku menuruni tangga dengan tergesa-gesa, mencomot satu roti bakar buatan Bi Imah, minum susu kesukaanku, dan segera melesat pergi. Tapi satu suara menghentikan langkahku.

“Ify, mau kemana kamu?” aku tahu. Ini pasti suara Papa. Aku berbalik dan mendapati pria dewasa itu masih menggunakan piama birunya, dilengkapi dengan muka bantal yang –eheem—jelek sekali menurutku.

Aku mundur beberapa langkah, dan memberikannya senyuman, atau lebih tepatnya seringaian andalanku. “Berangkat sekolah dulu ya Pa. Bye!”

Tampaknya papa belum sadar betul. Jadi dia hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku ikut mengangguk dan mulai berjalan menuju garasi. Sekilas, aku melirik jam tangan biru muda yang bertengger dipergelangan tangan kiriku. 05.30 pagi. Aku tersenyum bangga.

“Baiklah, bermain basket satu jam cukup untuk pagi ini. Ganbatte!” kataku pada diri sendiri.
Aku menyibakkan rambut panjangku kebelakang. Merapikannya dengan jari-jariku dan menyatukannya menjadi ekor kuda. Aku siap!


                                                                       *****


Sekolah ini memang besar, berkualitas, dan berprestasi –tentu saja. Aku memasuki gerbang besinya dengan santai. Pak Bobon –satpam sekolahan—menatapku dengan tatapan tidak percaya. “Non Ify? Pagi sekali berangkat sekolahnya?”

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan pak Bobon. Malas menjawabnya.

Dengan langkah ringan, aku menuntun sepedaku ke parkiran khusus sepeda, dan berlari ke kamar mandi untuk mengganti seragam. Jangan konyol. Aku tidak akan bermain basket dalam jangka waktu lama menggunakan rok. Itu sama sekali tidak lucu.

Selesai berganti baju, aku melepas ikat rambutku, merapikannya sedikit, dan kembali mengikatnya dengan asal-asalan. Tidak perduli dengan beberapa helai rambut yang masih menjuntai. Toh tidak ada yang melihat juga.

Aku mendrible bolaku keliling lapangan. Melakukan beberapa gerakkan pemanasan, dan mulai bermain.

Udara disini sangat enak. Masih asri karena belum siang. Aku bermain dengan santai. Sesekali mendrible sambil mengelilingi lapangan, melakukan three point, lay-up –yang menurutku sendiri—cantik, atau bahkan mempraktekkan gerakkan slam dunk ala Ify Alyssa.

Aku mendrible bola dengan santai tanpa emosi. Cukup tau, aku kapten basket disini. Baru menjabat 2 bulan sih. Tapi cukup membuatku bahagia dan merasa bangga dengan kemampuanku. Saat ingin meng-shoot  tembakan dari garis three point, bolaku berhenti ditengah jalan.

Seorang cowok jangkung hitam manis berdiri dihadapanku. Sial! Aku tidak memakai kacamataku saat ini. Rabun jauh yang kuderita sepertinya bertambah parah. Aku berdecak kesal. Dengan langkah malas, aku menghampiri cowok sialan itu.

“kembalikan bolaku.”

Cowok itu tampak tersenyum samar. Kini aku bisa melihatnya lebih jelas. Dengan jarak yang hanya beberapa meter saja, dia terlihat –sedikit—tampan. Badannya jangkung dan atletis. Kulitnya hitam manis, hidungnya lebar dan sedikit mancung. Alisnya standar. Tidak tebal dan tidak tipis. Matanya sayu, tapi tatapannya sangat menusuk.

“kamu mau bola ini?” dia bertanya konyol sekali. Aku melengos malas, kemudian mengangguk. “iyalah. Itukan bolaku.”

Cowok itu tampak menganggukkan kepalanya. Sebentar.. Aku tidak pernah melihat dia selama ini. apa jangan-jangan dia anak baru? Tunggu.. Aku bukan murid kuper yang tidak memiliki teman. Aku ini termasuk cewek supel yang mudah bergaul. Siapa yang tidak tahu aku? Ify Alyssa, kapten basket SMA Persada. Yah, walaupun aku terkenal juga gara-gara Gabriel yang selalu mengejarku dengan gaya-gayanya yang konyol.

Tapi yakinlah, anak ini pasti murid baru disekolahku. Seragamnya juga berbeda. Dia memakai celana panjang dengan motif kotak-kotak dan berwarna merah-hitam. Kemeja putih polos, dan dibungkus bleezer senada dengan celana. Lengkap dasi panjang kotak-kotak dengan warna yang sama. Aku terus mengamatinya lamat-lamat.

“Mau kamu liatin aku sampe 1 jam lebih, aku masih tetep cakep kok.”

Toloooong...... Anak ini benar-benar PD! Jangan sampai dia seperti Gabriel. Bukannya aku GR, tapi.. Ah sudahlah, lupakan saja.

“PD banget sih. Kembaliin bola aku!”

Sayang sekali kawan, dia tidak memberi bolaku dengan Cuma-Cuma. Dia melangkaah lebih maju untuk mendekatiku. Sedikit menunduk –entahlah, badannya yang terlalu tinggi, atau badanku yang kurang tinggi—menatap wajahku. Sepertinya dia mempunyai ‘sesuatu’ untukku pagi ini.

Salah satu sudut bibirnya tertarik. Menimbulkan senyum yang –kulihat—tidak mencapai matanya. Aku sedikit bergidik ngeri. Kalau seperti ini, dia terlihat seperti johan. Kalian tahu kan, buku karangan Lexie Xu? Ya, dia penulis favoritku. Ah, kembali kedunia nyata. Dia masih membiarkan senyum mengerikan itu menghiasi wajahnya.

Dengan sengak, cowok itu mendrible bolaku santai. Sambil beberapa kali memutarnya diatas telunjuknya. Sombong! “Gimana kalau kita One by One?

Aku mendesis. Siapa takut? Aku tidak pernah takut dengan tantangan one on one seperti ini. walaupun badanku kecil, selama aku bersekolah disini –atau selama aku hobi bermain basket—belum ada 1 cowok pun yang mengalahkanku. Tidak terkecuali laki-laki ini.

“Ayo. Berapa skor maksimal?” aku melipat kedua tanganku didepan dada.

Dia tampak berfikir sebentar sambil melirik arloji hitamnya –yang aku yakini itu mahal. Menggosokkan jarinya kedagu, dan menjentikkan jari dengan riang. Tentu saja, masih senyum yang tidak sampai kemata.

“5untuk pencetak angka pertama. Dia menang!”

“Oke. Ayo mulai!” seruku semangat. Bermain dengan satu lawan sedikit lebih menyenangkan daripada harus bermain sendiri seperti tadi.

“tunggu dulu.” Dia mencekal lenganku. Aku terkesiap, dan dengan gerakkan cepat langsung menghentakkan tangan untuk melepasnya. “kamu nggak mau kasih taruhan?”

Aku mendecak malas. Jadi dia ingin taruhan denganku? Baiklah. Aku terima. “Aku mau, siapa yang kalah, keliling lapangan sampai bel sekolah masuk.” Aku berfikir sejenak sebelum melanjutkan. “Oh, tentu saja ambil men-drible bola basket.”

“berarti kita pakai target waktu?” aku tercenung. Benar juga. Kami harus memakai target. Ah tapi tidak papa. Aku rasa 10 menit cukup. Mengingat aku hanya bermain 5 menit sebelum ini.

“10menit. Tanpa skor tertentu.” Dia menjawab duluan. Aku hanya mengangguk saja. Malas berdebat.

Cowok itu tampak tersenyum sinis –yang lagi-lagi—tidak sampai mata menatapku. Sepertinya dia yakin sekali kalau dia akan memenangkan pertandingan ini. aku hanya mengutuknya dalam hati.

“Aku setuju dengan rencana kamu. Deal?”

Aku menyambut uluran tangannya. “Deal!”

“Tidak ada peraturan apapun disini...”

Aku memotongnya cepat. “Oh harus ada. Disini nggak boleh pakai body. Kalau kamu nggak mau dibilang banci, bermainlah secara etis.”

Cowok itu menatapku dengan mata menyipit. Aku tidak peduli. Dengan satu langkah panjang, aku kembali ke pinggir lapangan dan membuang permen karet yang dari tadi ku kunyah.

“Terserah.” Sahutnya dingin.

Kami mulai main dengan santai –awalnya—hingga bola jatuh ketanganku. Aku mendrible nya dengan lincah. Meliuk sana-sini guna menghindari pertahan cowok itu. Tapi sialnya, badanku yang kecil dengan mudah dikurung dengan ukuran bagannya yang 2 kali lipat lebih besar dariku.

Tapi aku tidak menyerah. Aku ingat, agni –kapten basket sebelum aku—menggunakan trik ini saat melawan Angel. Si babon besar –ups sorry—yang menjadi musuh bebuyutannya.

Aku menatap mata cowok itu sekilas. Masih sayu dan tajam. Aku memantapkan hati untuk melakukannya. Dengan satu gerakkan memutar –seolah ingin melempar bola— atau singkatnya, pivot. Aku langsung menunduk lagi dan melewti sayap kanannya.

Dengan langkah seribu, aku mendrible bolaku, melangkah panjang, dan melakukan lay-up terbaiku. Tampaknya suasana berubah tegang. Bola itu berputar-putar tanpa tujuan. Semoga masuk, masuk. Doaku dalam hati.

Dan..

BRAK!

Bagus! Bola ku masuk! Satu point pertama untukku. Cowok itu sempat terdiam sesaat. Tapi beberapa detik berikutnya dia sadar dan berlari kearahku. Aku tahu dia akan me-ribbon bolaku. Maka dengan cepat pula aku berlari kearah bola.

Sayang sekali, rabun jauhku ini sangat tidak menguntungkan. Tentu saja cowok itu mendapatkan bolaku lebih dulu. Tanpa fikir panjang, aku mengambil angkah ebar dan menyusulnya. Satu lagi kesialanku. Tinggiku hanya mencapai 165. Sedangkan aku mengira cowok ini memiliki tinggi lebih dari 177cm.

Dengan leluasa dia mendrible bola tanpa gangguan yang berarti dariku. Kuakui, gerakkannya sangat santai dan mahir.  Aku masih menghalangnya dengan sekuat tenaga. Melompat-lompat bagaikan kodok ngorek dipinggir jalan. Ah sial! Dia mengedipkan matanya menggedaku. Benar-benar...

Dia melompat dari jarak 2 meter dari ring. Melakukan slam, dan disusul dengan dunk! Aaa! Gerakkannya sangat sempurna. Aku sadar, sekarang mulutku sudah menganga lebar sekali. Memalukan.

“Oke. Masih mau melongo disitu? Aku serasa main sendiri nih.” Oh, suara beratnya itu menghempaskanku kembali ke dunia nyata.

Aku mengerjap beberapa kali dan kembali mengejar bolaku yang menggelinding tak berdaya. Jangan harap kau menang dariku! Ikrarku dalam hati.

Aku mengambil bolaku, drible sedikit, berlari dan.. Oh dear.. Dia menghalangiku lagi dengan tangannya yang besar itu. Kalau aku lakukan gerakkanku tadi, dia past bisa membacanya. Oke..sekarang aku dan dia saling tatap.

Ada emosi disana. Dimata hitamnya yang pekat. Aku rasa, dia bermain hanya untuk emosi. bukan sepertiku yang bermain dengan hati. Baiklah. Aku muali menjalankan otakku cepat. Sebuah ide melintas diotakku.

Aku melempar bolaku kedepan –seolah ada rekan yang menangkap—berlari sekuat tenaga. Dan.. yes! Bolanya kembali padaku. Aku berhenti sebentar didepan ring. Menatapnya lekat. Mulai sedikit membungkukkan badan dan kaki, naik perlahan, dan... MASUK!

Jump shot ku berhasil! Aku berteriak girang dalam hati. Aku melirik arloji biruku. Sepertinya 10menit sudah berlalu tanpa terasa. Dan benar kataku, tanpa terasa. Aku tidak tahu kalau sekarang aku dan cowok asing itu menjadi tontonan gratis murid SMA Persada.

Aku memutar bola mata malas. Dari sudut mata melirik cowok itu dengan senyum kemenangan. Aku mengulurkan tanganku ingin mengucap selamat menjalankan hukuman. Tapi dia malah merebut bolaku dan segera melaksanakan hukumannya.

Bagus.

Aku kembali kepinggir lapangan dan melihat Sivia –sahabat karibku—sedang menatapku khawatir. Aku hanya tersenyum simpul. Sampai dipinggir lapangan, aku menegak air mineralku hingga tandas. Tidak perduli lagi dengan bisik-bisik murid SMA Persada. Tidak penting.

“Ify! Kamu nggak papa? Siapa dia?” sivia sekarang sudah duduk manis disampingku. Gadis anggun itu memang sedikit over denganku. Maklum, dia mencintaiku sih. Hihi.

Aku tersenyum sekilas seraya membasuh keningku yang sudah bermandikan peluh. “Aku nggak papa Sivia. Yuk kekelas.”

“Tunggu, dia itu siapa?” sepertinya gadis ini benar-benar penasaran siapa cowok itu. Aku menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu tidak perduli.

“Aku nggak tahu.” Jawabku singkat. Sivia mengerutkan kening. Alisnya terangkat tinggi sekali. Kebiasaan kalau sedang kepo dengan urusan orang.

“Kenapa kamu bisa main sama dia?”

“Kebetulan.”

Aku melangkah lebih dulu dari Sivia. Malas melayani si cerewet itu. Bisa habis waktuku kalau melayaninya terus. Baru lima langkah aku berjalan, dia meneriaki namaku lagi. Sebal, aku berbalik menatapnya dengan mata menyipit.

“Apasih?!”

Dia tampak berfikir dan menunjuk0-nunjuk kearahku. Aku menatap badanku yang bermandikan peluh dengan seksama. Tidak ada yang salah kan?

“Kamu mau belajar sambil pakai baju itu?” Tanya nya polos. Aku menepuk jidatku reflex. Ya ampun! Bagaimana aku bisa lupa! Oke, sekarang aku sudah benar-benar lari dari pinggir lapangan menuju kamar mandi. Betapa lengketnya badanku. Tapi ini resiko. Sudah menjadi urusanku kalau harus belajar dengan berbaukan keringat.

Semoga Sivia tahan dengan bauku. Hihi.

Bersambung..

Komentar

Postingan Populer