Not Easy [3]
[3]
Sejak pertemuan pertama
yang terkesan jauh dari kata baik, Ify memilih untuk benar-benar mengibarkan
bendera perangnya pada Rio. Apalagi sekarang Ify sudah mendengar berbagai
gossip yang ditimpakan padanya. Ify yang sok cuek lah. Ify yang sok berani lah.
Ify yang belagu lah. Ify yang blablabla. Jelas banget kan, kalau dia sebel
setengah mati sama Rio?!
Pagi ini, seperti biasanya Ify mengontak Sivia lebih dulu untuk
menunggunya di halte dekat sekolah. “Beneran ya Vi?” tuding Ify setengah cemas.
Disebrang Sivia hanya mendengus geli menangkap nada
cemas yang keluar dari bibir teman sebangkunya itu. “Iya Bawel,”
“Awas aja kalo gue kesana elo nggak ada.” Ancam Ify
serius.
Sivia terkekeh. “Iye ah. Udah buruan berangkat. Gue
udah otw nih.”
“Oke deh!”
Setelah mematikan sambungan telfon Sivia, Ify
melirik kearah tangga tempat kamar Riko –kakaknya—berada. “Ma, kok Kak Riko
lama ya?” Tanya Ify sambil mengunyah pelan roti selainya. Mama Ify yang sedang
mengoles selai kacang pada roti tawarnya sendiri menoleh.
“Panggil aja sana,”
“Iya deh,” Ify menarik nafas sejenak, sebelum
akhirnya berteriak dengan sepenuh tenaga. “Kak Riko!! Ify udah siap niiih!”
“Ya ampun Ify! panggilnya langsung kekamar dong!
Nggak baik anak perempuan teriak-teriak kayak tarzan gitu,” Omel mama Ify yang
langsung dibalas cengiran polos sang anak.
Tak lama, Riko turun dengan setelan khas-nya.
Celana pendek dan kaus hitam yang –lagi-lagi—bergambar metal dibagian dada
hingga perutnya. Riko memang sedang libur kuliah. Jadi tu cowok kerjaannya Cuma
nge-bo doang dirumah. Bikin iri!
Ify buru-buru meraih tas selempangnya begitu
melihat wajah bete kakaknya. “Ma, Ify pergi dulu ya, bye!” seusai mencium
tangan mamanya, Ify langsung melesat pergi. Menyusul Riko yang sudah menyalakan
mesin motornya.
Sesaat kemudian, Riko sudah men-starter motornya
dan membawa Ify pergi kesekolah. Menemui takdir masa remajanya yang –ify yakin
banget—suram.
________________________________________________________________________________
Lagi-lagi Pak Asro mendapati pemandangan yang sama
pagi ini. Kedua siswi sekolah tempatnya bekerja sedang memasuki gerbang dengan
tampang waspada dan gerakkan yang terlihat sekali tegang. “Neng Ify, Neng Via!”
teriaknya begitu matanya melihat kedua gadis itu sudah memasuki arena sekolah.
Merasa terpanggil, Ify dan Sivia menoleh. Lalu
dengan kompaknya mereka nyengir. Melihat keadaan sekitar yang terasa aman untuk
saat ini, Ify dan Sivia menghempiri post satpam tempak pak Asro, orang yang
memanggil mereka berada.
“Pagi pak!” sapa Ify ramah.
“Pagi juge Neng,” Balas sang satpam dengan seulas
senyum yang tertutupi oleh kumis hitamnya yang super tebal.
“Pak, mereka udah dateng, belum?” Tanya Ify.
sekarang dengan nada rendah dan ekspresi yang berubah menjadi siaga lagi. Sivia
mengangguk-angguk menyetujui pertanyaan teman sebangkunya.
Pak Asro tampak berfikir sejenak. “Kayaknye belum
deh neng,”
Helaan nafas lega langsung terdengar dari bibir
tipis dua sejoli ini. “Syukurlah” seru mereka serempak.
Pak Asro terkikik. “Ya udeh sono masuk, sebentar
lagi mereka dateng loh.”
Ify dan Sivia kontan melotot. seakan baru sadar,
dua cewek itu langsung lari pontang panting. Ify menoleh sekilas, lalu
melambaikan tangannya kearah pak Asro. “Thanks banget ya pak!”
Istirahat pertama ini, Ify dan Sivia memilih untuk
berdiam diri dikelas. Mereka sedang berdiskusi di mana tempat persembunyian
yang aman dan tidak terjangkau oleh Rio en the geng. Ify tampak berfikir sambil
melahap kue kering yang tadi sengaja dibawanya dari rumah. Disampingnya, Sivia
sedang berfikir sambil meneguk sesekali melirik kearah pintu kelas yang
tertutup. Firasatnya mengatakan akan terjadi sesuatu setelah ini.
“Gimana kalau perpus?” usul Sivia tiba-tiba.
Ify yang sedang memeluk toples berisi kue kering
kesukaannya, menoleh cepat kearah teman sebangkunya itu. “Perpus?” Ify tampak berfikir sejenak, dan sejurus kemudian melanjutkannya dengan semangat
yang tampak menggebu. “Boleh tuh! Tampang-tampang kayak mereka sih nggak
bakalan mau pergi ke perpus.”
Sivia mengangguk-angguk yakin seraya mencomot satu
lagi kue kering Ify. Mulut mungilnya bergerak-gerak seksi. “Tapi perpus disini
jauh banget Fy,”
Sambil terus mengunyah, Ify menjawab. “Iya sih. Ada
di gerbang belakang kan ya?”
“Ho-oh.” Sivia menjawab dengan mulut yang masih
penuh dengan kue.
Diskusi yang dijalankan keduanya baru saja berjalan
lima menit, dan belum mendapatkan satu solusipun. Hingga tiba-tiba suara
gebrakkan pintu mengagetkan mereka berdua –termasuk juga beberapa teman yang
memilih untuk tetap dikelas—. Reflexs, Ify dan Sivia menoleh. Keduanya langsung
membeku begitu mendapati sosok menjulang yang kini tengah berdiri tegap didepan
pintu, dengan mata menatap mereka tajam. Dan tambah kaget lagi, begitu
melihat orang tersebut tidak sendiri.
Ify buru-buru memalingkan pandangannya dari pintu,
dan menatap Sivia cemas. “Aduh, gimana nih Vi?”
“Udah nggak usah takut. Lawan aja deh, udah
terlanjur basah ini.”
Akhirnya, Ify menangguk pasrah. Sekarang, cewek itu
sudah kembali menatap Rio yang sedang berjalan menuju bangku mereka.
Sampai disana, Rio langsung menghujam tatapan
tajamnya ke dua pasang mata yang kini sedang menantangnya. Dibelakangnya,
Cakka, Alvin, dan Gabriel tampak siaga. Kalau-kalau akan terjadi keributan
mendadak dikelas ini.
“Halo,” sapa Rio dengan nada kaku.
Cakka, Alvin, dan Gabriel tampak sedang menahan
tawa mereka. Rio, ketua osis yang disegani seluruh sekolah ini, rela
menghampiri juniornya Cuma buat negur doang. Tentu saja ini pemandangan yang
tidak lazim di SMA Vritas.
Sivia dan Ify masih bengong. Antara percaya dan
tidak percaya. Ketua osis yang mereka anggap gila itu sekarang sedang berdiri
tak jauh dari mereka, dan barusan, cowok itu mengucapkan ‘Halo,’ walaupun
kesannya lebih masuk kedalam katagori membentak. Tapi menurut informasi yang
Ify dapatkan dari tetangganya, Nova, ini anak nggak pernah mau repot-repot
datang ke kelas juniornya Cuma buat mengucapkan salam yang sepenggal barusan.
Sivia yang pertama kali sadar. Cewek itu melengos
sebentar, “Mau apa?”
Disebelahnya, Ify tampak manggut-manggut dengan
semangat. Entah apa yang disetujui cewek mungil itu dari ucapan Sivia. “Iya,
mau apa?” beo Ify begitu Rio tidak juga bergeming.
“Gue laper. Temenin gue makan dikantin.”
Sekarang, bukan hanya Ify dan Sivia saja yang
melongo. Seisi kelas juga memasang ekspresi yang sama. Begitu pula dengan
Cakka, Alvin dan Gabriel yang tadinya masih stay cool mengekori Rio.
“Apa?”
“Gue laper. Temenin gue makan dikantin.” Ulang Rio
sekali lagi. Yang juga berhasil membuat syok semua orang, sekali lagi.
Dan disinilah mereka –Sivia dan Ify—berada. Karena
tidak sempat lagi mengucapkan kata penolakan, mereka terpaksa harus duduk satu
meja dengan 4 pangeran sekolah yang –katanya—adalah most wanted SMA Vritas itu.
Ify tampak gelisah dengan posisinya sekarang.
Gimana nggak? Posisinya saat ini sangat tidak menguntungkan. Di sebelah
kirinya, Rio sedang menikmati siomay yang tadi dipesan cowok itu dengan nikmat.
Sedangkan disebelah kanannya, Gabriel tampak asyik dengan gado-gado yang juga
dipesan serempak bersama siomay milik Rio.
Sebenarnya Rio tidak begitu konsentrasi memakan siomaynya.
Dari sudut mata, cowok itu bisa menangkap kegelisahan yang sedang melanda Ify.
Tapi entah kenapa, melihat ekspresi tegang dan gelisah cewek itu membuat Rio
begitu bahagia. Itu artinya, cewek kecil
ini berhasil ia taklukkan! Dalam hati Rio tersenyum lebar. Tidak ada satu
kelinci pun yang bisa kabur dari-nya dengan mudah!
Tak jauh berbeda dengan Ify, Sivia juga tampak
gelisah. Posisi cewek itu tidak lebih baik dari posisi Ify. Sama-sama diapit
oleh kedua pangeran sekolahan! Bedanya, Sivia bukan diapit Gabriel maupun Rio.
Tapi Alvin dan Cakka! “Aduh, gue kebelet nih,” cicit Sivia ditengah-tengah
keheningan.
Ify mendongak. “Iya Vi? Yaudah, yuk gue temenin.”
Dengan gerakkan cepat, Ify bangkit dari duduknya. Begitu juga Sivia.
Tapi sepertinya mereka memang sedang sial hari ini.
Karena tangan Rio dengan sigap langsung menahan pergelangan tangan Ify. Sedangkan disebrang, Alvin melakukan hal yang sama. Lalu, dengan sekali
sentakan, Rio menarik tangan Ify hingga anak perempuan itu kembali terduduk
dikursi panjang yang terasa amat sangat mencekam. Hal yang sama juga dilakukan
oleh Alvin.
“Kebelet apa Vi? Kebelet kabur?” Tanya Alvin
enteng. Sivia menoleh ganas kearah kakak kelasnya, dan menatap tajam sepasang
mata sipit yang berada tak jauh darinya.
Cakka yang sedang meneguk es jeruk dengan syahdu langsung
menoleh. “Udahlah. Jarang-jarang lo bisa makan bareng kita begini,”
“Nikmati aja lagi, nggak usah sampe segitu
gugupnya,” ujar Gabriel nimbrung.
Ify melotot. Begitu juga Sivia.
“Kalau kebelet pipis, pipis aja disini. Nanti kita
yang gantiin deh,” tutur Rio dengan nada wajar dan wajah tanpa rasa bersalah.
Mendengar itu, kontan kedua bola mata Ify dan Sivia melebar. Berbanding
terbalik dengan yang dilakukan ketiga teman Rio. Mereka tampak melotot
sebentar, lalu tertawa bersama-sama.
“Wah, parah juga lo bos.”
“Asik banget si Rio. Udah gede dia.”
“Obat gue manjur ya Yo?”
Ditempatnya, Ify dan Sivia diam. Mereka malu,
marah, dongkol, dan sakit hati!! Gimana nggak dongkol. Keempat mulut ember ini
berbicara dengan volume yang bisa didengar orang satu kampung. Jelas Ify dan
Sivia malu. Karena mereka, anak-anak kelas sepuluh ini, sudah menjadi bahan
tertawaan seisi kantin! Brengsek banget kan?
Tiba-tiba saja Ify berdiri dan menggebrak meja.
Menghentikan deraian tawa yang sedari tadi menggema diseluruh sudut kantin.
Matanya menatap nyalang Rio dan teman-temannya. “Udah puas kan?! permisi, gue
mau belajar!!” bentak Ify begitu semua orang terdiam.
Dengan sigap, diraihnya pergelangan tangan Sivia,
dan dituntunnya sahabatnya itu untuk meninggalkan kantin. Kepergian mereka
diiringi dengan berbagai macam tatapan dari berbagai sudut pula.
Rio tersenyum miring. Menampakkan ekspresi kakunya
kembali. “Bagus. Langkah awal, selesai!”
Alvin menyuap sendok terakhir nasi gorengnya,
“Asyik juga main sama anak kelas satu,”
“Mereka seksi,” ujar Cakka, yang matanya masih
menghantarkan kedua gadis malang itu menuju mulut kantin.
Gabriel mendengus geli mendengar
pengakuan-pengakuan tak lazim dari teman-temannya. “Gila lo semua,”
“Ini udah nggak bisa dibiarkan lagi!! Mereka udah
bener-bener brengsek!!” teriak Ify heboh setelah mereka sampai di taman
belakang sekolah yang jarang dilewati oleh siswa-siswi SMA Vritas. Kedua
tinjunya sampai diacung-acungkan keudara, seolah-oleh sedang merasakan
bagaimana rasanya menonjok muka Rio dan teman-teman sepermainan cowok itu.
“Kesabaran gue udah habis!!” pekik Sivia tak sabar.
Ify menghela nafas. Sejurus kemudian, gadis
berambut panjang sebahu lewat sedikit itu menghempaskan pantatnya kesalah satu
bangku taman yang nyaris roboh. “Malu banget gue Vi,”
“Apalagi gue!! Brengsek emang si Alvin!”
“Si Rio apalagi!!” seru Ify penuh nafsu. Bibirnya
yang merah bak ceri itu bergerak-gerak menyumpahi Rio. “Pokoknya, kita harus
punya misi buat bisa balas dendam sama mereka!”
“Harus!!”
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ify memelototi buku cetak matematikanya dengan
penuh nafsu. Cewek itu sedang mencoba membangun kembali konsentrasinya yang
mendadak buyar di tengah perjalanan mengerjakan pr. Tapi usaha kerasnya tidak
membuahkan hasil apapun, membuat Ify mendesah berat.
“Argh!
Brengsek banget emang tu orang!” amuk Ify sebal. Dibantingnya pensil 2B yang
sedari tadi menemaninya dalam mengerjakan PR, dengan asal. Sekarang, kepalanya
sudah penuh dengan berbagai macam dugaan aneh yang akan menimpanya dan Sivia
besok pagi. Tentu saja, dugaan itu sudah pasti dilakukan Rio dan geng sok
cool-nya itu.
Ify
beranjak dari tempat tidur. Diraihnya kembali pensil yang tergeletak tak jauh
dari tempatnya melempar, dan kembali lagi merebahkan tubuh mungilnya diatas
kasur. Tangannya meraih satu kertas hvs kosong yang belum terpakai, lalu mulai
mencoret-coret kertas itu dengan berbagai ide untuk balas dendam.
Tangan
Ify baru akan bergerak untuk menulis rencana kedua, saat ponselnya yang berada
diatas meja belajar menjerit-jerit melantunkan lagu I’m Your’s milik musisi
idola Ify, Jason Mraz. Ify berdecak. Tapi sejurus kemudian cewek itu bangkit
dan meraih benda pintar itu.
From: Sivia
Bsk gw liat
pr lo y. Buntu nih,
Begitu selesai membaca kalimat terakhir dari Sivia,
Ify langsung melotot. “Enak aja nih anak,”
To: Sivia
Nggk bsa. Gw
jg blm nh.
Send!
Setelah
membalas pesan singkat dari Sivia, Ify kembali pada kesibukkan awalnya. Membuat
rencana untuk balas dendam pada Rio CS. Baru saja tangannya akan menggores
kembali bagian hvs yang bersih, Ify mendadak berhenti. Otaknya berfikir keras,
sedangkan keningnya berkerut-kerut sangking serius.
“Kok
gue bego ya?” gumamnya pada diri sendiri. “Si Rio cs kan berkuasa banget
disekolah. Nggak mungkin buat bales dendam sama mereka,”
Ify
memutar tubuhnya yang langsung telentang. “Apa buat rencana buat menghindar
aja?”
Ide
brilian itu baru akan ditulisnya, saat lagi-lagi ponselnya bordering. Kali ini
lagu Red milik Taylor Swift yang memenuhi kamarnya. Setelah membaca nama si pemanggil,
Ify menggeser ponselnya, dan menempelkan benda itu ke telinga.
“Halo
IFY!” Teriak Sivia heboh disebrang.
Kaget,
Ify menjauhkan ponselnya. Suara Sivia hampir saja membuat telinganya mati
fungsi. “Apaan sih? Nggak usah teriak kali,”
“Gue
dapet ide buat besok!” balas Sivia tanpa mengindahkan protes dari teman
sebangkunya.
“Ide
apa?”
“Ide
buat menghindari Rio cs!”
Ify
bengong sesaat, “Wah, kita sepikiran nih!”
Diseberang,
Sivia tampak sedang terkekeh-kekeh geli. Ify bergidik. Ngeri juga kalau mendengar
Sivia ketawa gini. Suasana mendadak horror. “Oke. Lo tunggu sms gue ya! Ntar gue
kasih tau!”
“Beres!”
“Oh
iya, besok nyontek pr lo dong!”
“Punya
gue juga belum kelar Vi,”
“Yaah.
Kudu dateng pagi deh besok,”
“Sama,”
“Yaudah
deh. Gue tutup ya Fy? Bye!
Tutt..tut..tut..
Panggilan
itu berakhir. Ify kembali merebahkan tubuhnya, dan sekarang ganti memelototi
ponselnya. Menunggu sms Sivia yang katanya berisi misi untuk bisa menjauhi Rio
Cs!
hy ini bagus cerita nyaa
BalasHapusmakasih aku udah pake blog buatan mu
BalasHapus