Not Easy [2]


                                                [2]

Gabriel melangkahkan tungkainya sambil bersenandung kecil. Hari ini ia akan memenuhi janjinya pada Dea tempo hari kemarin. Sambil bersiul, laki-laki berhidung mancung itu memutar kunci motornya dengan jari telunjuk. Namun langkah santainya langsung terhenti saat senandung merdu sang ayah menembus gendang telinganya.

Ragu-ragu Gabriel berjalan mendekat kearah pintu. Senyum lebarnya langsung lenyap saat mendapati tubuh tegap sang ayah sedang duduk manis diatas kursi balkon. Tatapannya menerawang jauh kearah bintang-bintang malam yang terhambur bebas dengan alas langit malam.

"Pa." Sapa Gabriel dari ambang pintu. Lelaki itu menoleh dan mengangkat alisnya bingung saat mendapati tubuh jangkung putranya diambang pintu.

"Kenapa? Mau kemana malam-malam begini?" Tanya Bram Damanik tanpa menjawab pertanyaan sang anak lebih dulu. Ditaruhnya gitar hitam yang sedari tadi dipangkunya keatas kursi.

Gabriel memandang paras tegas nan kaku sang ayah yang tersuguh didepan pelupuk matanya saat ini. Guratan kelelahan terpancar jelas dikedua bola mata coklatnya. Ini semua gara-gara wanita kejam yang bernama ibu! Meninggalkan sebuah luka lebar yang masih terus menganga sampai saat ini didalam hati ayahnya. Wanita kejam yang rela meninggalkan dirinya dan sang ayah hanya demi harta.

Dasar perempuan bajingan. Makinya dalam hati. Tanpa sadar, ganggaman tangannya pada kenop pintu mengeras.

"Nggak penting. Papa kenapa?" Tanya Gabriel dengan nada datar khasnya. Tubuh jangkung itu bergerak masuk dan duduk di tepi tempat tidur king size milik sang ayah.

Sambil menatap putra satu-satunya yang menjulang tinggi keatas itu, Pak Bram menghela nafas berat. Ternyata tidak semudah mengucapkannya, hidup tanpa seorang pendamping yang bernama permaisuri dalam sebuah kisah rumah tangga. Ia terpaksa mengasuh Gabriel kecil dengan lengan kokohnya seorang diri. Perempuannya telah pergi. Pergi meninggalkan luka yang akan terus menganga di hatinya dan jagoan kecilnya yang sudah bermetamorfosis menjadi pemuda tampan ini. Semua terlalu cepat untuk Gabriel yang masih duduk di bangku kelas 3 SD.

"Papa baik-baik aja Yel." Dustanya sambil melangkahkan kaki kearsh ranjang dan merebahkan tubuh atletisnya kesana. Nafasnya naik turun teratur. Matanya bergerak liar menyusuri atap-atap kamar bercat putih yang dibiarkan tanpa hiasan.

Gabriel mendesah. "Bohong." Remaja itu bangkit dari duduknya, berjalan keluar kamar sang ayah, dan menghilang dibalik tikungan pembatas kamar sang ayah dan ruang tamu rumahnya. Meninggalkan sang ayah yang masih bergelut dengan serpihan kisah masa lalu.

"Iyel pergi pa! Kalau papa ngantuk dikunci aja!" Teriaknya dari luar. Tak lama, aungan motornya yang memekakakkan telinga dan menusuk gendang terdengar. Suara itu menghilang secara teratur. Menyisakan asap knalpot yang makin mencemari udara.

Gabriel memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Meliuk-liuk membelah jalanan padat kendaraan ibukota jakarta. Rahangnya ia katupkan keras, hingga menimbulkan suara gemertak gigi putih bersih dari balik bibir tipisnya. Pikirannya seakan melayang ke kejadian beberapa tahun silam. Saat sepasang telinga kecilnya yang belum cukup umur itu mendengar teriakkan mengerikan sang ayah yang diiringi tawa keras ibunya yang lebih mirip nenek sihir dimata kecilnya.

"Alena! Mau kemana kamu?!" Teriak ayahnya keras kala itu. Alena, bundanya yang sudah berpakaian rapih dan menenteng sebuah koper superbesar menoleh.

"Bukan urusanmu!" Seru perempuan itu lantang. Ia kemudian berbalik dan berjalan cepat menuju taksi yang sudah terparkir entah sejak kapan didepan pagar rumah mereka.

Mata lelaki dewasa itu mengiringi langkahnya dengan tatapan nyalang dan bibir yang terkatup rapat. Dadanya naik turun dengan tempo cepat tanda ia sedang menahan emosi. Kedua tangan kekarnya ia genggem kuat-kuat. Menyisakan rasa sakit yang luar biasa pada telapak tangannya.

"Kamu istriku!"

Perempuan itu menoleh lagi. Bibir tipisnya tertarik kesatu arah melengkungkan sebuah senyum sinis yang terlihat seperti senyuman setan dimata Gabriel kecil yang sedang beringsut dibalik pintu coklat rumahnya yang berdiri kokoh. Dengan tawa yang menggelegar, perempuan itu berteriak sekali lagi. Lebih lantang dari yang sebelumnya.

"AKU BUKAN ISTRIMU!" Selesai mengucapkan itu, kaki rampingnya melangkah 3x lebih cepat dari yang sebelumnya.

BRAAK

Pintu taxi ditutup secara kasar dan keras. Menimbulkan suara berdebum yang berhasil menarik perhatian warga sekitar. Bram damanik membeku. Urat-urat disekitar lehernya tampak menonjol bersamaan dengan makian tajam yang keluar dari bibir tipisnya.

Dengan berang, lelaki itu melangkahkan kakinya memasuki rumah. Melewati tubuh mungil yang sedang bergetar hebat akibat isakannya dalam diam. Gabriel menatap taxi yang membawa ibunya dengan tatapan marah. Mata merah itu masih belum beranjak menatap satu titik fokus yang membuat semuanya hancur. Pandangannya seolah mengantarkan sang bunda menuju neraka. Anak laki-laki itu mencengkram erat palang pintu rumah. Perempuan itu terlalu brengsek untuk disebut sebagai ibu!

Inilah akhir dari dua bulan keluarganya yang penuh ketegangan. Akhir dari pertengkaran hebat yang melanda orangtuanya selama dua bulan berturut-turut. Gabriel menangis. Menangis menyesali badan kecilnya yang tidak bisa menghentikan semua kejadian yang terpampang nyata didepan pelupuk matanya. Sampai sebuah tangan kokoh merengkuhnya. Lelaki yang selama ini ia sebut papa itu tersenyum hambar dengan sepasang mata coklatnya yang memerah didepan Gabriel. Bersimpuh sambil terus menatap sang buah hati. Perlahan, satu tangannya terangkat untuk membelai puncak kepala putra kesayangannya.

"Kenapa kamu menangis Gabriel ?" Tanya Bram Damanik dengan intonasi lambat dan nada hangat yang terpeta didalamnya. Gabriel menatap ayahnya lama. Lalu menghujam laki-laki itu dengan kedua lengan kecilnya. Memeluk leher tegang sang ayah dengan erat. Erat seakan tidak ingin sang ayah ikut pergi meninggalkannya dengan sebuah luka besar yang menganga. Nyaris saja badan besar ayahnya terjungkang kalau saja laki-laki itu tidak segera menopang tubuhnya dengan satu tangan yang memegang erat palang pintu. Selaput bening yang sejak tadi menghalangi pandangannya meluruh secara perlahan. Jatuh dalam bentuk titik-titik kristal hangat yang mulai membentuk sungai dipipi.

Gabriel kecil masih terisak didalam rengkuhan hangat lengan kokoh sang ayah. "Pa..pa. Jang..hiks..jangan ting..hiks..galin Iyel yah pa. Hiks.. janji?"

Perlahan, tangan kokoh yang semula terulur untuk merengkuh badan mungilnya itu mengendur. Memaksa Gabriel untuk melepas pelukannya pada sang ayah dan menatap mata coklat yang kini sejajar dengan mata hitam pekatnya. Warisan dari sang ibu. Sebuah senyum tulus menyambut Gabriel.

"Tidak akan. Sudahlah. Hapus air matamu. Ksatria tidak boleh menangis." Canda Bram sambil mengusap sayang puncak kepala Gabriel kecil.

Sambil tersenyum lucu, Gabriel menggerakkan kepalanya naik turun membentuk sebuah anggukan pelan.

"Sekarang, ayo kita pergi!" Seru Bram lantang. Tangannya sudah menenteng dua buah koper berukuran super besar. Gabriel menatap koper-koper itu dengan alis tebalnya yang tertaut.

"Kita mau kemana?" Tanya Gabriel dengan suara parau.

"Pergi mencari hal baru. Ayo." Jawab Bram dengan senyum misterius yang menghiasi lukisan tegas wajahnya. Lembut, ditariknya lengan kecil Gabriel menuju garasi dan mendudukkan badan kecil anak laki-lakinya dikursi samping kemudi. Selesai meletakkan barang-barangnya kedalam bagasi mobil, tubuh tegapnya langsung duduk dikursi kemudi, menyalakan mesin, dan memutar setir dengan lihai.

Hingga akhirnya mereka pergi. Menghilang di tikungan tajam diujung komplek dan meninggalkan kenangan manis yang berakhir miris itu dengan usaha untuk berlapang dada. Mencoba memulai hal baru itu dengan sebuah awal.

***

Gabriel masih memicu motornya yang maliuk-liuk indah bagaikan sekor belut di jalan raya yang benar-benar padat. Matanya menatap lurus kedeoan tanpa fokus. Kedua tangan kokohnya mengenggam stang motor semakin erat yang nyaris membuat telapak tangannya mati rasa.

Hingga siluet seorang gadis tinggi berjalan anggun dengan rambut panjang terurai yang sedang menyebrangi zebrakos membuyarkan lamunannya. Gabriel terbelalak. Reflek, ditekannya rem di stang kanan dengan sekuat tenaga. Dan bersamaan dengan itu, suara decitan tajam yang menyayat telinga mengalun disepanjang jalan raya. Gadis itu terlonjak dan reflek menjauh dengan cara mundur beberapa langkah. Wajahnya pucat pasi. Badannya masih diam membatu dipinggir zebracos. Bibir mungilnya yang terkatup rapat sudah berubah warna menjadi seputih kapas.

Nafasnya yang tinggal senin-kamis memaksa Gabriel untuk diam beberapa saat demi menormalkan kembali kerja paru-parunya. Kegiatan yang sempat tertunda disekitar Gabriel kembali berjalan diiringi dengan berbagai caci maki dan sumpah serapah beberapa mulut yang menyaksikan. Gadis itu masih membatu. Membiarkan jantungnya kembali berdetak setelah beberapa detik sempat berhenti. Hening diantara keduanya. Hanya ada deruan motor mobil yang menjadi backsound pertemuan mereka.

Gabriel menoleh. Menatap penuh kekhawatiran kearah cewek mungil yang kini masih menunduk. Ditepikannya motor besarnya ditepi jalan dan menuntun korbannya kearah kursi panjang yang terletak dibagian depan etalase sebuah toko baju tanpa memperdulikan tatapan-tatapan aneh yang menghujamnya.

***

Dea sudah duduk manis diruang tamunya sejak satu jam yang lalu. Gaun merah marun yang ia kenakan sudah menampakkan beberapa kerutan dibagian bawahnya akibat terlalu lama dibawa duduk.

Sambil berdecak, cewek hitam manis itu melirik arloji putihnya yang melingkar manis dipergelangan tangan kirinya. 19.00 Wib. Seharusnya pemuda tampan yang menjanjikannya dinner itu sudah berdiri tegap didepan pagar rumahnya. Gabriel tidak pernah terlambat. Si jangkung yang selalu on time itu, kini menghilang. Dea berdecak malas.

Bedak tipis yang tadi ia poleskan dengan sentuhan tangan dan sepenuh hati itu tampak sudah memudar. Bibir tebalnya yang dihiasi liploss merah jambu sudah tampak mengering menunggu kedatangan sang pangeran hati. "Ah. Gabriel kemana sih!"

Dengan tidak sabar, Dea menekan beberapa tombol di keyboard blackberry-nya. Setelah menemukan kontak Gabriel, buru-buru ditekannya gambar dengan gagang telfon berwarna hijau dan di tempel kan nya ponsel hitam itu ke salah satu telinganya. Nada sambung terdengar. Dea menunggu dengan kemarahan yang siap meledak.

"Maaf nomor yang an..."

Dia menekan tombol merah dengan sebuah decakan keras yang keluar dari bibir nya. "Ck! Malah di matiin lagi."

Berang, Dea melempar ponsel nya beramaan dengan tubuh ramping nya ke atas sofa empuk ruang tamu rumah nya. Hancur sudah makan malam impian nya bersama pangeran sekolah.

***

"Lo nggak papa?" Tanya Gabriel dengan nada khawatir yang tidak dapat lagi ia sembunyikan. Gadis itu menggeleng gamang. Nyaris saja nyawanya melayang di malam yang cerah seperti sekarang.

Gabriel mengernyit. Sedikit tidak percaya dengan gelengan halus si korban. Walau ia sendiri yakin kalau gadis itu baik - baik saja.

"Beneran nggak papa?" Tanya nya sekali lagi. Dan gadis itu kembali menggelengkan kepala. Tangan-nya bergerak naik ke atas kepala. Memijit - mijit kening-nya yang mendadak seperti berputar.

"Nggak papa, gue mau pulang." Katanya pelan. Perlahan gadis itu berdiri dari duduk nya dan ( ingin ) menjauh. Tapi lengan kokoh Gabriel segera mencekal pergelangan-nya. Menahan tubuh ramping-nya untuk tetap berdiri di sana.

Tiba tiba saja suara ponsel dari saku celana pemuda hitam manis itu menjerit.

"Sebentar.” Pamit Gabriel yang kemudiaan langsung sibuk dengan ponsel nya. Gadis itu masih diam. Tidak ingin mengeluarkan terlalu banyak suara.

"Kenapa dimatiin? Pacar lo kan?" Tanya gadis itu saat melihat jemari pemuda hitam manis itu menekan tombol reject.

"Nggak penting." Jawab Gabriel singkat. Gadis itu hanya mengangguk samar. "Nama lo siapa?"

"Shilla."

***

Rio mondar-mandir nggak jelas di depan ketiga temannya. Mata sayunya yang selalu menajam itu bergerak naik - turun tanpa fokus. Bibirnya bergerak-gerak lincah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Alvin yang sedari tadi sibuk dengan PSP-nya langsung mendongak. Bosan melihat tubuh jangkung sang sahabat yang mondar mandir seperti setrikaan rusak.

"Yo, lo kenapa sih?" Tanya Alvin dengan suara berat yang terdengar malas. Rio mendesah. Dibalasnya tatapan Alvin yang kini sudah menghujamnya dengan sorot mata malas dan ingin tahu.

"Nyokap gue balik dari prancis hari ini." Ungkap Rio yang diiringi helaan nafas berat yang keluar dari bibir tipisnya.

Cakka yang sedang asyik duduk di celah antara jendela dan dinding sambil mengunyah permen karet langsung menyahut. "Lah terus kenapa?"

Rio berdecak. Tangan kanannya terulur keatas dan tak lama setelahnya, cowok itu sudah mengacak-acak rambutnya frustasi. "Masalahnya, dia kesini bukan mau jenguk gue." Desisnya putus asa.

"Ada alasan lain Yo?" Sambung Gabriel yang berdiri tegap diambang pintu. Rambutnya tampak acak-acakan dengan hiasan beberapa bulir keringat yang terjun bebas ke pelipisnya. Ia baru saja sampai di markas CRAG cs karena harus berurusan dengan Dea lebih dulu. Mata sayunya bergerak-gerak mencari tempat duduk.

"Dia mau nikah." Ucap Rio melemas. Bahunya tampak melorot seiring dengan tatapan sayunya yang terpejam.

"SION!" Seru Cakka tertahan. Posisinya yang membelakangi jendela mengantarkan matanya pada sebuah titik fokus yang mencekam. Mulutnya berhenti mengunyah dengan kedua tangan yang mengepal keras.

Bagaikan tersengat, Rio melompat dari duduknya. Mata sayunya langsung menajam. Sebisa mungkin ia berusaha agar tidak terlihat. Sedang Alvin yang berada tepat didepannya hanya diam. Mengamati setiap gerak - gerik musuh abadinya dari balik tirai yang setengah terbuka.

Jeritan ponsel Gabriel menyita perhatian mereka. Buru-buru Gabriel mengambil ponselnya dari dalam saku kemeja. Bola mata hitam itu bergerak lincah. Gabriel tercekat. Tangannya yang menggenggam ponsel sudah mengepal, menimbulkan bunyi ‘Gretek’ halus, yang berasal dari retakan ponselnya. Rahangnya yang sekeras baja itu terkatup dengan mata tajam yang menatap tepat di manik mata Rio.

"Dia kembali untuk balas dendam." Desis cowok itu tajam.

Telak. Bagaikan disambar petir, Cakka sudah siap melompat dari duduknya. Tapi lengan panjang Rio menahan dada bidangnya. Atmosfer mencekam melanda di setiap helaan nafas keempat pangeran ini. Dada mereka naik - turun dengan tempo cepat yang menandakan emosi mereka sudah tersulut.

"Kita ikuti permainan mereka."

Komentar

Postingan Populer