I Still Loving You [Cerpen]
Sebagai perempuan, apa yang akan kalian lakukan kalau kalian sedang menyukai seseorang?
Menyatakannya dengan segala resiko yang akan kau terima, atau mungkin menyimpannya dengan resiko sesak yang harus kau terima lebih dalam lagi?
--------------
Hembusan angin sore menerpa wajah manisnya. Binar matanya yang selalu menyimpan kebesaran cinta yang mendalam itu, tampak bergerak liar menelusuri seluruh bagian lapangan. Tangan lentiknya bergerak perlahan, menyibakkan rambut panjangnya kesamping telinga. Senyum manis masih terus bertengger dibibir melah alami yang dibiarkan polos tanpa make up.
Langkahnya terdengar tenang. Rambut panjangnya yang ikal bergerak naik turun seperti peer setiap kali telapak kaki kecil itu melangkah. Tangan kanannya mengenggam sebotol air mineral yang baru saja dibelinya diujung jalan.
Senyumnya semakin melebar saat matanya menangkap pemuda manis yang sedang memainkan bola basketnya dengan gencar. Menerobos badan-badan besar lain yang mencoba menghalang jalannya.
“Semakin hari dia semakin berkharisma,” Gumam gadis itu seraya melangkah lebih maju.
Kepalanya bergerak kekanan dan kiri demi memastikan keadaan. Setelah dirasanya aman, cewek itu mengendap-endap menuju pinggir lapangan, meletakkan air mineral yang dipegangnya, dan berjalan kembali ketempatnya semula.
Matanya masih terus menatap kedepan dari balik pohon-pohon cemara yang mulai tumbuh lebih menjulang. Tubuh tinggi tegap itu masih terus beraksi. Melayangkan kaki tungkainya dengan lincah, dengan salah satu tangannya yang mengenggam bola biru tua.
Brak!
Lay up mulus yang dilakukan pemuda itu membuahkan hasil sebuah point tambahan untuk tim nya. Senyum pemuda itu mulai mengembang. Menampilkan kesan tengilnya dan segera ber-high five ria bersama teman-teman satu timnya.
“Huahahaha! Bakso pak kumis man!” Serunya lantang seraya menepuk-nepuk pundak temannya yang sedang menjambak-jambak rambut cepaknya frustasi.
“Sialan lo Ran! Nggak pake nambah deh! Budget nya nggak memadai nih,” Ujar si rambut cepak seraya melangkah kepinggir lapangan.
Sedangkan pemuda yang dipanggil ‘Ran’ itu hanya menampakkan cengiran khasnya yang –selalu—terkesan tengil. “Sok inggris lo. Bilang Modal aja belagu,”
Si rambut cepak hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk tengkuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
“Eh, ada yang bawa minum?” Salah seorang dari kumpulan cowok-cowok kece bin sangar itu bertanya. Yang lain hanya menyambut dengan gelengan kepala. Mereka memang tidak memiliki rencana untuk bisa sampai kelapangan ini. Boro-boro minum. Baju yang mereka pakai saja masih berbentuk seragam sekolah.
Randy mengernyitkan dahi saat mendapati sebotol air mineral dibalik tas sekolahnya. Walau bingung, cowok itu tetap meraih botol temuannya yang masih disegel rapi, dan mengangkatnya keudara, “Hoi! Punya sapa nih?”
Yang lain mendongak, “Bukan punya gue!” Kata mereka kompak.
Lipatan dikening Randy semakin bertambah dalam. “Gue minum yaa!” Seru cowok itu sambil membuka segel pada tutup botol dan menegak isinya dengan ganas.
“Gileeee, ngeri amat lo Ran,” Komentar salah satu teman cowok itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hoi kupret! Bagi-bagi napa,” Protes salah satu rekan tim nya. Randy bergeming. Masih menegak air mineral yang merupakan rejekinya itu dengan ganas. Haus banget coi! Teriak Randy dalam hati.
Cowok itu kemudian melangkah pergi sambil menggantungkan tas ranselnya diatas pundak tanpa memperdulikan maki-makian ala cowok dari bibir teman-teman nongkrongnya itu. Baru saja akan meninggalkan pijakan semen lapangan, cowok itu berbalik badan, “Eh Do, baksonya besok aja! Jangan sampe gue nggak dapet! Gue cipok lo!” Ancamnya setengah becanda.
“Ah, dicipok Randy mah gue nggak nolak. Sok atuuuh,” Canda si rambut cepak sambil menirukan nada manja seorang gadis genit. Teman-temannya yang lain Cuma mesem-mesem. Randy sendiri memilih untuk segera pergi dari sana sebelum mendapat ucapan-ucapan aneh lainnya dari bibir anak tongkrongannya itu.
Dibalik pohon cemaranya, gadis berambut ikal tadi terkikik geli. Anak laki-laki pujaannya itu memang tengil. Bergaya apa adanya, pintar dalam bidang non akademik, terutama olahraga, tapi anjlok dibidang akademik. Anaknya ndablek. Easy going dan menawan. Tapi dia bukan idola-idola cewek disekolahan. Hanya murid biasa. cowk umur 17 tahun yang berhasil menarik perhatian seorang gadis manis dengan lesung pipi dikedua pipi bundarnya. Hanya itu yang membuat Randy ‘berbeda’.
Dengan senyum yang masih terkulum, gadis itu melangkah mundur, membalikkan badannya dan mulai melangkah pergi dari sana menuju Pak Coki. Supir setia keluarganya yang sudah menunggu dari tadi. Entah kenapa, melihat senyum cowok itu saja, rasanya sudah membuatnya berdevar. Sayang, dia tidak memiliki cukup keberanian untuk mengungkapkan apa yang dia rasa.
----------
Mungkin, menunggu adalah hal yang pas untuk menengahi antara ‘menyatakan’ atau ‘memendam’ sebuah perasaan. Tapi, sampai kapan harus menunggu? Yakinkah kamu dia akan datang?
----------
Nesya melangkahkan kakinya dengan ringan. Menyapa satu-dua teman yang berpapasan dengannya, yang kebetulan dia kenal. Sesekali gadis cantik itu tersenyum saat melewati guru-guru yang berkeliaran. Rambutnya diikat ekor kuda hari ini. seperti biasa, ikatan ekor kuda itu bergoyang seiring langkah ringannya.
Senyumnya langsung pudar saat mendapati Randy, pemuda tinggi tegap yang berhasil merebut perhatiannya beberapa bulan ini, sedang berdiri ditengah lapangan dengan sekuntum bunga mawar merah, bunga kesukaan Nesya, dan didepannya berdiri gadis cantik dengan rambut hitam yang terurai lurus.
“Ecaa!!” Teriakan cempreng itu membuyarkan lamunan Nesya seketika. Cewek itu berbalik dan menatap teman sekelasnya sebal.
“Apaan sih Res? Rusuh amat pagi-pagi gini,”
“Lo dicariin Niken tuh,”
“Ha? Ngapain?”
“Tauk. Katanya mau ngomong sama lo. Di perpus tuh. Gue duluan ya!” Cewek itu langsung ngacir meninggalkan Nesya yang masih setengah bingung. Nesya menghela nafas panjang. Sekali lagi, ia melirik ke tengah lapangan. Memandang wajah manis pangerannya yang sedang tersenyum bahagia sambil merangkul seorang gadis cantik disampingnya.
Dengan gontai, Nesya melangkahkan kakinya menjauh. Dibawanya kaki jenjang itu menuju perpustakaan. Nesya meremas rok abu-abunya. Ya Tuhan.. dia udah punya pacar batin Caca pedih. Tapi nggak papa. Gue bakal nunggu elo Ran.
Sampai didepan perpustakaan, Nesya melepas kedua sepatunya, meletakkannya di rak sepatu yang tepat berada disebelah kanan pintu, dan masuk dengan hati-hati. Berusaha seminim mungkin untuk menghasilkan suara. Perpustakaan ini dikenal ‘angker’ dengan penjaganya yang tak lain dan tak bukan adalah guru Bahasa Indonesia anak kelas dua belas. Jelas banget perpustakaan jadi serem. Wong setiap didatangi murid, si Ibu nggak pernah senyum. Bawaannya jutek mulu. Males banget jadianya.
Mata bundar Nesya bergerak-gerak liar. Menelusuri setiap rak perpustakaan yang menyembunyikan tubuh tinggi Niken. Teman sebangku sekaligus sahabatnya dari kecil. Nesya tersenyum tipis saat mendapati jepit merah yang melekat di poni seorang gadis tinggi. Niken memang penggila merah. Hampir semua aksesoris cewek itu berbau merah. Menyala. Persis seperti orangnya yang selalu ber’api’. Nesya mendekat. Di tepuknya lembut satu bahu teman sebangkunya itu.
Niken terlonjak. Tapi detik berikutnya cewek itu langsung mendengus begitu tahu siapa yang datang. Dengan gerakan dagu, Niken memerintah Nesya menduduki kursi yang tersedia disalah satu sudut perpustakaan. Nesya mengernyit. Diliriknya jam tangan merah tua dengan gambar elmo yang melekat manis dipergelangan tangan kirinya itu, jam setengah tujuh kurang sepuluh. Masih sempat.
Duduk berdampingan dengan dihalangi skat kayu di tengah-tengah meja, Nesya tidak melihat perubahan ekspresi Niken. Disebelahnya, Niken berusaha setengah mati menahan emosi. dikatupkannya rahangnya dengan keras, hingga menimbulkan gemertak yang diakibatkan gigi-gigi yang saling bertemu dan ditekan paksa.
“Lo masih nunggu?” Tanya Niken tanpa basa-basi. Cewek itu sudah geram dengan tindakan Nesya yang menurutnya Bego.
Nesya menghela nafas berat. “Ya,” Jawabnya singkat.
Jawaban singkat yang bisa membuat letupan gunung berapi dikepala Niken seketika meledak. Tanpa sadar, Niken meremas buku yang tadi dibacanya hingga remuk. Kenapa sih dia nggak pernah sadar? jeritnya dalam hati.
“Ca, ayolah. Sampai kapan sih, lo mau nunggu yang nggak pasti?” Niken menundukkan kepalanya dalam-dalam. Diam-diam menarik nafas dan menghembuskannya kasar. Jangan sampai Nesya melihatnya sedang murka begini.
Nesya menggeleng. Matanya menatap atap-atap perpustakaan sambil menerawang. Niken membisu. Beberapa detik kemudian, terdengar helaan nafas berat dari bibir Nesya. “Sampai semua itu pasti,” Gumam Nesya pelan.
Nesya bukan cewek bego yang mau menunggu tanpa kepastian. Tapi sorot mata Randy yang teduh dan menenangkan itu membuatnya yakin, kalau cowok tengil itulah yang dia cari selama ini. Pangeran berkuda putih dimasa kecilnya. Pangeran yang selalu mendorong ayunannya, pangeran yang selalu membelikannya eskrim dikala Nesya kecil menangis, pangeran yang membonceng Nesya kecil dengan sepeda hitam pekatnya, pangeran yang selalu menerbangkannya keawang-awang, pangeran yang menyelamatkannya dari gigtan anjing tetangga, dan pangeran yang selalu melindungi Nesya kecil.
“Elo bego!” Desis Niken tidak percaya. Dia mulai gelisah. Diliriknya jam tangan Nesya yang tepat berada disebelahnya itu, lalu dihembuskannya nafas berat sekali lagi. “Kita selesaikan dikantin.” Setelah mengatakan itu, Niken langsung bangkit dari duduknya, mengembalikan buku yang sudah setengah kusut akibat gengaman kasarnya tadi, dan melenggang pergi meninggalkan Nesya sendirian. Sendirian dengan kegalauan hati yang mulai kembali melandanya. Mundur, atau bertahan?
Selama pelajaran berlangsung, tidak ada satupun kalimat-kalimat panjang Bu Tun –guru Bahasa Inggris kelas X-3—yang masuk ketelinga Nesya, maupun Niken. Keduanya seakan larut dalam pikiran masing-masing, dan mulai berperang dengan perasaan vs logika. Setelah berjam-jam berlalu, dan dilalui Nesya serta Niken dengan berat, akhirnya bel istirahat bernyanyi dengan merdu. Kelas-kelas mulai memuntahkan isinya keluar. Segerombol anak laki-laki sedang merangkul satu sama lain. Tertawa sambil sesekali menjitak kepala teman mereka.
Niken menatap pemandangan itu dengan dingin. Sedangkan Nesya, mata indahnya itu tengah menatap kesatu titik. Titik yang menimbulkan taman bunga subur dihatinya. Titik yang selalu berhasil membuat hatinya bergetar. Sekaligus titik yang bisa langsung menghancurkan semangatnya. Nesya tersenyum gentir.
“Kita kekantin,” Sentakan Niken melemparkan Nesya kembali pada kenyataan. Dengan langkah lemas yang nyaris tanpa tulang, cewek itu berjalan melewati gerombolan cowok yang tadi sedang tertawa-tawa girang. Nesya mempercepat langkahnya begitu mendekati anak-anak itu.
Tapi naas, langkahnya harus terhenti sat tangan kirinya dicekal seseorang. Nesya langsung berbalik, niatnya ingin melemparkan berbagai makian pada tersangka. Tapi kalmia-kalimat makian itu berhenti ditenggorokkan. Nafasnya tercekat. Tubuhnya mendadak kaku, susah untuk bergerak. Dadanya meletup-letup. Randy sedang menatap Nesya dengan alis tertaut. Niken berbalik. Awalnya ingin menegur kawan semejanya itu agar mempercepat langkah. Namun detik itu juga, kedua mata belo Niken membelalak.
“Lo kenapa sih?” Suara berat itu seketika mencairkan kembali kekakuan Nesya. Cepat-cepat cewek itu menyentakkan tangannya agar terlepas dari genggaman Randy, dan cepat-cepat pula ia palingkan wajahnya yang merona.
“Maaf kita nggak kenal,” Bokis! Bohong banget kalo Nesya bilang dia tidak mengenali cowok itu. Fitnah! Nesya bahkan tidak tahu, kalau dia sudah memiliki semua info tentang cowok itu lebih dari yang dia lihat.
Kedua alis Randy semakin bertaut. “Masa sih? Tapi kok kayaknya gue kenal elo ya?”
Nesya tertegun. Didalam lubuk hatinya yang paling dalam, cewek itu berharap kalau Randy memang benar-benar pangeran berkuda putihnya yang selama ini hilang. Tanpa sadar, dada cewek itu menghangat. Menimbulkan semburat merah yang samar dikedua pipi mulusnya.
“Ca! Buruan!” Nesya tersentak. Buru-buru dipalingkannya wajahnya menghadap Niken. Nesya tahu, sahabatnya itu tidak menyukai Randy. Jangankan menyukai, Respect aja nggak.
“Iya Ken,”
Pertemuan singkat yang diam-diam membuat harapan Nesya semakin memuncak. Mendorongnya untuk tetap bertahan. Meruntuhkan segala pertahanannya untuk melepas cowok itu. Nesya dan Niken duduk disalah satu pojok kantin. Mereka berdua memutuskan untuk memesan siomay. Makanan yang tidak terlalu ringan, juga tidak terlalu berat. Sambil melahap makanannya, Niken mengawasi teman semejanya itu dari sudut mata.
Begitu melihat senyum sahabatnya itu tak kunjung memudar, Niken menghela nafas pelan. Entah apa yang harus ia katakana sekarang.
Selesai melahap makanan masing-masing, di sisa 5 menit terakhir, Niken menggandengan Nesya menuju kolam kecil dibelakang sekolah. Hening sejenak. Niken masih dilanda kebimbangan yang amat sangat. Sedangkan Nesya, cewek itu sudah lama tenggelam dalam dunianya sendiri.
“Lepasin dia Ca,” Ucap Niken lirih. Nesya tersentak. Ditatapnya Niken dengan mata menyipit. “Kenapa?”
“Dia bukan buat lo. Dia bukan pangeran lo.”
Nesya tertawa mendengus. Terdengar sangat miris. “Tau apa lo?” Tanyanya kalem. Niken menghela nafasnya berat.
“Tau semuanya,”
“Apapun yang lo tau tentang dia, itu nggak sebanding dengan aoa yang gue tau tentang dia,” Tutur Nesya masih dengan nada kalem yang tenang.
“Terserah lo. Yang penting gue udah kasih tau,”
Lagi-lagi, untuk yang kedua kalinya dalam satu hari, Niken pergi meninggalkan Nesya begitu saja. Nesya yang sedang bahagia, Nesya yang sedang terbang keawang-awang, dan Nesya yang sudah buta.. Buta akan cintanya pada Randy dan terobsesi pada mata teduh cowok itu. Klasik kan? YA! Dan itu yang membuat Niken rasanya ingin sekali membunuh Randy.
--------------------------
Saat semuanya terjadi. Dimana aku yang selalu menunggumu tahu semuanya, semua yang kamu lakukan dimasa lalu. Hatiku patah. Hancur berkeping-keping. Ini semua ulahmu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
-------------------------
Besoknya, jam istirahat pertama, Nesya langsung diseret kegudang oleh teman semejanya itu. Awalnya Nesya berontak keras. Tapi ketika rentetan kata yang membentuk sebuah kalimat keramat itu terucap, perlawanannya mendadak berhenti. “Ini tentang Randy,” Singkat, padat, dan tidak terlalu jelas, tapi mampu membekukan setiap berontakan yang ia lakukan. Akhirnya, dengan pasrah Nesya mengikuti Niken yang berjalan seperti dikejar setan.
Pintu ditutup. Kepekatan gudang muai terasa. Bunyi-bunyi nyanyian cicak mulai terdengar dimana-mana. Nesya bergidig. Badannya mendadak merinding.
“Ken, kita ngapain sih kesini?”
Niken bergeming. Diam sambil menatap Nesya lekat-lekat. Didalam kegelapan, dan kesibukannya menjauhkan diri dari cicak, Nesya tidak melihat ketegangan urat-urat yang terlihat jelas di wajah Niken. Niken tidak mengindahkan pertanyaan itu. “Lo masih mau nunggu?”
Nesya mendengus sebal, lalu dihentakkannya satu kakinya keatas keramik. Menimbulkan suara bedebun kecil yang mampu menyentak Niken. “Lo mau ngomongin itu lagi? Kan udah jelas, gue bakal nunggu dia sampe ada kepastian!!” Ucapnya kalap. Nesay sampai tersenggal. Emosinya ikut tersulut menyaksikan ketidaksukaan Niken terhadap Randy.
“Kalo gue bilang dia mantan kakak lo, lo percaya?” Masih tidak mengindahkan amarah Nesya, Niken kembali bertanya. Kali ini dengan nada super lembut yang nyaris tidak terdengar.
Nesya tertawa sinis. “Kakak siapa maksud lo? Dia udah bunuh diri demi cowok brengsek yang gue pun nggak tahu siapa dia!”
“Kalo gue bilang dia mantan kakak lo, lo percaya?” Niken mengulang kembali pertanyaannya. Pertanyaan yang menyentil hati Nesya begitu saja. Membuat reaksi cewek manis ini lebih histeris lagi, mengingat sang kakak –yang dianggapnya—bodoh itu rela bunuh diri demi cowok Bengal yang tidak beradap.
“Nggak usah ungkit-ungkit itu!! Randy beda Ken!! Beda!!” Sekali lagi, dengan nada kalap yang mencapai taraf histeris, cewek itu berteriak. Niken diam. Cewek itu menatap Nesya dengan intens. Memang inilah kenyataannya. Cowok yang ditaksir Nesya dan dipertahankannya mati-matian, adalah cowok yang sama yang berhasil membuat kakaknya melakukan tindakan bodoh semacam bunuh diri.
Niken menghela nafas berat. Membiarkan teman semejanya itu terus berteriak. Setelah teriakan itu mereda, Niken baru buka mulut lagi. “Ini kenyataan yang memang nggak bisa lo sangkal. Berhenti nunggu dia, kalo perlu bunuh sekalian perasaan lo ke dia, kalo lo nggak mau berakhir tragis kayak kak Maya.”
Nesya sudah akan mengeluarkan makiannya lagi, hingga saat itu juga nafasnya tercekat. Mantan almarhumah kakaknya memang Randy. Cowok Bengal yang hobinya keluyuran dan dugem. Nesya tahu. Tapi, tidak pernah ada setitik pun kecurigaan terhadap Randy-nya. Nesya yakin kalau Randy kak Maya bukanlah orang yang sama dengan Randy-nya. “Lo bohong.” Setelah sekian lama diam, hanya itu yang keluar dari bibir mungil Nesya.
“Gue serius. Dia berubah karena tahu kalau Kakak lo meninggal itu murni gara-gara dia.” Tajam dan menusuk. Nada bicara Niken yang tak terbantahkan itu membuat tubuh Nesya terhuyung. Seketika itu juga, dia sudah tidak perduli lagi dengan cicak-cicak yang berkeliaran dibelakang punggungnya. Niken menghela nafas. Walau sakit, ini memang harus terjadi.
“Udah bel. Ayo gue ante lo ke UKS.”
Tanpa bisa menolak, Nesya mengikuti Niken yang kini sedang merengkuh tubuhnya hangat. Hati-hati, cewek berambut panjang itu menidurkan Nesya di salah satu ranjang UKS. “Sil, titip Nesya dulu. Gue mau ke kantin beli teh anget.”
Silvi, anak PMR yang kebagian jaga hari ini hanya mengangguk.
Tak lama, Niken datang dengan segelas teh mans hangat, juga sebungkus roti coklat yang baru saja dibelinya dikantin.
Dengan telaten, cewek itu menuntun Nesya agar bisa duduk dan meminum teh hangatnya dengan nyaman. Setelah yakin bahwa Nesya baik0baik, Niken kembali melaksanakan aksi ‘bombardirnya’. “Lupain dia Ca. Banyak cowok lain yang suka sama lo, yang sayang sama lo, yang tulus sama lo. Lupain Randy. Sampai kapanpun, lo sama dia nggak bakal bisa satu.”
Nesya diam. Mencoba mencerna kembali kejadian yang baru saja dialaminya, dan memahami kembali setiap untaian kata yang keluar dari bibr Niken.
“Gue coba,” Gumamnya lirih. Niken menatap sahabatnya dengan senyum lega yang mengembang.
-----------------
Ketika aku tahu kalau aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita, biarkan hatiku yang menyimpannya. Menyimpan semua hangat cengraman kelima jarimu, menyimpan semua ekspresi wajahmu, dan menyimpan suara merdumu. Biar semua kusimpan di sini. Di sudut special di dalam hatiku. – Nesya
---------------------
Sejak peristiwa dua hari yang lalu bersama Niken, Nesya menekan mati-matian setiap kali keinginannya melihat sang pangeran itu muncul. Sambil dibantu Niken, perlahan cewek itu mulai bangkit. Bangkit dengan Nesya yang baru. Ceria tapi murung. Bahagia tapi hampa. Itulah dirinya sekarang. Nesya yang hidup tanpa balutan Kasihnya yang dulu. Tapi tidak juga menyesali keputusannya untuk mundur. Semua demi kebaikkan fisiknya. Juga hatinya, tentu saja.
Biarkan semuanya mengalir. Mengalir seperti sungai yang tidak akan pernah kering, yang juga sama seperti sayangku padamu. Biar hanya Tuhan dan aku yang tahu, kalau aku benar-benar mencintaimu. Akan kusimpan baik-baik hangat cengkraman tanganmu itu. Cukup aku. Aku dan hatiku. Selamat tinggal Randy. Selamat tinggal pengeran berkuda putihku. Semoga kamu bahagia, dan menemukan tempat berlabuh yang akan menjadi tempatmu berhenti selamanya.
8 bulan yang sia-sia. 8 bulan yang menguras tangis dan tawa. 8 bulan yang diwarnai bunga hati dan torehan luka yang juga menyertai. 8 bulan yang tidak menghasilkan apa-apa... And last, I Still Loving You..
AAAHHHHH AKHIRNYAA!
Sesuai request, Nesya Irianis. Si penggemar Randy –yang gue nggak tahu nama lengkapnya siap—dan berhasil mendapatkan mention si Artis sebanyak 2 kali! Waaah selamat babe :*
Huehehe.. nih udah gue post ya. Sorry sad ending. Masalahnya di kepala saya lagi berputar ide sad ending. Muuph yak. Semoga sukalah. Happy reading Nes! Promosi jangan lupaa! Hehehe.__.v
Eh iya, typo[s] manusiawi ya mbak. Ehehe.. maapin sekali lagi...
Apalagi kalo jalan ceritanya kecepetan. Map banget-_- apalagi kalo nggak nge-feel. Wah, lebih minta maaf ya hehe
Cheers!
Salam hangat oenulis amatir, @artsitaaa
Komentar
Posting Komentar