Yes! [Cerpen]



“Ify, would you be my girl ? now and forever for me?” Kata-kata itu terus mengiang dikepalaku. Ah, bolehkah aku egois? Sebentar saja. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya dicintai. Terlebih oleh orang yang juga aku cintai. Ingin rasanya aku berkata ‘Ya’ saat itu juga. Tapi apa? Segala resiko yang akan aku dan dia tempuh segera berputar diotakku.

Flashback

Hembusan angin pantai segera menyambutku. Menerbangkan rambut pirangku dengan lembut. aku memejamkan mata. Merasakan sentuhannya yang kasat mata dan begitu menenangkan. Masih dengan seragam kantor yang aku kenakan, aku menelusuri pasir putih dengan riang.

Disampingku berdiri tegap sosok Mario. Cinta diam-diamku selama masa SMA. Bagaimana kami bisa berada disini sekarang? Entahlah. Aku juga kaget saat mendapati laki-laki itu sudah berdiri tegap dipintu keluar kantorku.

Dia bilang, ada sesuatu hal yang ingin dikatakannya. Aku hanya mengikuti saja. Toh, tidak ada ruginya aku berada dimobil mewah milik keluarga Haling, dan ‘berjalan-jalan’ dengan salah satu mahkota keluarga terpandang itu.

Rio menepuk-nepuk batang kayu besar panjang yang menjadi tempat dudukku. Setelah yakin kayu itu pantas untuk diduduki, dia langsung menjatuhkan bokongnya dengan nyaman. Aku hanya duduk diam disampingnya. Masih bergeming menatap langit sore yang hamper berubah warna.

“Kamu suka?” Tanyanya pelan. Aku mengangguk tanpa mengalihkan pandanganku pada langit dan laut lepas didepan sana. Rio tampak menghela nafas. “Apa langitnya segitu keren ya, sampai aku kamu anggurin?”

Aku menoleh kearahnya seraya mengangkat satu alisku tinggi-tinggi. “Entahlah. Rasanya lebih menarik langit-lagit itu dari pada kamu,” Dustaku. Bukan. Bukan karena aku tidak tertarik untuk melihat wajahnya. Aku hanya sedang berusaha. Berusaha untuk tetap bernafas dan berfikir dengan akal sehat. Siapa yang kuat melihat wajah Mario lama-lama?

Lekukan wajahnya itu hamper mirip dengan sketsa tokoh kartun manga. Rahanya yang keras dan tegas, bibir tipisnya, hidung peseknya, dan mata sayunya yang tajam. Dia nyaris terlihat sempurna dimataku. Mungkin bukan hanya aku, tapi juga para wanita yang sudah melihatnya.

Aku kembali mengalihkan pandangan kearah laut dan langit yang sepertii bersatu. Hey! Ada kepiting disana. Aku mengarahkan telunjukku kedepan sana. Lidahku rasanya kelu untuk hanya sekedar menyebutkan nama binatang kecil itu. Aku terlalu takjub. Corak putih coklatnya itu berhasil menghipnotisku seketika.

Rio menoleh kearah telunjukku dan sedikit terlonjak. “Itu kepiting!” Serunya bersemangat. Aku hanya mengangguk-angguk cepat. Tapi sepertinya Rio tidak berniat mengejar binatang kecil itu, mengambilkannya, dan memberikannya padaku. Rio bukanlah cowok romantic yang akan melakukan hal-hal aneh yang bisa membuat para wanita terbang.

Rio adalah rio. Cowok dingin yang cuek dan terkenal tidak punya hati. Itu sih waktu SMA, entah kalau sekarang. Aku tidak begitu mengikuti perkembangannya sejak tahu kalau dia telah dijodohkan dengan Ashilla. Anak rekan bisnis papanya.

Aku kembali memejamkan mata. Menikmati semilir angin yang semakin lama semakin menusuk tulangku. Rio tampak bergeming. Mungkin sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Aku mau bicara sama kamu,”

Suara bariton itu memaksaku untuk segera membuka mata. Aku menoleh dan menatapnya bingung. Oh gosh! Dari samping saja mukanya masih terlihat sempurna. Aku paling suka bagian rahang Rio. Tegas dank keras.

Aku mengalihkan pandangan. Malas menatapnya lama. Bisa-bisa aku gila karena terlalu terobsesi pada rahang laki-laki kurus itu. “Ngomong aja lagi,”

Rio bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan kearahku, dan perlahan berlutut. Aku menatapnya bingung (lagi). “Kamu mau ngapain?” Kugerakkan kepalaku kekanan dan kekiri cepat-cepat. Takut kalau ada orang yang sedang memata-matai kami dan mengadukannya pada ayah Rio yang ganas itu.

Rio tampak bergeming. Lutut kanannya sengaja ia sentuhkan dengan pasir. Sedangkan telapak kaki kirinya ia gunakan untuk menopang badan kurus tingginya itu. Dia menatapku lamat-lamat. Seakan akan aku adalah buronan wanita yang tidak disangka-sangka telah melakukan kejahatan besar.

“Rio, Kamu ngapain?” Aku mengulang pertanyaanku untuk kedua kalinya. Berharap laki-laki di depanku ini segera menjawab dan berkata, ‘aku hanya acting untuk persiapan melamar Shilla besok,’. Yah, walaupun sakit, tapi mungkin ini sudah takdir.

“Fy, kamu percaya nggak, kalau cinta itu tidak harus memiliki ?” Wajah tampannya kini terlihat begitu polos saat menanyakan prihal Cinta tak harus memiliki. Ingin rasanya aku tertawa melihat wajah itu. Ah, tapi mana mungkin? Aku  harus menjaga perasaannya.

“Yah.. Percaya sih. Nggak semua cinta itu harus memiliki,” Jawabku seadanya. Rio masih menatapku lamat-lamat. Aku jadi risih sendiri.

“Kalau, cinta diam-diam?” Aku nyaris saja jatuh terjungkang saat mendengar pertanyaan Rio. Cinta diam-diam? Jangan bodoh! Banyak orang yang mengalami hal ini, termasuk aku. Dan dia bertanya apakah aku percaya tentang cinta diam-diam? Laki-laki ini benar-benar tidak peka.

“Eung... Ya percaya lah! Banyak kok yang ngalamin cinta diam-diam!” Aku menjawabnya dengan nada yang sedikit naik beberapa oktaf. Jujur saja, jantungku kini sudah bekerja tiga kali lebih cepat dari normal. Perasaanku mendadak tidak enak.

“Termasuk kamu?” Rio terkekeh pelan. Lagi-lagi, aku nyaris jatuh terjungkang kalau saja tidak ingat aku sedang menggunakan rok selutut yang merupakan seragam kerjaku. Mataku melotot maksimal kearahnya.

“Kenapa aku?” Tanyaku –sok- heran. Aku tidak akan pernah memafkan Sivia –sahabatku sejak SMA yang sekarang satu rumah dengaku—kalau sampai anak itu memberitahu pada Rio tentang perasaanku.

Rio berdiri. Memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana kerjanya, dan berbalik meninggalkan aku dengan sejuta kebingungan. “Jangan pernah berfikir kalau aku nggak peka.” Samat-samar aku mendengar suara bariton nya yang mulai menjauh untuk. Dengan rasa penasaran yang sudah naik ketingkat yang lebih tinggi, aku bangkit dari dudukku dan berlari kecil mengejar langkah-langkah besarnya.

Setelah berhasil menyamakan langkah, aku langsung menghujamnya dengan tatapan tajam dan heran yang bercampur menjadi satu. Ujung rambut cowok itu tampak terbang dihempaskan angin pantai. Ah, dia tidak berubah. Masih berpenampilan urakan seperti dulu.

“Apa maksud kamu?” Tanyaku tidak sabar. Rio menyunggingkan senyum tipisnya, lalu menoleh kearahku tanpa mengubah posisinya berdiri.

“Kamu.. Cewek imut berkacamata yang selalu meletakkan air mineral dibangku penonton di dekat tasku saat aku latihan basket. Iya kan?” Kini senyum tipi situ berubah menjadi lebar. Aku menelan ludah pasrah. Jadi.. selama 3tahun ini.. dia tau kalau aku mencintainya diam-diam? Aku masih diam. Menunggu kalimat-kalimat lain yang akan segera meluncur dari bibirnya.

Rio berjalan santai lagi. Aku mengikutinya dalam diam. Tidak berani berkata apa-apa. “Kamu.. anak teater yang selalu menyematkan surat dengan amplop biru –warna kesukaanku—yang berisi puisi-puisi penyemangat.”

Sial! Sekarang aku seakan terlempar kemasa lalu. Aku, gadis berkacamata yang memang sering dipanggil marmut –karena badanku yang kurus dan kelewat kecil—. Aku pengagum Mario. Kapten basket sekaligus teman seangkatanku itu.

Memang, aku selalu menaruh air mineral –yang sengaja aku beli sebelum berangkat sekolah—didekat tas latihannya. Dulu aku sempat khawatir. Tapi dengan modal tekad yang ada, aku memberanikan diri. Hari pertama berhasil, dan begitupula seterusnya.

Aku, anak teater yang selalu menyematkan surat dengan amplop biru di  loker Rio. Ya! Sebagai anak teater yang jadwal latihannya setiap hari, aku selalu menyelipkan surat yang berisi puisi-puisi –yang menurutku—kampungan itu ke dalam loker Rio setiap pulang latihan.

Tapi aku tidak pernah tahu kalau yang punya loker bisa menditeksi jejakku. Aku masih diam dan bergelut dengan pikiran masa lalu, hingga suara berat nan seksi itu kembali memecah kediamanku. “Kamu juga kan, yang selalu memotret seluruh gerakkanku dengan kamera jadulmu itu?” Aku meneguk ludah lagi. Pasrah saja kalau sudah disudutkan seperti ini. rio benar. Akulah fotograper gadungan yang selalu membawa kamera jadul kemana-mana, dan memotret seluruh gerak-gerik pangeran hatinya.

Aku menoleh kearah Rio sambil merengut sebal. Pasti Sivia yang sudah membeberkan semuanya. Awas saja anak itu. Akan aku cabut restu yang telah aku berikan untuknya dan Alvin –tunangan Sivia—! Berani sekali dia!

“Kamu tahu dari mana?!” Tanyaku dengan nada yang jelas sekali sewot. Rio tertawa puas melihat ekspresiku. Entah ekspresi apa yang aku pasang sekarang. Aku tidak peduli. Rasanya malu, sebal, marah, aah! Semuanya deh!

Rio masih tertawa saat aku memukul keras lengan kanannya. “Hmmpp.. Buahahahah! Muka kamu kocak banget Fy!! Huahahah!”

“RIO!”

Rio menutup mulutnya dengan tangan. Mungkin sedang mencoba meredakan tawa nya yyang menurutku sangat kurang ajar itu. Aku melipat kedua tangan didepan dada. Ngambek abis! “Aku itu nggak pernah pulang sebelum sekolah sepi,”

Aku mengernyit. Terus? Kalau begitu, berarti selama aku menyelipkan surat-surat itu, aku tidak sendiri ? dia selalu mengawasiku? Sial! Mau taruh dimana mukaku setelah ini. Ah!

“Muka kamu merah tuh,” Katanya kalem. Aku melotot ganas kearah laki-laki itu. Tapi yang dipelototi hanya diam dan tidak melakukan reaksi apapun. Anak ini benar-benar tidak bisa ditebak. Dari dulu.

“Nggak usah godain aku terus. Jadi, selama ini kamu tahu?” Tanyaku datar. Ehem. Sedikit menebalkan gengsi tidak salah kan? Eheh.

“Ya! Seperti yang aku bilang. Aku nggak terlalu bodoh untuk selalu menerima air minum dan surat darimu setiap hari.”

“Aku menghela nafas pasrah. Habis sudah harga diriku dihadapannya. “Errr.. jadi mau kamu sekarang apa?!?!”

Rio tidak menjawab. Laki-laki itu malah berlutut lagi dihadapanku. Sekarang tidak lagi menatapku lamat-lamat tanpa melakukan apapun, melainkan meraih jemariku dan menghujamku dengan tatapan tajamnya yang membuat darahku berdesir. Oh tuhan. Biarkan aku bernafas dulu untuk beberapa tahun kedepan. Jangan biarkan aku mati konyol dihadapan laki-laki ini.

“Ify, would you be my girl ? now and forever for me?” Katanya dengan penuh nada permohonan. Aku menganga. Siapapun1 tampar aku sekarang! Aku rasanya terbang kelangit ketujuh sekarang. Ini.. benarkah yang memintaku menjadi gadisnya adalah seorang Mario Stevano? Cinta diam-diam ku yang dikabarkan sudah mempunyai tunangan itu?

Tidak-tidak. Aku tidak boleh menerimanya. Dia sudah punya Ashilla. Perempuan cantik dengan rambut hitam panjang bergelombang dan senyum manis yang selalu terlihat ramah. Ify! Sadarlah! Dia sudah milik orang lain!

Buru-buru aku melepaskan genggaman Rio. Laki-laki itu mengernyit. Sepertinya heran dengan reaksi yang aku timbulkan akibat kaimat terkutuknya yang mampu membuatku terbang itu. “Maaf, aku nggak bisa..”

“Kenapa? Kamu udah punya pacar?” Nada itu. Ah.. aku tidak sanggup mengatakan apa yang ada difikiranku padanya. Nada kecewa yang keluar dari bibir tipisnya itu begitu menyayat hati.

Aku menggeleng sedih. “Bukan itu. Tapi kamu..”

Dia bingung. “Aku? Ada apa denganku?”

Aku meliriknya sebal. Bisa-bisanya dia berpura-pura amnesia diwaktu seperti ini. “Kamu kan sudah punya tunangan!” Hardikku cepat. Rio mengernyit dan kemudian tertawa keras. Sekarang giliranku yang menatapnya bingung. “Kok ketawa?!”

“Shilla maksudmu?”

“Iya!”

“Ify, dia sudah menolak perjodohan itu sejak pertama kali pertemuan kami.”

“Kenapa?”

“Karena dia sudah punya pacar dan anak.”

Aku menutup mulut tidak percaya. Anak ? hah? Perempuan selugu Shilla punya anak sebelum menikah? Ini benar-benar gila. Serius. Ini gila! “Anak katamu?!”

Rio mengangguk santai. “Ya. Anak. Dan. Pacar.” Sial. Laki-laki ini selalu saja berbicara tidak pakai perhitungan. Anak. Dan. Pacar. Itu dua hal yang akan selalu menyambung kalau kamu tahu dan benar. Tapi kalau kamu tahu dan dugaannya salah? Bahaya kan? Benar-benar laki-laki menyebalkan!

“Aku nggak ngerti,”

Rio mendengus seraya bangkit dan menjitak kepalaku dengan senak jidatnya. “Kamu udah umur berapa sih? Masa gitu aja nggak ngerti!”

“Yee! Mana aku tahu! Kamu tuh ngomongnya setengah-setengah!” Sungutku kesal.

“Dia udah hamil duluan sama pacarnya!”

“Oh!”

Aku berjalan pergi meninggalkan Rio yang masih sibuk membersihkan celananya yang tertempel pasir. Bodo amat lah sama jawabannya. Eh? Kok malah aku yang memikirkan jawaban? Hah! Yasudahlah. Malas sekali berurusan dengan laki-laki itu.

Aku menyetop taksi tanpa menoleh lagi kebelakanag. Benar-benar sebal dibuatnya. Tidak peduli lagi dengan teriakan teriakan Rio yang sekarang memenhi telingaku.

^^^^^^

Dan disinilah aku. Dikasurku yang biasanya empuk, entah mengapa sekarang berubah menjadi sangat keras dan tidak nyaman. Berbagai andai-andai mulai muncul dikepalaku. Bagaimana kalau ayah rio sampai tahu kalau putra mahkotanya mencintai gadis dekil sepertiku?

Bagaimana kalau nanti –tentu saja jika aku menerima pernyataan rio tadi—kami diusir? Dan rio tidak dianggap lagi sebagai anak? Bukan apa, aku ini hanya seorang perempuan dewasa yang bukan berasal dari keluarga kaya. Hidup kami serba biasa-biasa saja.

Tidak ada mobil mewah, pembantu, apalagi liburan keluar negri. Lah? Kok jadi nyambung kesini... ah lupakan. Intinya, aku bukan berasal dari keluarga berada seperti Rio. Bagaimana tanggapan anggota keluarganya yang lain nanti?

Aduh! Kepalaku serasa mau pecah kalau harus mengingat itu. Sial!

Kegiatan mengkhayalku harus bersambung saat terdengar suara ketukan pintu. Pasti sivia! Batinku. Aku turun dari kasurku. Tentu saja dengan menggunakan baju rumah. Blus biru muda dan celana pendek rumahan yang panjangnya selutut.

Sialnya, saat aku membuka pintu rumah, bukan Sivia si anak bawel itu yang kudaparkan, melainkan Rio yang sudah berganti style yang hamper mirip denganku. Jins pendek selutut, kaus oblong Biru muda yang bertuliskan ‘I LOVE ROCK!’ lengkap dengan gamabar mbah surip disampingnya.

Aku memutar bola mata malas. Aku menutup pintu rumah dengan gerakkan kasar. Tapi sayang, untuk ukuran kasar cewek kecil sepertiku pasti tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuatan Rio yang –walaupun kurus—besar itu.

“Mau apa sih?!” Tanyaku sewot. Rio tidak menjawab. Cowok itu malah mengerling jahil. Aku bergidik.

“Mau ya, menikah denganku?”

“Oh.. Jadi itu. Mau aja sih.. tapi harus ada syarat!”

Rio berdecak malas. “Apalagi sih?! Kurang ganteng apalagi aku?”

“Ih! Pede banget! Syaratnya, kamu harus minta izin sama orangtuaku di bandung! Sekarang! Oh iya satu lagi. Kalau bisa, kamu bawa surat pernyataan dari orangtua aku kalau mereka benar-benar mengizinkan kamu menikahi aku. Lengkap dengan tanda tangan!” Aku melipat kedua tangan didepan dada. Berlagak angkuh.

“Ah, itu sih gampang!”

“Coba aja!”

“Oke!”

Rio berbalik dan melesat pergi. Aku hanya menatapnya dengan alis terangkat. H, mana mungkin anak itu kembali dalam jangka waktu yang cepat. Jadi aku masih bisa berfikir untuk menerimanya atau menolaknya. Tapi aku rasa kemungkinan kedua tidak akan aku laksanakan.

Cuma orang bodoh yang tidak mau menikah dengan laki-laki berumur 25 tahun yang nyaris sempurna seperti Rio. Sedang asyik-asyiknya berfikir, tiba-tiba saja pintu rumahku kembali terbuka.

Saat menoleh, aku nyaris saja menelan bulat-bulat keriik pisang yang baru saja aku comot dari dalam toples. Didepan pintu rumahku sekarang, sudah berdiri mama dan papaku. Ah, bukan hanya mereka. Tapi juga saudara-saudara laki-lakiku. Kapan mereka datang?

“Lah? Kok kalian...”

“Ify, aku udah dapat suratnya nih!” Rio berlari kecil seraya melambai-lambaikan secarik kertas HVS kearahku. Aku lagi-lagi memandang anak itu sebal.

“Kamu curang!”

“Bodo amat! Yang penting aku kawin sama kamu!”

“Ih! Rio!”

Aku mencubit perut laki-laki itu kejam. Rio meringis kesakitan. Oh, ternyata bukan Cuma keluarga besarku yang berdiri. Disana juga ada putra mahkota pertama keluarga haling. Kak Acel. Kakaknya Rio yang nyaris saja bentuk mukanya sama. Tapi bagiku, Cuma laki-laki ini yang sempurna. Dan aku mengatakan YA! Atas jawaban pernyataan Rio.

Hah.. akhirnya. Semua berjalan dengan lancer. Tidak seperti dugaan-dugaan konyol yang aku bayangkan barusan. Rio ternyata benar-benar mencintaiku. Semoga saja sampai beberapa tahun kedepan, atau mungkin selamanya?! Yah. Aaammmiinn!

Komentar

Postingan Populer