Sahabat ?
Pernah dengar kata sahabat ? Ya, sahabat adalah teman yang sudah menjelma menjadi saudara kembar. Bukan dalam artian ‘sama’ secara fisik. Sahabat adalah seseorang –atau mungkin lebih—yang mampu membuatmu bertahan. Bertahan? Oh, bertahan dalam menghadapi segala hal yang kumaksud disini.
Sahabat ya? Mungkin kalian tidak akan pernah percaya. Sahabat itu teman yang bisa berubah menjadi musuh dalam selimut. Atau srigala berbulu domba, atau mungkin yang lebih buruk lagi? Bisa saja kalau mereka mau.
Percayakah kalian, musuh kita adalah sahabat kalian sendiri.
Aku, disini cukup aku sendiri yang tahu namaku. Gadis cantik yang digemari banyak lelaki remaja. Kaya, pintar, dan penuh pesona. Hidupku bertambah lengka dengan hadirnya seorang sahabat yang sepadan denganku. Kami selalu melewati hari-hari kami dengan kesenangan dan kegembiraan. Pacarku, seorang senior tampan yang selalu berpakaian rapih dan terpandang. Aku bahagia.
Oh, bukan. Bukan seperti itu kisahku sebenarnya. Aku hanya seorang gadis biasa yang tinggal di perumahan biasa.Aku sendiri. Tidak memiliki teman dekat kaya raya yang seperti kuceritakan diatas. Tidak juga memiliki pacar tampan yang selalu berpakaian klimis. Aku adalah aku. Gadis belia yang selama ini sibuk bergelut dengan duniaku SENDIRI. Dan berjalan tertatih untuk mencari jati diriku yang sebenarnya. Aku butuh sahabat? Tidak. Bagiku, sahabat adalah musuh dalam selimut, dan juga srigala yang berbulu domba. Hei! Jangan gila. Aku mengatakan itu tentu saja karena ada alasannya.
Pernah merasa dikucilkan? Jangan berfikir terlalu jauh. Dikucilkan yang kumaksud disini adalah, dilupakan teman lama yang sedang bermain dengan teman baru. Bukan mendapatkan cemooh dari orang-orang yang tak tahu apapun tentang kehamilanmu. Oke, ini terlalu jauh. Back to the topik, Apa perasaanmu? Galau? Marah? Kecewa? Aku pernah merasakannya. Cukup dua kali dalam seumur hidup. Dan bisa kalian bayangkan, aku merasakannya saat SD.
Berawal dari pembagian kelas yang acak. Tidak disangka-sangka, selama dua tahun lebih mengenal mereka dan menganggap mereka sebagai satu kesatuan denganku dengan cover sahabat, kami berpisah. Memang, kelasnya tidak begitu jauh seperti dari sabang ke marauke. Hanya bersebelahan. Aku kecil menangis. Meratapi nasib buruk yang –saat itu aku yakini—akan memisahkanku dengan kebahagiaan berteman. Mereka, sahabat-sahabatku dulu, merangkul dengan penuh kasih sayang. Mengelus pundakku dan membisikkan kata-kata ajaib yang bisa membuatku berhenti menangis seketika, dan tersenyum disaat yang bersamaan dengan itu.
Aku hanya anak SD. Bertampang lugu dan berotak polos. Yang ada saat itu hanyalah, bagaimana caranya aku pindah kelas? Sayang, dewei fortuna sedang tidak memihakku saat itu. Dan yah... seperti yang kalian duga. Aku sendiri. terjebak dalam keasingan kelas baru. Juga kesunyian yang merayap masuk hingga jiwa seorang anak SD. Duduk diam bagaikan patung bernyawa.
Selama beberapa bulan, aku masih tetap bersama mereka. Tertawa, pulang bersama, main hujan sesuka hati, dan bertualang ketempat-tempat jauh –yang sampai saat ini enggan lagi kukunjungi—penuh warna dan pengalaman.
Tapi siapa sangka? Sahabatku bukanlah mereka. Aku salah. Salah menganggap mereka sahabat. Tidak tidak. Bukan karena mereka jahat seperti ibu tiri. Kalian bahkan tidak tahu, kalau mereka ternyata lebih kejam daripada ibu tiri.
Saat itu, dimana masa-masa labil sedang mendera kami. Membawa kami kedalam arus masalah yang seharusnya tidak pernah menjadi persoalan dalam hidup. Dan aku. Seorang gadis kecil tanpa pemikiran ini, tenggelam bersama kenangan-kenangan manis saat sedang bersama mereka. Sedangkan mereka sendiri tengah berjuang bersama yang lain. Masih bersisa tawa, mereka melewati arus yang sama sekali tidak menimbulkan kesulitan bagi mereka.
Sahabat. Orang yang datang pertama saat kita sedih, dan orang terakhir yang akan tertawa bersama kita saat kita sedang dilanda kebahagiaan. Istimewa kan? ya, setidaknya aku pernah bermimpi mempunyai DIA.
Ingin rasanya menemukan orang seperti itu untuk menuntunku dalam masa depan. Berbagi tangis dan tawa bersama. Tidak muluk. Hanya satu orang yang kuinginkan. Satu orang yang benar-benar mengerti aku. Satu orang yang benar-benar aku mengerti. Kapan? Jangan tanyakan. Hanya Tuhan yang tau masalah itu.
Percayalah, sakit hati seorang teman yang berdiam diri tidak akan pernah kau sadari. Aku disini sendiri. Merasakan luka yang masih belum mengering akibat perbuatanku sendiri. Masih berusaha mengobati. Maaf aku salah. Bukan perbuatan. Tapi pengakuan. Pengakuanku kalau aku menganggap mereka sahabat yang benar-benar sahabat, dan ditakdirkan untuk bersamaku beberapa tahun kedepan. Atau selamanya dalam pikiran SDku.
Lewat tulisan ini, kalau seandainya kalian baca, tolong tanamkan dalam hati. Berbuatlah sebaik mungkin pada sesamamu. Dan jagalah mulutmu agar tidak menyakiti orang lain. Cukup hati yang menampung semua. Satu lagi, jangan men-judge kalau tidak mengenal dan mengetahuinya lebih dalam. Ingat pepatah ini? ‘Dalamnya laut bisa diukur, tapi hati? Siapa yang tau?’ Kira-kira seperti itu.
Komentar
Posting Komentar