Not Easy [1]
Pagi-pagi sekali, sebelum berangkat ke sekolah, Ify sengaja menghubungi Sivia. Memberitahu teman sebangkunya itu agar menunggunya di halte bus dekat sekolahan. “Vi, lo tungguin gue di halte ya. Jangan ke gerbang dulu!”
“Iya bawel.”
Sepuluh menit kemudian, motor Riko sudah berhenti tepat didepan Sivia. Ify langsung melompat turun, dan menghampiri Sivia dengan cengiran lebar. Sedangkan Riko sudah menancap gas setelah Ify turun dari motornya tadi. Tidak mengucapkan satu patah kata pun.
Sejak kejadian kemarin, Ify nggak berani lagi pergi ke sekolah sendirian. Dan hari ini, hari pertamanya mereka –sivia Ify—memakai seragam putih-abu-abu resmi! Tapi sayang, mimpi Ify untuk memulai masa abu-abunya yang ceria mendadak langsung lenyap begitu ingat tampang Rio –si ketua OSIS temperamental itu—yang marah besar padanya. Rio persis seperti monster! Bukan lagi seperti pangeran-pangeran negri dongeng yang diceritakan Nova, tetangganya, sekaligus kakak kelasnya dan kakak kelas Rio.
“Kita jalan nih?” Tanya Sivia memecah keheningan. Ify menangguk. Wajahnya memucat tanpa sadar. Sivia menatap Ify dengan alis tertaut. “Lo sakit Fy?”
“Hah? Oh nggak kok. Gue biasa aja..”
“Biasa gimana? Muka lo pucet tuh!”
Ify hanya meringis. “Gue takut sama kak Rio. Hehe”
Sivia mendengus malas. “Kak Rio doang ini. Bukan setan!”
Ify buru-buru menyahut. “Eh, tapi gue lebih bersyukur digangguin sama setan deh, ketimbang sama si item cungkring itu. Beneran Vi!” Seru Ify reflex.
Sivia tertawa. “Ah, canda lo!”
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sampai di depan gerbang, kedua cewek itu masuk dengan tatapan waspada. Pak Asro, satpam sekolahan mereka, sampai bingung melihat aksi kedua siswi yang persis seperti detektif nyasar itu. Pelan, disentuhnya bahu Ify. Ify yang dari tadi sudah berada di posisi siaga 1, meloncat kaget saat mendapat serangan mendadak. Kontan cewek itu langsung memekik. Sivia –juga beberapa murid yang lewat—ikut menoleh.
“Ya ampun! Bapak ngagetin saya aja!” Katanya sambil mengelus-elus dada. Pak Asro hanya menampakkan cengiran kudanya sambil memandang Ify bingung. Begitu juga beberapa murid yang kebetulan sedang lewat disekitar sana.
“Neng kenapa ya? Kok jalannya kayak kucing mau ngambil ikan gitu sih neng?” Tanya Pak Asro to the point. Ganti Ify yang sekarang nyengir. Cewek itu langsung menatap Pak Asro dengan pandangan yang mendadak berubah serius. Mendekatkan wajahnya kea rah sang satpam sambil memasang ekspresi menegangkan.
“Kita lagi dikejar-kejar buronan pak!” Seru Ify penuh penekanan. Pak Asro mengerutkan kening. “Lho? Kok dikejar buronan? Harusnya kan kita yang mengejar buronan Neng.” Ify menggeleng-geleng kepala. Sok mendramatisir keadaan.
“Nggak pak. Sekarang udah jaman canggih. Nggak mungkin kan bapak ngejar buronan dengan tangan kosong?” Pak Asro menggeleng. Ify langsung menjentikkan jarinya sambil berseru penuh semangat.
“Nah! Itu pak! Itu! Buronan itu pasti bawak senjata tajan kan?! Maka dari itu, kita harus selalu siap siaga menghadapi buronan macam si..........” Kalimat Ify mendadak berhenti saat suara berat itu menyahut.
“Kayak siapa? Buronan mana yang lo maksud? Hmm?” Sahut Rio dengan wajah santai. Kedua tangan cowok itu disembunyikan dibalik saku celana. Senyumnya maaaaaaaaaaaannnnnnnnnnniiiiiiiiiiiisssssssssss banget, buat orang yang nggak normal seperti kerumunan-kerumunan ini. Tapi buat Sivia dan Ify, itu lebih persis seringai daripada senyum.
Ify menelan ludah. Semangatnya yang tadi berkobar-kobar mendadak padam begitu saja. Sivia masih belum sadar. Mungkin terlalu syock untuk menyadari Sang Ketua OSIS, juga jongos-jongosnya yang sama bejatnya itu, sudah nangkring didepan mereka.
“Eung.. Itu.. kayak si.. Eng.. Fattanah! Iya iya, fatannah! Yang banyak selingkuhannya itu loh! Bapak tau kan?” Ify menodong Pak Asro secara tiba-tiba. Membuat lelaki paruh baya itu nyaris terjungkang, kalau saja Gabriel –salah satu jongosnya Rio—tidak buru-buru menahan pinggang besar si Bapak. Pak Asro langsung berdiri, mengucap terimakasih sekilas pada Gabriel –yang dibalas dengan anggukan oleh cowok itu—dan langsung menghujan Ify dengan tatapan tajam. Ify nggak peduli. Lebih baik ditatap tajam sama Satpam daripada sama si Rio!
“Ngeles aja lo. Ikut gue!” Rio meraih pergelangan tangan Ify, dan langsung menarik gadis itu dari gerbang. Sivia yang baru saja sadar hanya bisa meneriaki nama teman sebangkunya itu tanpa bisa berkutik. Cakka –termasuk salah satu jongosnya si Rio— sudah menjaganya. Menghadang jalan Sivia dengan cara menelentangkan tangan lebar-lebar, sambil memasang muka imut.
“Minggir lo!” Bentak Sivia serta merta. Tapi semua itu sia-sia. Sekarang bukan hanya Cakka yang menghadangnya. Tapi juga Gabriel dan Alvin! Lengkap sudah jongos-jongos Rio itu sekarang. Sivia hanya bisa menghela nafas kasar.
Sesaat, Gabriel baru sadar kalau mereka sudah menjadi objek tontonan pagi ini. Dengan gaya yang tetap staycool, cowok itu menegur keras. “Kami bukan tontonan! Udah, bubar sana!”
Dan seketika itu juga, kerumunan-kerumunan disekitar gerbang langsung bubar dengan bisik-bisik heboh. Sibuk menganalisis dan mengeluarkan pendapat mereka masing-masing.
“Eh, kayaknya Si Rio naksir Ify deh,” atau “Kayaknya nggak deh. Rio mana mau sama Ify? Orang si Ify-nya kecil gitu.” Dan masih banyak lagi hipotesis-hipotesis lain yang membuat kuping Sivia jadi panas.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Susah payah Ify mengikuti jalan Rio. Cowok jangkung itu membawanya dengan langkah kesetanan. Persis seperti orang yang sedang dikejar-kejar utang, dan kalau nggak bisa bayar, taruhannya itu nyawa! Dongkol, Ify berteriak. “Pelan-pelan dong kak!”
Rio bergeming. Dia masih terus menggandeng Ify sambil melangkah gila-gilaan. Beberapa murid yang ada dikoridor utama menatap mereka heran. Terutama para angkatan-angkatan senior yang lebih lama mengenal Rio.Mereka tahu, Rio tidak pernah mau berhubungan dengan yang namanya cewek. Menyentuhnya saja mungkin cowok itu agak segan. Tapi bukan berarti dia Gay juga. Beberapa malah mencibir. “Alah. Paling cewek itu aja yang sok ngelawan. Jadi Rio sebel deh. Terus dia gandeng tu cewek. Akhirnya tu cewek dimasukkin ke gudang dan dikunci.”
Mendengar itu, Ify kontan melotot. Dengan paksa dan –tentu saja—penuh tenaga, dihempaskaskannya tangan Rio kuat-kuat, sampai akhirnya genggaman mereka terlepas. Ify melangkah mendekati cewek yang mencibirnya tadi dengan muka merah padam. Nahan marah! Tangannya sudah terangkat. Siap menunjuk-nunjuk –atau mungkin mencakar sekalian—wajah sok polos didepannya.
“Eh, denger ya! Gue nggak sudi banget cari perhatian sama ketua OSIS macem si Rio itu! Nggak mutu!” Amuk Ify seketika. Beberapa orang menatapnya congo. Lalu dengan kompak, kumpulan orang-orang kepo itu langsung berpaling menatap bedge milik Ify. Dan saat itu juga mereka makin congo. Kelas 10 coy! Guelaaa!
Rio berdecak. Buru-buru dihampirinya cewek itu, dan kembali ditariknya lagi pergelangan tangan kecil Ify menjauh dari sana. Ify hanya bisa mengikuti dengan pasrah. Tidak lagi banyak protes. Karena semakin dia protes, cengkraman tangan Rio makin keras mencengkramnya!
Sekitar 5 menit kemudian, Ify sudah berdiri tepat didepan gedung setengah jadi yang terletak tepat dibelakang kantin sekolah mereka. Rio langsung melepaskan cengkramannya dan menghujan cewek kecil itu dengan tatapan dingin. Ify mengalihkan pandangannya kearah lain. Sengaja menjauhi tatapan mengerikan dari Rio yang pasti akan membuat nyalinya mendadak ciut sampai habis! Rio mendesah. Mulai gelisah dengan kelakuan Ify yang jelas banget mau nantang.
“Lo nantang gue ya?!” Desisnya dengan nada tajam. Ify buru-buru menoleh dan menatap kedua bola mata hitam pekat didepannya. Dia terpaksa mendongak –yang kesannya dapet banget kalau nantang!—karena Rio lebih tinggi darinya.
Ify menatap Rio lekat-lekat sebelum akhirnya berkata tegas. “kalo buat yang ciuman itu, bukan gue! Itu suruhan Kak Angel kok!” bodo amatlah kalo kesannya gue nantang. Batinnya. Udah nyemplung. Sekalian basah aja! Masih bertahan dengan posisi yang sama, Rio menyipitkan lagi matanya.
Seolah-olah sedang menghakimi Ify dan ingin membuat cewek itu mengatakan hal yang sebenarnya, dan memang benar adanya. Tapi Ify masih bertahan. Tidak gencar dengan tatapan Rio yang semakin lama semakin menajam. Kenapa harus takut kalo nggak salah?
Dengan paksa, Rio akhirnya menyerah juga. Matanya ia alihkan kearah lain. Mungkin pepohonan yang belum sempat ditebang itu lebih baik dipandang daripada sepasang bola mata yang memancarkan kobaran api perlawanan di depannya sekarang.
“Udah kan? Puas kan?! Permisi, gue mau sekolah!” Ify mengambil langkah seribu. Tapi sayang, langkahnya seribunya yang baru saja ia lakukan tiga langkah itu harus berhenti saat Rio mencengkram kuat-kuat pergelangan tangan kirinya. “Lo nggak bisa pergi gitu aja dari gue!” Ify menatap Rio dengan kilatan protes yang tergambar jelas dikedua bola matanya. “Elo siapa?! Emak gue?!” Balasnya tak kalah kasar.
Rio mengatupkan rahangnya keras-keras. Kalau saja yang sedang berhadapan dengannya bukan seorang cwek mungil dengan tampilan super imut, mungkin Rio sudah dengan suka rela memberikan bogem mentahnya tepat dibibir orang itu. Rio menarik nafas dalam-dalam. Mencoba untuk kembali meredam emosinya yang sudah tersulut, dan hampir terbakar! Sekali lagi, dihujanmya Ify dengan tatapan super mematikan. Super! Tapi cewek yang ditatap malah mendongak.
Sialan! Desis Rio dalam hati. Ni cewek bener-bener mengibarkan bendera perang kayaknya!
“Apa?! Gue nggak takut sama mata lo! Mau gue colok?!” Tantang Ify sambil mengangkat dua jari tangannya yang bebas. Rio terperangah. Tidak menyangka kalau reaksi Ify lebih ganas dari yang dia kira. Buru-buru dia mengubah air mukanya. Memasang kembali kesan dingin dan kaku milik Mario Stevano. Ketua OSIS SMA Veritas.
Setelah berhasil bebas dari tawanan Cakka cs, Sivia langsung melesat pergi. Menelusuri setiap sekolah dengan wajah panic dan ketakutan. Sepasang kakinya melangkah cepat menerjang beberapa orang yang lewat. “Kalau sampai si Ify kenapa-napa, gue buat abis tu orang!” Gumamnya geram.
Pencarian Sivia hanya menghasilkan berbulir-bulir keriangat dan rasa letih yang mulai merayapi tubuhnya. Sekolah sebesar SMA Veritas sudah ia jelajahi satu persatu, anak-anak yang kebetulan lewat, atau kebetulan menawarkan bantuan, sudah ditanyanya semua! Tapi tidak ada yang tahu kemana Rio si Ketua OSIS Tempramental itu membawa teman sebangkunya! Sangking kalutnya, Sivia sampai mendobrak pintu kelas XI IPA 3 dengan kasar. Tatapannya langsung menerjang sepasang bola mata Gabrial yang kebetulan sedang duduk tak jauh dari tempat Sivia berdiri.
Seperti biasa, dengan langkah tenang dan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku seragam, Gabriel menghampiri Sivia dan langsung bertanya dengan nada dan intonasi tenang. Bahkan mungkin cenderung datar. Sivia menatap Gabriel dengan aura kebencian. “Dimana temen gue?!”
Seluruh mata yang menyaksikan adegan itu hanya bisa bengong. Kenapa adek kelas jaman sekarang hobinya nantang?! Dikira mereka lagi main sinetron apa! Belum sempat Gabriel manjawab, sebuah suara melengking sudah lebih dulu memenuhi gendang telinga Sivia. “Heh anak kelas 10! Nggak usah belagu deh lo. Lo itu baru adek kelas. Berani-beraninya ya, lo bentak kakak kelas?! Punya nyali berapa lo?!”
Gabriel tersentak. Sivia mengalihkan pandangannya dari Gabriel, dan menatap cewek yang kini sudah berdiri tepat didepannya itu dengan aura neraka. Tidak ada takut-takutnya sama sekali! “Maaf kak, saya nggak punya urusan sama kakak.” Jawabnya kalem. Gabriel tertegun. Bener-bener ni cewek. Batin Gabriel –mau tidak mau—takjub dengan kemurkaan Sivia. Nggak ada matinya! Mental baja juga dia.
Dea –cewek tadi—jadi geram sendiri. tangannya sudah terangkat keatas. Siap menampar pipi mulus Sivia dengan tamparan maut. Tapi, belum sempat tamparan itu melayang, tangan Gabriel sudah lebih dulu mencengkramnya lembut. “Dea sayang, kayaknya ini urusan gue aja ya?” Tak lupa sebuah senyum manis dan kedipan mata genit untuk melengkapi aksinya menjauhkan Dea, Gabriel melanjutkan. “Urusan kita nanti dikanting.” Gabriel menurunkan tangan Dea, dan mengecup punggung tangan cewek itu dengan mesra. Sivia tersentak. Nyaris saja muntah didepan umum kalau saja dia tidak ingat tujuan utamanya.
Dea tempak tersenyum malu-malu, lalu balas mengecup pipi Gabriel dengan mesra. Nggak ada yang protes. Semua tahu, Gabriel memang playboy kacangan yang akan dengan senang hati menyerahkan pipinya untuk bibir-bibir seksi yang iseng mampir. Tapi tidak untuk bibir! Dengan senyum manis, Gabriel mengantar Dea dengan tatapan lembutnya, dan setelah cewek itu sampai, tatapannya beralih pada sepasang bola mata yang menatapnya dengan tatapan meremehkan.
“Gue nggak tahu kemana Rio. Bisa kita bicara di kantin?”
Sivia kontan tertawa keras-keras. “HAHAHA, nggak perlu! Gue permisi!” si Rambut ikal itu akhirnya berbalik badan dan pergi. Meninggalkan Gabriel yang masih terpaku tepat didepan pintu kelasnya sendiri, dan meninggalkan tanda Tanya besar dibenak setiap penonton yang menyaksikan semua adegan dari awal sampai akhir. No iklan! No jeda! Dunia memang benar-benar sudah berputar.
Komentar
Posting Komentar